TIGA PULUH SEMBILAN

94.5K 10.8K 660
                                    

komen nama kalian dong disini, sebanyak banyaknya!

~•~•~

Gibran mengusap rambutnya dengan handuk kecil saat ia sudah selesai dari kamar mandi. Sebenarnya, ia sangat malas untuk pergi kesekolah hari ini. Tapi mengingat ancaman bundanya, mau tak mau ia harus menuruti dan juga hanya bisa pasrah.

Di lihatnya jam yang tertempel dinding membuat Gibran menghela napas berat. Ia sudah terlambat masuk sekolah sekitar 35 menit yang lalu. Setelah rambutnya sudah lumayan mengering, ia beralih merapikan seragamnya. Seperti mengancingkan kancing dengan dua kancing atas terbuka dan juga memakai sabuk walaupun baju yang ia kenakan berada diluar.

"BRAN CEPETAN IH! INI UDAH JAM BERAPA?"

Mendengar teriakan Bundanya membuat Gibran berdecak kesal. Padahal ini juga masih hujan dan malah semakin deras. Tapi, kenapa Bundanya itu sangat tidak sabaran? Gibran yakin jika ketiga temannya pasti masih bergelung di bawah selimut tebal mereka.

Dengan langkah malas, Gibran berjalan menuju cermin besar yang ada di dekat almari. Ia mengambil parfum dengan wangi maskulin yang khas. Mulai dari kedua ketiaknya, badan dan juga bagian lehernya. Ia pun beralih menyisir rambutnya dengan tangan dan pomede berwarna putih jernih itu. Dan sekarang, rambut Gibran menjadi berantakan tapi terkesan menjadi lebih tampan 10 kali lipat.

Gibran tersenyum penuh bangga dengan merapikan kerahnya. "Ganteng juga gue ternyata," ucapnya penuh percaya diri yang tinggi.

Selesai dengan merapikan penampilan, Gibran pun keluar dari kamarnya dengan langkah santainya. Padahal jika Gibran tahu, Dinda sudah mati-matian menahan untuk tidak marah dan juga mengomel pada anaknya. Mengingat ini masih pagi, ia malas jika harus menghabiskan suaranya hanya untuk anak badungnya ini.

Arah mata Dinda dari tadi tidak beralih pada tangga yang berhubungan dengan lantai dua itu. Ia menatap dengan tatapan tajam kearah tangga itu. Matanya memincing dan juga berkacak pinggang saat melihat anaknya yang masih santainya padahal jam sudah menunjukkan pukul 8 kurang 5 menit.

Tanpa merasa bersalah, Gibran mencium kedua pipi Dinda dan juga menyengir. "Pagi bunda.." ucapnya dengan senyum manisnya.

Seketika saja amarahnya sedikit menyurut saat melihat wajah manis nan tampan milik anaknya. Dinda menghela napas kasar lalu duduk di samping Aril dengan kesal. Niat awal ingin memarahi Gibran, namun semuanya gagal total hanya karena senyuman anaknya.

Sedangkan Aril maupun Gibran terkekeh kecil melihat wajah wanita satu-satunya di rumah ini kesal. Lalu mereka melempar senyum lega dan juga mengedipkan sebelah mata. Misi berhasil.

"Makan, terus berangkat sekolah. Pakai mobil jangan motor.." pesan Dinda yang hanya diangguki Gibran. Cowok jakung itu masih mengunyah nasi goreng dengan mulut penuh.

Tidak ada 15 menit, Gibran sudah selesai dengan nasi goreng yang ia makan. Cowok itu beranjak dari duduknya dan menghampiri Dinda. Ia mencium kedua pipi wanita paruh baya itu.

"Gibran berangkat ya, bun. Bunda dirumah jangan marah-marah nanti cepet tua.." goda Gibran dengan senyum meledek.

Sebelum Bunda menjawab ledekan Gibran, cowok jakung itu sudah lari terbirit-birit dengan tawa terbahak-bahak. Dinda mendengus namun, tak urung juga ia tersenyum.

Aril memandangi punggung anaknya dengan menggelengkan kepalanya. Lalu matanya beralih pada istrinya yang tersenyum manis. Ia ikut tersenyum lalu melanjutkan makannya.

•••••

Gibran mengerjapkan matanya saat ia baru saja membuka ponsel yang sedari tadi malam memang sengaja tak ia hidupkan dan membiarkan ponsel itu ter-charger dengan penuh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gibran mengerjapkan matanya saat ia baru saja membuka ponsel yang sedari tadi malam memang sengaja tak ia hidupkan dan membiarkan ponsel itu ter-charger dengan penuh.

