TUJUH PULUH

95.2K 10.8K 1.8K
                                    

"Tumben tuh manusia ular kagak ada di sini?" tanya Julia mengedarkan pandangannya menatap seisi kantin yang cukup ramai, namun murid-murid masih bisa terlihat wajahnya.

Alana mengedikkan bahunya acuh. "Gak tau, gak peduli juga." sahutnya malas.

Julia memutar bola matanya malas. "Eh tapi gue curiga deh sama tuh cewek."

"Kenapa?" dahi Alana mengkerut heran.

"Nih ya, kan kata orang suruhan bokap lo yang mau nyulik si Raska itu cewek. Nah, gue kepikiran kalau yang nyulik tuh si Resha. Secara dia kan dulu pernah bilang kalau mau ambil Raska dari elo. Lo lupa sama ucapan dia?"

Alana menggelengkan kepalanya. Jelas ia tidak akan lupa dengan kata-kata Resha yang cukup membuatnya tidak tertidur dan juga harus mengkonsumsi obat tidur selama 2 hari agar tidak terus menerus begadang memikirkan cara agar Resha tidak mengambil Raska darinya.

"Tapi masa iya sih Resha." wajah Alana menjadi cemberut karena memikirkan ucapan Julia yang cukup membuat pikirannya terusik kembali.

"Ya gue cuma nebak-nebak aja sih. Siapa tau kan bener, yang nyulik si Resha."

Alana menghela napas pelan lalu memijat pangkal hidungnya meredakan nyerinya. "Dahlah, pusing gue mikirin masalah ini. Tuh cewek nambah-nambahin masalah mulu heran. Udah tau gue punya banyak masalah yang belum selesai, nambah mulu perasaan." keluhnya dengan pasrah.

Julia ikut menghela napas juga. Gadis itu menatap kearah sahabatnya dengan prihatin dan perasaan iba. Dari dulu sampai sekarang, sahabat satu-satunya ini selalu saja tertimpa masalah. Entah masalah tentang keluarga, persahabatan, bahkan sampai percintaan.

Tangan Julia terulur merangkul bahu sahabat masa kecilnya ini guna menyalurkan rasa semangat pantang menyerah. "Gue cukup prihatin sama nasib lo yang kayak gini. Tapi lo seharusnya bersyukur sih bisa dapetin cowok kayak Gibran yang perhatian sekaligus gak cuek. Apalagi setelah pacaran sama lo, Gibran lebih penyabar dan juga makin romantis." katanya menaik turunkan alisnya menggoda.

Mendengar ucapan terakhir Julia, Alana sontak mendengus kesal. "Kenapa tiba-tiba ngelantur sama sikap dan sifat si Gibran?" tanyanya heran seraya menggelengkan kepalanya tak habis fikir.

Julia terkekeh pelan lalu tangannya menjauh dari bahu gadis itu dan menyandarkan punggungnya di sandaran tembok karena bangku kantin tidak ada sandaran kursi.

"Lo seharusnya bersyukur Al bisa punya keluarga lengkap bahkan dua sekaligus. Punya kakak yang sayang sama lo, punya pacar yang ngasih kepastian cepet walaupun terus-terusan cekcok padahal kalian saling sayang dan saling perhatian. Sedangkan gue? Keluarga gue gak utuh, bokap gak tau kemana. Gue cuma tinggal sama nyokap, gak punya saudara. Masalah percintaan apalagi, digantung tanpa kepastian." Julia tersenyum miris meratapi nasib hidupnya.

"Tapi lo tenang aja, gue gak bakalan selemah itu buat pasrah gitu aja. Gue masih usaha kok buat nyari Papa kemana pun dia berada." sambungnya terkekeh pelan walaupun air matanya sudah keluar.

Alana meringis dalam hati. Mengapa ia tidak bisa setegar sahabat sejak kecilnya ini? Mengapa ia baru di kenai masalah sedikit seperti ini, sudah mengeluh, pasrah dan tidak peduli? Tatapannya menatap kearah Julia dengan prihatin juga.

Memang, sedari bayi sampai akan menginjak umur 18 tahun, Julia tidak pernah melihat sosok ayah di hidupnya. Julia hanya tinggal berdua bersama Mama nya -Fani. Walaupun Julia tidak kekurangan uang semasa ia hidup, dan bahkan sangat berlebih. Tapi, ia masih tetap ada merasa kekurangan. Soal materi dan kasih sayang dari Mama nya ia tidak kekurangan sedikitpun. Namun, dari sosok Ayah yang masih belum gadis itu temukan sejak dulu.

Julia ingin mempunyai keluarga utuh selayaknya teman-teman yang lainnya. Julia ingin di manja oleh sang Ayah. Julia ingin di beri uang dan juga kasih sayang oleh Ayahnya. Julia ingin, ingin sangat. Tapi apa yang boleh ia perbuat selain mencari dan terus mencari keberadaan Ayahnya saat ini?

MOM ALANA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang