Kalau cerita ini end, kalian siap nggak buat pisah sama bang Gib sama mimi Alana?
---
Setelah kurang lebih 15 menit, Gibran akhirnya sampai di salah satu cafe yang memang sering ia dan para sahabatnya datangi. Jika ada waktu luang, pasti mereka akan datang kesini, nongkrong hingga tengah malam.
Gibran mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru isi cafe guna mencari meja ketiga sahabatnya duduk. Sedikit lama, akhirnya ia menemukan ketiga cowok remaja yang duduk dengan wajah lesu dan juga cemberut.
"Woi!" pekik Gibran membuat mereka terlonjak, kecuali si manusia kutub.
Cowok berdarah dingin itu hanya melirik Gibran tajam dan juga mendengus. Lalu, melanjutkan aktivitasnya yang tertunda karena kejahilan Gibran. Sedangkan, kedua manusia yang kaget bukan main itu langsung menyumpah serapahi Gibran dengan kata-kata andalan mereka berdua. Apalagi jika bukan, mengabsen satu-persatu nama hewan yang ada di kebun binatang.
Tawa Gibran meledak begitu saja melihat wajah kesal para sahabatnya. Lalu, cowok jakung itu langsung duduk di salah satu bangku yang memang tersedia di meja itu.
"Gue bilangnya 10 menit, lo datengnya 17 menit," cibir Beni menatap Gibran kesal.
Gibran mendengus, "Emangnya jarak rumah sakit sama cafe ini layaknya jarak rumah gue sama rumah Alana apa? 5 langkah langsung sampai. Butuh waktu broo.." balas Gibran tak kalah kesal.
Beni kini mendengus lalu melanjutkan minumannya yang ia pesan untuk ketiga kalinya. Ya, selagi menunggu Gibran yang lamanya nggak karuan. Beni, sudah menghabiskan 2 gelas minuman dan juga 2 piring makanan. Sekarang sudah yang ketiga kalinya.
"Pokoknya gue nggak mau tau, lo harus bayarin minuman dan makanan kita bertiga. Titik!" tegas Raden yang kini juga menatap Gibran kesal.
Kedua alis Gibran menaut, "Kenapa harus gue?" tanyanya.
Raden mengerang kesal. "Bener-bener lo ya, Bran. Kita udah 45 menit nyariin lo sampai ke plosok-plosok, nungguin lo 20 menit disini dan lo nggak ngerasa gitu?" sinis Raden membuat Gibran tergelak.
Lalu, cowok jakung itu berdeham. "Emangnya gue nyuruh lo bertiga nyariin dan nungguin gue? nggak kan?" Gibran menarik salah satu sudut bibirnya tersenyum miring.
Beni membasahi bibir bawahnya. Lalu menatap Gibran dengan tatapan menusuk. "Bener-bener lo ya!!" geramnya menunjuk wajah Gibran dengan telunjuknya.
Dahi Gibran mengerut lalu tertawa renyah. Sebenarnya, ia hanya menggoda dan menjahili kedua manusia dihadapannya ini. Memancing emosi keduanya. Dari pada, mereka yang menjadi samsak Gibran untuk emosi, lebih baik Gibran yang membuat mereka emosi.
"Sialan lo, Bran!" umpat Raden menjitak kening Gibran keras, hingga membuat sang empu meringis pelan.
"Gue tanya sekali lagi, emangnya gue nyuruh kalian buat nyariin gue kemana? Nungguin gue disini? Nggak kan. Yaudah, jadi gue nggak salah dong.." jelas Gibran dengan watadosnya.
Beni dan Raden tersenyum masam mendengar ucapan sahabat lucknutnya yang satu ini. Mereka juga menyesali apa yang mereka lakukan karena tidak membuahkan hasil apapun. Yang mereka dapatkan hanyalah ucapan yang membuat mereka mati kutu seperti ini.
"Terserah deh, Bran.." lirih Beni dan Raden pasrah.
Percuma menanggapi Gibran yang pintar dalam menjawab segala omongan seperti ini. Padahal, mereka berdua sudah menyiapkan lontar-lontaran yang akan membuat Gibran kesal dan merasa bersalah hingga meminta maaf kepada mereka. Namun, dugaan mereka salah. Malahan mereka yang dibuat mati kutu seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
MOM ALANA
Teen FictionHidup Alana berubah ketika ia harus menjadi seorang ibu di usianya yang masih terbilang cukup muda. 17 tahun. Bayangkan saja, di usianya yang masih belasan harus menjadi seorang ibu dan mengurus seorang anak. Bukan, dia bukan hamil di luar nikah. Na...