hai semua. Selamat membaca. Semoga menikmati cerita ini. Bacanya pelan-pelan aja ya. Satu per satu kata-katanya dibaca. Terima kasih.
****
GITA duduk di pinggir ranjang menepuk punggung bundanya pelan. Lagi dan lagi, entah sudah yang keberapa kalinya. Gantari kembali menangis. Menangisi laki-laki brengsek yang keberadaannya entah di mana. Isakan tangis itu memenuhi ruang kamar Gita. Gita tidak dapat berbuat apa-apa, dia membiarkan bundanya meluapkan seluruh sakit yang dia tahan lama. Dia buat ruang sehangat mungkin untuk bundanya melepas gundah berkepanjangan.
Untungnya rumah ini hanya diisi mereka berdua. Jadi Gantari tidak perlu lagi menahan tangis sebab takut ketahuan Genta.
"Bunda harus gimana, Kak?" lirih Gantari duduk di samping Gita seraya menundukkan kepalanya dalam. Rasa sakit dikhianati ternyata tidak main-main.
"Lepasin Ayah, Bun. Ceraikan dia," kata Gita lugas.
Berkali-kali dia harus kembali dihadapi oleh permasalah keluarganya. Berperan menjadi anak pertama yang mau tidak mau harus menjadi pelindung supaya keluarga ini tidak terlalu hancur lebur.
Gantari menggeleng, dia benar-benar putus asa.
"Kalau Ayah sama Bunda bercerai. Kalian gimana? Keluarga kita gimana? Hancur, Kak?" Kedua mata Gantari yang merah menatap sayu anak sulungnya.
Gita memejamkan matanya seraya mengambil oksigen untuk mencukupi rongga dadanya yang terasa semakin sempit, "Hancur itu kalau kita menyerah, Bun. Hancur itu saat kita tau sakit, tetapi kita gak mencoba untuk melepaskannya. Kita gak akan hancur. Bunda pun begitu. Tanpa ada sosok dia dalam hidup kita, kita masih bisa hidup Bun. Sosok itu udah gak lagi dibutuhkan. Dia udah ngebuang kita, Bun," ungkap Gita.
Gita meraih kedua tangan Bundanya, memegang erat mencoba meyakini, "Apa lagi yang mau Bunda pertahankan? Bunda masih mengharapkan apa sama laki-laki itu? Bunda gak capek? Bunda gak sakit diinjek-injek harga dirinya? Apa untungnya Bunda mempertahankan pernikahan itu? Udah ya Bun? Gita aja capek, apalagi Bunda. Lepasin dia ya Bun? Jangan ditahan lagi. Semakin sakit Bun. Kita akan hancur kalau tetap membiarkan laki-laki itu ada disekeliling kita," kata Gita menatap dalam Gantari.
"Berpuluh-puluh tahun Bunda sama dia, Kak. Berpuluh-puluh tahun Bunda kenal semua kebiasaan dan sifat dia. Enggak mudah untuk Bunda ngelepasin Ayahmu. Kalau kamu tanya Bunda capek? Iya, Bunda capek. Capek bangat. Tapi ambil keputusan itu enggak mudah buat Bunda. Setelah semua yang udah Bunda laluin sama dia, ini akhirnya? Perpisahan ujungnya? Ada banyak aspek yang harus Bunda pertimbangkan. Bunda juga maunya selesai, Kak. Bunda mau melepas semua sakit yang ada di hati Bunda. Tapi Bunda masih butuh Ayahmu, Kak. Begitupun kalian. Kamu dan Genta masih butuh Ayah," tutur Gantari lirih. Dia berada di persimpangan dua arah. Dan jalan apapun yang dia pilih, tidak ada yang lebih baik.
"Aku akuin kalau kita masih butuh Ayah. Tapi gimana caranya kalau deket sama Ayah aja kita udah sehancur ini Bun? Kalau liat kehadiran dia aja, bukan bahagia yang kita rasa, tapi sakit yang gak ada obatnya." Gita menunjuk dadanya yang nyeri. Air matanya mengalir tanpa aba-aba.
Gantari menangkup pipi anaknya. Menghapus air mata itu dengan pelan, "Bertahan sebentar lagi ya, Kak? Tunggu Bunda ambil keputusan yang paling baik untuk kita semua. Iya?" tanya Gantari dengan sangat memohon.
Gita mengalihkan tatapannya.
"Iya Kak?"
Mau tidak mau Gita mengangguk.
Gita rasanya ingin memberikan selamat pada ayahnya sendiri. Selamat karena sudah menghancurkan rumah ini dengan begitu mudah. Selamat sebab telah mengubah keharmonisan keluarga ini menjadi cerai-berai tidak berbentuk. Selamat sebab sudah merobohkan rumah yang telah dibangun oleh setetes demi setetes keringat.
KAMU SEDANG MEMBACA
GENTALA (WHEN WE WERE YOUNG)
Roman pour Adolescents𝘿𝙖𝙧𝙞 𝙨𝙚𝙠𝙞𝙖𝙣 𝙗𝙖𝙣𝙮𝙖𝙠 𝙘𝙚𝙬𝙚𝙠 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙖𝙙𝙖 𝙙𝙞 𝙙𝙪𝙣𝙞𝙖 𝙞𝙣𝙞. 𝙆𝙚𝙣𝙖𝙥𝙖 𝙝𝙖𝙧𝙪𝙨 𝙨𝙖𝙝𝙖𝙗𝙖𝙩 𝙜𝙪𝙚 𝙨𝙚𝙣𝙙𝙞𝙧𝙞 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙡𝙤 𝙨𝙪𝙠𝙖? [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Jangankan sekelas, bisa bertemu dengan laki-laki meny...