SELAMAT MEMBACA!
•••••
Entah mengapa Alana menatap gugup pintu besar di hadapannya. Iya, ia, Raska dan Gibran sudah berada di depan rumah orang tua Gibran. Sedangkan, rumah yang ada di sebelah Alana hanya rumah Gibran untuk istirahat sejenak.
Padahal ia dan Gibran tak ada apa-apa, tetapi jujur ia merasa takut jika orang tua Gibran tidak mau merawat Raska saat ia dan Gibran tengah sekolah. Ia takut jika orang tua Gibran malah berfikir jika ia bukan wanita baik-baik.
Walaupun Gibran sudah bercerita tentang Raska, tetapi ia masih saja takut dan gugup. Berasa bertemu dengan calon mertua, eheek.
Gibran menatap ke arah Alana yang sedang menggendong Raska dengan tersenyum kecil. Ia tahu jika Alana tengah gugup dan takut. Ia genggam tangan mungil itu hingga membuat sang empu tersentak kaget.
"Apaan sih?" mata Alana melotot sempurna. Gibran hanya mengedikkan bahunya acuh lalu menarik lembut Alana untuk masuk ke rumah berlantai tiga milik orang tua Gibran.
Alana mengedarkan pandangan saat mereka sudah masuk ke lantai satu. Ternyata cover dan dalamnya sama-sama mewah! Bahkan barang-barang di lantai ini ternyata branded dan mahal.
"ASSALAMUALAIKUM!" teriak Gibran membuat Alana berjenggit kaget. Apa laki-laki itu sudah terbiasa berteriak?
"Waalaikumsalam. Gibran jangan teriak-teriak, ish!" wanita paruh baya dengan hijab hitam itu mendengus kesal saat anak semata wayangnya berteriak. Kebiasaan!
Gibran menyengir lebar lalu menyalimi punggung tangan sang bunda dan di ikuti Alana yang berada di sampingnya. Dinda, bunda Gibran terkejut saat melihat Alana dengan bayi yang ada di gendongannya. Ia langsung menatap Gibran horor.
Gibran yang di tatap seperti itu hanya meringis pelan. "Bunda lupa?"
Dahi Dinda berkerut bingung. "Lupa? lupa apa?"
Gibran menghela napasnya jengah. "Alana sama Raska." malas Gibran menjelaskan pada sang bunda yang sudah pikun.
Dinda terkekeh seraya menepuk jidatnya. Ia benar-benar lupa pada Alana dan Raska. "Aduh, maaf ya sayang. Bunda suka lupa. Jadi nggak inget deh!" Dinda berasa bersalah pada Alana.
"E-eh, nggak papa kok tante. Justru, Alana yang seharusnya minta maaf karena udah ngrepotin tante ngurus Raska." ucap Alana tidak enak pada Dinda.
Dinda tersenyum hangat lalu mengelus surai coklat milik Alana lembut. "Bunda malah seneng kalau ada anak kecil. Apalagi kayak Raska yang ucul!" Dinda menjawil hidung Raska yang sedari tadi diam menatap rahang Alana.
"Yaudah bun, titip Raska ya. Nanti Gibran sama Alana jemput kalau udah pulang sekolah." ucap Gibran seraya menyerahkan Raska dari Alana ke Dinda.
Dinda dengan senang hati menerima Raska yang sudah ia anggap sebagai cucunya sendiri. Padahal anaknya masih berumur 18 tahun bulan kemarin. Tetapi sudah seorang bayi berumur 3 bulan.
"Hem, cucu bunda wangi banget sih!"
Ucapan Dinda membuat Alana tersedak. Cucu? Rasanya Alana sangat malu karena Dinda mengakui Raska sebagai cucunya. Padahal Alana meminta Gibran untuk mengurus Raska hanya agar ia tak kerepotan dan ia juga melihat jika Raska dan Gibran sangatlah klop.
"Bun, Alana malu tuh!" Gibran menunjuk ke arah Alana yang menunduk malu. Pipinya sudah muncul semburat merah karena ia blushing saat Dinda menyebut Raska dengan kata 'cucu'.
KAMU SEDANG MEMBACA
MOM ALANA
Teen FictionHidup Alana berubah ketika ia harus menjadi seorang ibu di usianya yang masih terbilang cukup muda. 17 tahun. Bayangkan saja, di usianya yang masih belasan harus menjadi seorang ibu dan mengurus seorang anak. Bukan, dia bukan hamil di luar nikah. Na...