ENAM PULUH TUJUH

88.5K 11.2K 1.1K
                                    

Helaan napas yang keluar dari mulut gadis itu sudah tidak terhitung lagi. Alana mengerucutkan bibirnya saat wajah Gibran yang tak berekspresi selama pencarian Raska dan juga, cowok itu berbicara seperlunya saja. Seperti oh, hm, iya, oke. Sudah itu saja.

"Bran ih! Kan gue udah minta maaf tadi." gerutu Alana menggoyangkan lengan Gibran. Cowok itu memutar bola matanya malas lalu mengalihkan pandangannya kearah samping seraya mengaduh-aduk minumannya.

Setelah pencarian Raska yang cukup panjang itu, mereka singgah dahulu di salah satu kafe yang dekat dengan Sma Bintang sebelum melanjutkan lagi. Jam masih menunjukkan pukul 8 malam, dan mereka masih belum juga menemukan Raska.

Alana mencebikkan bibirnya sebal. Sudah kesekian kalinya ia meminta maaf pada cowok itu akibat ceroboh, tapi respon Gibran selalu seperti itu. Diam dan mengalihkan pandangannya. Atau tidak ya tadi, menjawab seperlunya.

"Yaudah lah terserah lo!" ketus Alana mengalihkan pandangannya juga. Lelah membujuk Gibran yang seperti ini.

Seketika mata cowok itu mendelik. Hanya segitu cara membujuknya? Tidak ada usaha lagi untuk membujuknya atau harus ia juga yang harus mengalah? Akhirnya mereka sama-sama diam. Alana yang terlanjur kesal dengan cowok itu yang tak meresponnya. Sedangkan Gibran, cowok itu masih diam tak menjawab dan juga tak ada niatan membujuk Alana balik.

Cukup lama mereka berdiam tanpa membicarakan sesuatu, Alana berdecak sebal. Lalu ia mengalihkan pandangannya menatap Gibran lagi. Lama-lama ia gemas sendiri dengan cowok yang sudah berstatus pacarnya itu. Egonya masih terlalu tinggi disertai dengan gengsi.

"Bran, gue kan udah minta maaf tadi. Masa lo gak maafin gue?" lirih Alana pura-pura menangis. Hanya ini satu-satunya cara agar Gibran luluh dan tidak mendiaminya.

Mendengar suara isak tangis, cowok itu langsung menatap kearah Alana. Gibran sudah kalang kabut saat tangis Alana menjadi lebih keras sehingga mengundang beberapa pengunjung kafe yang menatapnya horor. Gibran menggerutu dalam hati lalu menghela napas pelan.

Ia mendongakkan kepala Alana sampai menatapnya. Tangannya mengusap air mata buaya itu dengan lembut membuat Alana mati-matian menahan senyum serta kegirangannya. Akhirnya, Gibran luluh dan juga mau menatapnya.

"Kenapa nangis?" tanya cowok itu.

Alana mengerucutkan bibirnya sebal. "Ya lo gak maafin gue dan malah diemin gue. Ya udah gue nangis aja." jawabnya sekaligus mencibir.

Gibran menghela napasnya lagi. Sebenarnya ia masih sedikit kesal dan marah pada gadis itu sampingnya ini. Tapi ketika melihat Alana yang menangis dan juga matanya terlihat sangat merasa bersalah atas kehilangan Raska, ia jadi luluh dan juga kasihan.

"Malah ngelamun!" sentak Alana membuat Gibran tersadar. Cowok itu berdecak pelan lalu menarik Alana kedalam pelukannya.

Dalam pelukan Alana langsung melebarkan senyumnya. Ia juga dapat mendengar debaran jantung Gibran yang berdebar kencang. Tanpa sepatah kata, gadis itu membalas pelukan Gibran dengan erat.

"Jangan marah." ucapnya dengan suara lucu membuat Gibran mengangguk pelan.

"Jangan ceroboh." ingat cowok itu balik yang langsung diangguki mantap oleh Alana.

"Siap bos!" Alana mengarahkan tangannya di depan keningnya seperti hormat. Gibran terkekeh pelan lalu mengacak rambut gadisnya dengan gemas. Kalau Alana sangat lucu seperti ini bagaimana bisa ia marah lama -lama pada gadis itu?

"Sekarang mau langsung pulang aja ya? Udah malem, lo juga harus istirahat."

Alana terdiam sejenak lalu mengangguk pelan. Sebenarnya ia masih kepikiran dengan Raska yang belum ketemu. Ia memikirkan, sedang apa balita itu sekarang? Apa balita itu sudah makan? Apa sudah mandi?

MOM ALANA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang