Taman sore hari ini terasa sangat ramai padahal hari ini adalah hari Senin, dimana bukan hari libur. Raska yang melihat ada taman kanak-kanak seperti perosotan, ayunan dan juga pasir sudah membinarkan matanya. Balita itu sudah tidak sabar memainkan permainan itu semua.
Tangannya menarik-narik ujung baju Alana membuat gadis itu menunduk. "Tu!" tangannya menunjuk kearah permainan anak-anak dengan semangat. Mata Alana menoleh kearah yang balita itu tunjuk lalu mengangguk.
Gadis itu tersenyum seraya berjongkok mensejajarkan tinggi tubuhnya agar sama dengan balita itu. "Raska mau main kesana?" tanyanya yang diangguki mantap oleh balita itu.
"Yaudah cus kita kesana!" seru Alana tak kalah semangat. Raska pun loncat-loncat kegirangan dan langsung berlari kearah permainan anak-anak.
Alana geleng kepala seraya mengikuti langkah anak itu dari belakang. Ia senang ketika melihat Raska yang sangat aktif dan juga bahagia seperti ini. Namun, senyumnya meluntur saat ia kembali teringat dengan ucapan Resha saat berada di kelas waktu itu.
Resha ingin mengambil Raska darinya.
Tentu saja itu semua tidak akan terjadi. Alana akan menjaga Raska sebisa mungkin agar gadis itu tidak mengambil Raska darinya. Bukan, ia tidak ingin memisahkan Raska dari Ibu kandungnya, tapi Alana tidak begitu yakin jika Raska bersama dengan Resha.
Apalagi Resha yang belum mempunyai pengalaman mengurus anak kecil. Alana yakin pasti gadis itu akan mengeluh terus menerus karena tidak bisa mengimbangi waktunya untuk semua ini. Resha masih labil, Resha masih belum mengerti. Alana takut jika nanti Resha malah melakukan hal yang Alana tidak inginkan.
Sudah itu saja ketakutan Alana saat nanti Resha mengambil Raska darinya.
Setelah tersadar dari lamunannya Alana mendongak menatap kearah taman bermain anak-anak. Tatapannya mengedar mencari keberadaan Raska. Tiba-tiba matanya membulat saat tidak ada Raska di salah satu anak-anak itu.
Jantungnya berdegup dengan kencang. Dengan langkah cepat, Alana langsung berjalan kearah anak-anak itu dengan kalang kabut dan juga perasaan panik. Otaknya seketika blank. Pikiran-pikiran jahat mulai menyerangnya.
Alana terus mengedarkan pandangannya dengan tajam agar cepat menemukan balita itu. Tapi, nihil. Balita itu tidak ada. Tiba-tiba kakinya lemas seperti jelly. Ia merasa gagal menjaga Raska. Alana takut jika Raska di culik dan di jual.
Bahu Alana bergetar menahan tangisnya. Alana ceroboh! Alana bodoh! Tanpa sadar air matanya sudah mengalir begitu saja membasahi kedua pipinya. Dengan cepat Alana menghapus air mata itu dan menguatkan dirinya. Ia harus cepat menemukan Raska sebelum ada apa-apa dengan balita itu.
Langkahnya terus berjalan mengintari taman untuk mencari keberadaan Raska. Alana juga tak lupa menanyakan pada orang-orang yang berada di taman ini tentang keberadaan Raska. Siapa tau, orang-orang itu melihat dan memberi tahu pada Alana.
Gadis itu mendesah frustasi saat tidak menemukan Raska di taman. Sudah berkali-kali Alana mengintari taman sampai kakinya lemas, namun hasilnya nihil. Ingin memberi tahu keluarganya sekaligus Gibran, Alana takut. Tapi ini perbuatannya.
Gimana dong?
Alana mengigit bibir bawahnya saat ponselnya bergetar karena mendapat panggilan dari Gibran. Jatungnya terus berdegup kencang saat panggilan itu terus-menerus berdering di ponselnya. Alana takut jika laki-laki itu marah dan memaki-makinya. Alana takut, sungguh.
Alana takut jika hubungannya dan Gibran merenggang. Padahal mereka baru saja jadian dan menjalin hubungan belum ada satu hari. Tapi, mengapa masalah ada di saat ia bahagia? Tidak masuk akal bukan, jika hubungan mereka malah tidak baik-baik saja padahal umur pacaran mereka masih seumur jagung?
KAMU SEDANG MEMBACA
MOM ALANA
Teen FictionHidup Alana berubah ketika ia harus menjadi seorang ibu di usianya yang masih terbilang cukup muda. 17 tahun. Bayangkan saja, di usianya yang masih belasan harus menjadi seorang ibu dan mengurus seorang anak. Bukan, dia bukan hamil di luar nikah. Na...