SEBELAS

149K 16.2K 1K
                                    

AKU SUKA KALAU KALIAN PADA KOMEN GITU.

TAMBAH SEMANGAT JADINYA HEHE..

JANGAN LUPA TINGGALIN JEJAK YA.

VOTE DAN KOMEN SEBANYAK-BANYAKNYAAA

SELAMAT MEMBACA.

~~~

Pagi ini, rencananya Gibran akan menjemput anak tetangga baru yang ternyata adalah anak teman bundanya. Gibran penasaran betapa cantiknya anak teman bundanya itu. Ia juga ingin pamer pada Alana tentang DOI.

Gibran menghampiri box bayi Raska. Ternyata bayi laki-laki itu tengah menggilat tak nyaman karena cahaya matahari yang mulai mengusik. Gibran tersenyum lalu membawa Raska ke gendongannya. Ia menciumi wajah Raska dengan bertubi-tubi hingga bibir mungil itu menekuk ingin menangis.

Gibran terkekeh pelan saat mendengar gumaman Raska seperti rengekan agar Gibran menyudahi menciumi wajahnya. Hingga ketukan pintu dari luar membuat Gibran mau tak mau menyudahi ciumannya di wajah anaknya.

Dengan langkah malas dengan membawa Raska di gendongannya, Gibran membuka pintu kamarnya. Menampilkan bundanya yang sudah berkacak pinggang dengan hijab dan juga daster. Dinda menatap anaknya dengan tajam membuat Gibran terkekeh pelan.

"Kenapa bun?" tanya Gibran pura-pura polos.

Dinda mencebik pelan. Lalu menatap anaknya dari atas hingga bawah. Ia tersenyum saat mendapati anaknya sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Tetapi ada yang aneh dengan anaknya pagi ini. Tak biasanya Gibran rapi dan juga tidak seperti biasanya yang terkesan bad boy.

Dinda memincingkan matanya menatap Gibran curiga. "Tumben rapi?" tanya Dinda bersedekap dada.

"Mau ketemu calon pacar harus rapi dong!" sahut Gibran dengan senyum lebarnya.

Dinda melongo dengan jawaban anaknya. Ia memukul bahu Gibran pelan. "Heh! Inget udah punya anak! Jangan keganjenan!"

Gibran mendelik menatap bundanya kesal. "Biarin dong! Kan Gibran juga mau punya pacar. Dari kecil Gibran nggak punya pacar. Bahkan deket sama perempuan aja cuma Gibran gantungin," ujarnya menampilkan deretan gigi putihnya.

Dinda memutar bola matanya malas. Ia sempat heran dengan anaknya yang suka menganggantungkan perempuan seenaknya. "Kayaknya bunda salah ambil bayi deh waktu lahiran," gumamnya pelan tetapi masih bisa di dengan Gibran.

Mendengar ucapan bundanya membuat mata Gibran membola. Ia menatap sinis sang bunda. "Bunda nggak inget kelakuan ayah dulu, Heh?!" sinisnya dengan nada ketus.

"Emang ayah dulu kayak gimana?" bukan, bukan Dinda yang menjawab melainkan Aril yang baru saja keluar dari kamarnya. Ia sudah memakai kemeja dengan rapi dan juga jas putih khas dokter.

Mereka berdua menoleh lalu menyengir lebar. Dinda menghampiri suaminya dan juga menepuk dada sebelah kiri dengan senyum manisnya. "Nggak usah di dengerin anak kamu! Sama-sama playboy kayak kamu dulu!"

Aril mendelik. "Siapa yang playboy? Orang aku nggak playboy kayak onoh!" Aril melirik ke arah Gibran yang sedang mencium Raska.

"Hus, kamu mah!" Dinda mencubit pinggang suaminya hingga membuat sang empu memekik.

"Sakit ih!"

Dinda terkekeh lalu menatap Gibran yang sudah ingin memasuki kamarnya lagi. Sebelum Gibran melangkah memasuki kamar, ia sudah menyela. "Heh, ngapain kamu masuk lagi?"

Gibran menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Dinda. "Mau ambil tas, Bun."

Dinda membulatkan mulutnya lalu mengangguk. "Yaudah sana!" titahnya mengusir membuat Gibran mencebik.

MOM ALANA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang