TIGA PULUH EMPAT

103K 11.5K 977
                                    

Belum ada ide, tapi maksain buat update, hikssss. Kalau nggak jelas, jangan kecewa yupp.

Gibran memasuki rumahnya yang sudah sepi ini sekitar pukul 11 malam kurang 15 menit. Ia menghela napasnya lega saat lampu ruang tamu dan ruang tengah sudah mati. Berarti, Bunda dan Ayah sudah tidur semua dan Gibran aman.

Bukannya ia tidak boleh pulang hingga tengah malam. Hanya saja 2 hari terakhir ini, Gibran kerap sekali pulang larut malam dan membuat Dinda khawatir. Tidak biasanya anaknya seperti ini.

Bahkan, Gibran juga belum sempat bercerita pada Dinda tentang Alana yang pingsan di rumah sakit dan tentang hal-hal lainnya. Dinda sempat curiga dan juga merasa aneh dengan Gibran yang sekarang. Anaknya ini sekarang lebih suka keluyuran dan juga pulang larut malam, tidak seperti biasanya.

"Baru pulang?"

Langkah mengendap Gibran terhenti saat mendengar suara itu. Tubuhnya menegang, lalu lampu menyala dan menoleh kearah suara yang sedang berada di samping saklar lampu ruang tamu dan ruang tengah.

"Dari mana aja?" Dinda berjalan mendekat ke Gibran yang sudah menundukkan kepalanya.

Aroma rokok dan alkohol tercium dari indra penciuman wanita paruh baya itu. Lalu matanya memincing menatap Gibran penuh selidik. Bahkan, matanya juga kian menajam membuat Gibran menelan ludah. Cowok itu sekarang sudah berani menatap kearah Bundanya.

"Kamu mabuk?" tanya Dinda dengan nada dingin.

Kepala Gibran menggeleng cepat. Ia berkata dengan jujur jika dia tidak minum minuman beralkohol itu dan merokok. Mungkin, aroma itu tercium dari Gibran karena memang aroma dari club malam itu sangat menyengat dan menempel di kaos yang Gibran pakai.

"Terus kalau nggak mabuk, kenapa bau?"

"A-anu.." kikuk Gibran menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Jawab!" sentak Dinda membuat Gibran terlonjak kaget.

"Gibran nggak mabuk, Bun.." jawabnya dengan nada pelan.

"Terus kalau kamu nggak mabuk, ini kenapa baunya nyengat, Gibrannnn!" gemas Dinda meremas tangannya keudara.

Gibran menyengir dengan tangan yang masih berada di tengkuknya. Padahal tadi saat rumah sudah sepi dan gelap, perasaan Gibran begitu lega. Dan alasan kenapa Gibran tak pernah berada di rumah, karena menghindari Bundanya agar tidak di tanyai yang tidak-tidak.

Dinda menghela napas kasar, lalu melangkah menuju kulkas untuk mengambil air dingin. Berbicara dengan Gibran yang sekarang memang harus butuh kesabaran dan juga air minum yang cukup. Tenaganya cukup terkuras karena anaknya cukup menjengkelkan.

Selepas meneguk satu gelas air dingin itu, Dinda kembali melangkah kearah Gibran yang sibuk menunduk. Memandangi lantai berubin putih itu dengan merasa bersalah.

"Kalau kamu nggak mabuk, terus kenapa ini bau alkohol sama rokok kayak gini?" Dinda menutup hidungnya saat bau itu masih menyengat.

"A-anu, Bund.." gugup Gibran.

"Anu anu! Anu apa?!" kesal Dinda dengan sensi.

"Boleh duduk dulu nggak, Bund? pegel!" rengek Gibran membuat Dinda melotot.

"Nggak! Kamu bunda hukum berdiri di sini sampai kamu mau ngejelasin. Dan itu hukuman buat kamu, karena kamu sering keluar rumah dan pulang malem terus. Dan, kamu juga belum nepatin janji kamu buat ngejelasin yang bunda minta di rumah sakit itu!" ujar Dinda menjelaskan.

Gibran menghembuskan napasnya pasrah. Ia juga mengaku salah dan juga takut secara bersamaan. Takut karena ia sudah berbicara tanpa memikirkan perasaan orang lain dan juga salah saat menghindari bundanya agar tidak di tanyai yang membuat Gibran semakin bersalah.

MOM ALANA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang