Hari sudah berlalu dan kini Ujian juga sudah hari terakhir. Alana tersenyum puas saat lembar jawabnya sudah terisi dengan tulisan-tulisan memuakkan. Alana menghela napas lega lalu menjatuhkan kepalanya di atas meja seraya memejamkan matanya sejenak.
Kepalanya cukup pusing setelah berkutat dengan soal berbahasa asing itu. Iya, hari terakhir ini Ujian Bahasa Inggris. Tapi, untungnya Alana cukup mahir dalam Bahasa Inggris jadi tidak terlalu sulit. Menurutnya lebih sulit, pelajaran Ipa dan juga Matematika dari pada Bahasa Inggris.
"Yang sudah selesai mengerjakan dan juga sudah mengoreksi jawaban terisi semua, boleh bawa maju kedepan dan langsung keluar ruangan." ucap guru pengawas dengan suara tegasnya.
Saat mendengar suara itu Alana berdecak pelan lalu mengangkat kepalanya menatap seisi ruangan. Ternyata sudah ada tiga kursi kosong yang sudah keluar kelas. Alana beranjak dari duduknya dan berjalan gontai kearah meja guru.
"Kamu sudah selesai... Em Alana?" tanya guru itu melihat name tag yang ada di dada sebelah kanan Alana. Gadis itu mengangguk lalu menyerahkan lembar jawab di depan pengawas.
"Saya permisi ya, Bu." pamit Alana yang diangguki oleh guru pengawas itu.
Menginjakkan kakinya keluar kelas dan mengambil tas gendong berwarna hitamnya yang ada di depan kelas, lantas Alana mengedarkan pandangannya menatap kearah lapangan basket. Ternyata Gibran dan teman-temannya sedang bermain basket.
Dahi Alana mengkerut. Sejak kapan Gibran dan teman-temannya mulai bermain Basket? Setahunya, mereka sangat anti dengan Basket dan lebih memilih Futsal. Padahal skill Basket mereka jauh lebih hebat dari pada tim Basket Sma Bintang. Tapi jangan diragukan lagi jika sedang bermain Futsal. Tak kalah juga dengan jika bermain Basket.
Langkahnya pun berjalan menghampiri mereka bertiga yang tengah duduk di pinggir lapangan dengan bangku yang sudah tersedia. Sedangkan, Fiko. Cowok itu masih sibuk mendriblle bola basketnya.
"Eh Alana.." sapa Beni cengar-cengir.
Alana membalas tersenyum lalu menghampiri Gibran yang tengah menatapnya seraya meneguk air mineral dalam botol itu.
"Udah selesai?" tanya Gibran yang di angguki Alana.
"Udah, baru aja. Lo dari kapan udah selesai?" tanyanya balik.
Cowok itu menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi kayu itu sebelum menjawab. "Sekitar 15 menit yang lalu sih."
Mulut Alana membentuk lingkaran seraya berohh ria. Lalu ia mengalihkan pandangannya menatap kearah lapangan yang sudah semakin panas.
"Gimana sama pencarian orang yang mau nyulik Raska itu, Bran?"
Pertanyaan Beni membuat Alana menoleh cepat. "Lo tau tentang itu?" tanyanya mengerutkan dahinya.
Beni mengangguk. "Gibran kemarin cerita ke kita bertiga. Eh gak deng, lebih tepatnya kita yang maksa." jawabnya seraya menyengir kuda.
Kepala Alana mengangguk paham. "Kata Papa orang suruhannya masih nemuin jenis kelamin yang nyuruh dua orang itu sih. Belum jelas juga siapa." jelasnya.
"Cowok?"
Alana menggeleng. "Cewek,"
Seketika Gibran langsung menoleh kearah Alana dengan tatapan sulit di artikan. "Jangan-jangan.."
"RESHA!" teriak mereka Beni dan Raden bersamaan membuat Alana menatap tajam keduanya.
"Jangan asal nuduh dulu deh. Kan kita belum tau tuh cewek siapa." Alana mendengus pelan.
"Ya siapa tau kan.." gumam Beni pelan.
"Bukannya Resha pengen ambil Raska dari lo ya, Al?" sambung Fiko menyambar seraya berjalan kearah mereka berempat.
KAMU SEDANG MEMBACA
MOM ALANA
JugendliteraturHidup Alana berubah ketika ia harus menjadi seorang ibu di usianya yang masih terbilang cukup muda. 17 tahun. Bayangkan saja, di usianya yang masih belasan harus menjadi seorang ibu dan mengurus seorang anak. Bukan, dia bukan hamil di luar nikah. Na...