Dengan cepat, Gibran menekan pesan itu dan ternyata juga ada dua panggilan masuk namun, tidak terjawab olehnya. Gibran yakin, jika Alana saat itu membutuhkannya. Tapi, mengingat hubungan mereka sedang dengan kondisi kurang baik, Gibran mengurungkan niatnya untuk menghampiri Alana di kelasnya.

Helaan napas kasar keluar dari mulut Gibran. Langkahnya semakin cepat menuju kelasnya. Memang sih, sekolah sudah sangat sepi seperti tak berpenghuni. Apalagi, satpam di sekolah tadi juga tidak menegurnya saat ia terlambat sekolah. Gerbang terbuka lebar dan juga guru tidak ada yang berkeliling membuat cowok itu heran.

Tak mau memikirkan hal un-faedah seperti itu, Gibran memegang handle pintu kelasnya dengan gerakan santai. Ia bahkan tidak takut dengan hukuman yang akan diberikan oleh guru matematika yang sedang berada di dalam. Tapi... didalam kelasnya sangat amat riuh dengan suara yang cukup keras.

Cklek.

Seketika suara riuh dan juga ramai tadi hilang sekejap hingga hanya bunyi suara buku yang dibuka. Gibran mengernyitkan dahinya saat memandang ke penjuru kelas yang pada anteng duduk di kursi masing-masing. Matanya menatap kearah meja guru yang ada di pojok dekat almari kelas. Guru tidak ada dan tumben sekali, kelas tidak riuh dan ramai.

"Tumben diem?" komentar Gibran, membuat mereka semua sontak menoleh kearah pintu kelas.

Mereka membulatkan matanya dan juga tersenyum lega. Mereka pikir yang membuka pintu kelas tadi adalah guru matematika yang terkenal killer itu. Namun, mereka salah. Yang membuka hanyalah Gibran yang memandang mereka dengan tatapan bingung.

"Alhamdulillah. Gue kira tadi guru mapel anjir!" ucap salah satu siswa yang diangguki semuanya.

"Iya gue kira juga guru mapel. Tau-taunya, si Gibran!" timpal yang lainnya dengan di akhiri nada kesal.

Satu detik kemudian, langsung saja mereka melanjutkan aktivitas yang tertuda tadi. Dari para cowok bermain game online, para ciwi-ciwi bergosip ria, ada yang tiduran di kursi yang digabungkan menjadi tiga atau empat kursi. Dan masih banyak lagi.

Kepala Gibran menggeleng saat melihat perubahan mereka yang hanya dalam sekejap saja. Sebelum masuk kedalam kelas, suara riuh dan ramai sangat kentara. Tapi saat ia masuk dan menatap kesuluruh siswa/i, mereka anteng duduk di kursi masing-masing dengan buku yang ada di meja. Namun, sekarang kembali lagi pada opsi pertama yang membuatnya tambah bingung.

Gibran mendengus lalu berjalan menuju bangkunya. Ternyata benar pikirnya, kedua temannya tidak ada dibangku dan tas mereka berdua pun tidak ada. Gibran menghela napas berat lalu duduk di bangku dengan kasar.

Jika kalian tanya dimana Raden? Cowok itu tidak satu kelas dengan ketiga temannya. Cowok bertubuh tan itu lebih memilih IPA dari pada IPS. Alasannya sih simple, ia ingin memasuki kedokteran di perkuliahan ataupun berprofesi sebagai dokter.

Tau begini, ia tadi tidak masuk sekolah dan memilih tidur hingga nanti. Ah, semuanya karena ancaman bundanya yang membuatnya pasrah dalam seketika. Gibran menepuk pundak siswa yang duduk di bangku samping mejanya.

"Her.." panggil Gibran membuat cowok yang di panggil dengan sebutan 'Her' itu menoleh.

"Kenapa, Bran?"

"Fiko sama Beni belum dateng?" cowok bernama Heri itu menggeleng tanda belum datang, membuat Gibran berdecak.

"Yaudah." Heri mengangguk lalu melanjutkan bermain ponselnya.

Demi apapun, Gibran menyesal telah masuk sekolah di hari Rabu minggu ini. Masuk dalam kondisi hujan deras, guru mapel tidak masuk, kedua temannya tidak berangkat, dan sekarang? Ia sendirian dan juga tidak ada kerjaan.

Gibran berdiri dari duduknya berniat untuk keluar dari kelas. Sekarang tujuannya hanya kekantin sekolah membeli minuman hangat untuk menyegarkan pikirannya yang sekarang entahlah, buntet.

•••••

gue mulai sekarang kalau update sedikit ya guys, biar ga bosen hehe.

btw, buat instagram RP gue ganti nama ya guys. @wattpadraaa22

MOM ALANA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang