GENTALA menelusuk masuk ke dalam lift rumah sakit dengan langkah tergesa-gesa—mendahului beberapa orang yang juga sedang menunggu kedatangan lift. Kabar bahwa bundanya dilarikan ke dalam rumah sakit, membuatnya dilanda panik.
Langkah besarnya sampai di koridor lantai rawat inap bundanya. Melangkah cepat menuju ruang rawat inap sesuai instruksi dari kakak perempuannya—Gita.
Masih menggunakan seragam putih abu-abu dilindungi hoodie berwarna hitam, dia sampai di depan ruangan rawat inap bunda. Menetralkan napasnya lalu mendorong gagang pintu dengan pelan—takut mengganggu bundanya yang sedang sakit.
Terlihat wajah pucat bundanya sedang terlelap dengan selang infus yang tertancap di salah satu tangannya.
Genta bernapas lega melihat keadaan bundanya—setidaknya tidak seburuk bayangannya—berjalan lebih tenang menuju ranjang dengan napas yang teratur.
Gita yang sedang duduk di salah satu sofa yang tersedia dengan laptop yang berada di pangkuannya, menoleh ketika mendengar suara gagang pintu yang terbuka.
"Bunda kenapa?" tanya Genta menduduki kursi yang berada di sisi kanan ranjang.
"Maag Bunda kambuh. Kata dokter karena kecapean terus banyak pikiran juga, ditambah telat makan, dan makanannya gak dijaga." papar Gita menatap punggung Genta yang sedang duduk membelakanginya.
Genta mengerjap dan menoleh ke belakang, "Makanannya gak dijaga?!" tanya Genta heran. "Gimana caranya, orang yang selalu memastikan kebutuhan pangan keluarganya terpenuhi, bisa gak memenuhi kebutuhannya sendiri?!" lanjutnya.
"Kebiasaan buruk Bunda. Kalau udah banyak pikiran pasti lupa sama yang namanya makan." ungkap Gita.
Genta memejamkan matanya sejenak, menatap bundanya yang sedang terlelap saat ini sembari mengusap lembut puncak kepala bundanya dan mengecup keningnya pelan. "Semoga cepet sembuh, Bunda."
Genta mengambil air mineral dan menegaknya, berjalan mendekati kakaknya yang sedang terduduk di sofa.
"Lo udah selesai ngampus?" tanya Genta duduk di sebelah kakaknya, menyenderkan punggungnya, melepas penat.
"Belum sebenarnya, tadi skip kelas pas tau bunda masuk rumah sakit." jawab Gita mengalihkan pandangannya pada laptop—karena ada beberapa tugas yang sudah di kejar deadline.
Perbedaan umur yang hanya 2 tahun, membuat kakak beradik ini akrab layaknya sahabat. Hampir semua keluh kesah masing-masing, pasti diceritakan satu sama lain.
Genta menghela napas, "Ayah belum dateng, Kak?"
"Ayah dateng malem katanya. Lagi ada meeting penting, jadi dia selesain pekerjaannya dulu setelah itu baru ke sini."
"Meeting penting?!" Garis muncul diantara alisnya. "Di saat Bunda kayak gini dia masih kerja?" Suaranya sedikit meninggi, mendengar pernyataan itu.
"Lo tau sesibuk apa Ayah sekarang."
Genta mengatupkan rahangnya, memijit keningnya yang terasa berdenyut. Memikirkan kegiatan ayahnya yang sudah satu bulan ini sangat tidak ada waktu untuk keluarganya membuat Genta tidak habis pikir.
Awalnya Genta memahami kesibukan ayahnya namun, apa tidak bisa menunda kesibukannya sebentar untuk sekadar menengok bunda yang sedang terkapar lemah di rumah sakit?
"Jangan berprasangka buruk sama Ayah, Dek. Dia kerja juga buat kita." Gita mengingatkan.
•••
Pintu kamar Elina tiba-tiba terbuka dengan suara yang cukup keras. Mereka yang saat ini sedang berkumpul di kamar Elina, menoleh dan memusatkan pandangan kepada Kyra yang berada di bingkai pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
GENTALA (WHEN WE WERE YOUNG)
Teen Fiction𝘿𝙖𝙧𝙞 𝙨𝙚𝙠𝙞𝙖𝙣 𝙗𝙖𝙣𝙮𝙖𝙠 𝙘𝙚𝙬𝙚𝙠 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙖𝙙𝙖 𝙙𝙞 𝙙𝙪𝙣𝙞𝙖 𝙞𝙣𝙞. 𝙆𝙚𝙣𝙖𝙥𝙖 𝙝𝙖𝙧𝙪𝙨 𝙨𝙖𝙝𝙖𝙗𝙖𝙩 𝙜𝙪𝙚 𝙨𝙚𝙣𝙙𝙞𝙧𝙞 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙡𝙤 𝙨𝙪𝙠𝙖? [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Jangankan sekelas, bisa bertemu dengan laki-laki meny...