Akhirnya yang ditunggu-tunggu tiba. Alana merekahkan senyumnya saat sudah berada di halaman rumahnya. Ah, lega sekali ia bisa keluar dari rumah sakit yang sangat memuakkan itu.
Ia pun buru-buru keluar saking senangnya membuat Mawar maupun Julia menggelengkan kepalanya seraya terkekeh.
"Nggak usah buru-buru. Kenapa sih emangnya?" heran Mawar.
Alana menghentikan langkahnya lalu menoleh kebelakang, "Kangen Raska, Ma.." cengirnya.
Mawar memutar bola matanya malas, lalu keluar dari mobil dan diikuti Julia. Jika kalian tanya kenapa Gandi tidak ikut mengantar Alana untuk pulang dari rumah sakit, pria paruh baya itu sedang ada urusan pekerjaan di luar kota tadi pagi. Jadi, ia tidak bisa mengantar anaknya untuk pulang.
Dan Alana pun tidak merasa keberatan saat Papanya tidak mengantarkannya pulang. Ia juga memaklumi dan juga memahami pekerjaan Papanya yang memang menumpuk. Toh, Papanya kerja untuk Mama dan juga untuknya. Untuk apa ia harus protes?
"Assalamua–"
Ucapan Alana berhenti saat mendapati Gibran dan Raska yang sedang tidur di atas karpet bulu dengan berpelukan. Tatapan Alana menjadi sendu. Pikirannya melayang pada hari dimana Gibran tidak menganggap Raska sebagai anaknya.
Kenapa sih, ucapan Gibran selalu terngiang-ngiang di kepalanya? Padahal, ia sudah mencoba untuk tidak mengingat ucapan yang berhasil membuat hatinya sakit. Namun, nihil. Alana masih saja kepikiran dan kerap juga menangis di malam hari saat dirinya ingin tertidur.
"Loh kok masih disini?" tanya Mawar mengerutkan dahinya.
Alana menoleh lalu melirik kearah dua ornag yang sedang tidur itu dengan dagunya. Mata Mawar beralih pada objek yang Alana tunjuk. Lalu ia membulatkan bibirnya dan mengangguk.
"Alana samperin dulu, Ma." pamit Alana yang digelengi Mawar. "Nggak usah," larangnya.
Dahi Alana berkerut, "Kenapa nggak usah?" bingung Alana.
Mawar tersenyum kecil, "Biar mereka tidur dulu. Mungkin mereka kecapean. Lihat, semua mainan berserakan dimana-mana. Pasti mereka setelah main langsung tidur," jelas Mawar seraya menatap kesekililing ruang tamu.
Alana menghela napas panjang lalu mengangguk pasrah. Benar yang dibilang Mamanya. Kini ruang tamu sudah seperti kapal pecah. Mainan berserakan dimana-mana. Biskuit yang memang ada di dalam toples atas meja juga berasa dimana-mana. Mungkin jika mata mereka jeli, pasti mereka tahu jika ada beberapa semut hitam yang mengerubungi biskuit itu.
"Sekarang kamu pergi kekamar, terus istirahat." suruh Mawar yang diangguki Alana.
Saat ia sampai di depan tangga, matanya menoleh kearah dapur yang ada seorang wanita. Kedua alis Alana menyantu bingung. Tanpa pikir panjang, Alana langsung menghampiri wanita itu.
Tangannya menepuk bahu wanita itu hingga sang empu terlonjak kaget. "Astagfirullah!" kagetnya memegangi dadanya.
Lalu menoleh kearah kiri dengan wajah yang masih shock. Alana mengernyitkan dahinya mendapati wajah wanita itu. "Lo siapa?" tanyanya.
Wanita itu menundukkan kepalanya memberi rasa hormat membuat Alana semakin bingung. Gadis itu menggaruk pelipisnya yang tak gatal.
"Kenapa nunduk segala sih?"
Wanita itu tersenyum canggung. "Saya baby sisternya den Raska, mbak. Mbak'nya siapa ya?" tanyanya dengan takut. Kepalanya sudah menunduk.
Alana membulatkan bibirnya membentuk lingkaran lalu mengangguk paham. "Gue bundanya Raska. Jangan kaget ya kalau gue, muda-muda udah punya anak." sahut Alana dengan matanya menatap wanita itu serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
MOM ALANA
Teen FictionHidup Alana berubah ketika ia harus menjadi seorang ibu di usianya yang masih terbilang cukup muda. 17 tahun. Bayangkan saja, di usianya yang masih belasan harus menjadi seorang ibu dan mengurus seorang anak. Bukan, dia bukan hamil di luar nikah. Na...