DUA PULUH SEMBILAN

110K 12K 906
                                    

makasih untuk 100 ribu readersnyaa
nggak pernah kebayang dikepala aku, kalau sampai nembus 100 ribu readers😭

tetep stay safe ya di cerita ini. jangan lupa tinggalkan vote, komen di setiap paragraf. tandai apa bila kalian menemukan typo ataupun kata yang menurut kalian kurang enak:)

~~~

Menunggu kurang lebih 20 menit, akhirnya Gibran dan ketiganya masuk kedalam ruang rawat Alana. Setelah dari UGD tadi, Alana langsung dibawa di ruang rawat inap oleh dokter.

Saat ini Gibran sangat gugup dan nervous. Entahlah, perasaannya tidak enak saat satu langkah kakinya menapakkan di ruangan rawat Alana. Huh, suasana sangat mencekam.

Terlihat saat Gibran memasuki ruangan inap itu, Alana sedang berbaring miring memunggungi mereka berempat. Gibran menghela napasnya berat membuat Alana yang mendengar langsung menoleh.

"H-hai.." sapa Gibran terasa canggung.

Seketika Alana langsung mengubah mimik wajahnya menjadi datar saat menatap ketiganya. Namun, tak urung dia mengangguk singkat. Alana berniat duduk dan bersandar di sandaran brankar namun, sial. Tubuhnya belum bisa menahan untuk bangun.

Alhasil dengan gerak cepat, Gibran membantu Alana untuk duduk di atas brankarnya. Langsung saja, Alana menepis tangan cowok itu dengan kasar.

"Jangan sentuh gue!" sungutnya menatap Gibran tajam.

Gibran tertegun. Di hatinya seperti ada yang menusuk beberapa kali dengan pisau. Bahkan, dadanya terasa sesak saat Alana menolak untuk ia bantu duduk.

Dengan anggukan sedikit lesu, Gibran pun undur diri menjauh dari brankar Alana dan berjalan berbalik arah. Bukannya, menghampiri ketiga sahabatnya. Namun, Gibran malah berjalan menuju kearah pintu ruangan inap Alana.

Ketiga sahabat Gibran yang melihat itu mengernyitkan dahi secara bersamaan. Pasalnya mereka tak mendengar apa yang Gibran dan Alana bicarakan. Hanya bisa melihat raut wajah Alana yang berbeda saat Gibran datang. Dan juga, melihat wajah Gibran yang murung setelah membantu Alana duduk.

Ada apa ini sebenarnya?

Mereka bertiga lantas saling berpandangan menanyakan apa yang terjadi. Dengan serempak, mereka menggelengkan kepalanya tidak tau. Lalu matanya beralih pada Alana yang menatap kearah depan dengan pandangan kosong.

"Gimana nih?" bisik Beni tepat di telinga kanan Fiko.

Fiko menoleh sedikit, lalu mengedikkan bahunya acuh. Dia saja juga tidak tahu harus berbuat apa lagi selain diam. Beni menghela napasnya lalu beralih menatap Raden yang sudah kebingungan juga.

"Gimana nih, Den?" tanyanya beralih.

Raden menoleh lalu juga menggeleng, tidak tau. Beni menggeram kesal lalu membuang arahnya kesembarang arah. Dari tadi, di tanya jawabannya cuma geleng atau nggak cuma naikin bahu. Apalagi, Gibran juga sudah keluar dari ruangan Alana entah kemana.

Beni menatap sekitar dengan bingung harus bagaimana. Lalu ia memilih berjalan menuju tempat Alana duduk. "Hai, Al.." sapanya dengan senyum tengilnya.

Alana sontak menoleh lalu tersenyum tipis. Berbeda saat ia bersitatap dengan Gibran tadi. Beni pun juga tertegun melihat perbedaan saat Alana bertemu dengannya dan bertemu dengan Gibran.

"Gimana keadaan lo? Udah baikan?" Alana mengangguk. "Udah, cuma masih lemes.." jawabnya terkesan lirih. Karena memang suaranya juga serak, jadi terdengar pelan.

Beni mengangguk lalu keadaan menjadi hening. Terlintas ide cukup menarik dalam otaknya yang hanya sedikit ini. "Eh lo tau nggak, Al?" tanyanya dengan wajah berseri. Cowok berkulit putih itu memang tidak akan tahan jika keadaan seperti ini. Apalagi menjadi canggung.

MOM ALANA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang