73. DIKEBUMIKAN

522 84 28
                                    


selamat membaca semuanya. semoga feelnya dapetttt.

****

KEMATIAN. Rahasia paling besar yang tersimpan di muka bumi ini. Tidak ada yang mengetahui pasti kapan datangnya kematian. Waktunya, tempatnya, situasinya, tidak ada satu orang pun yang tau waktu kematiannya. Sayangnya, mau kematian itu diketahui atau tidak, tetap saja rasanya menyakitkan. Jauh lebih menyakitkan dari pada cerita-cerita orang selama ini. Jauh lebih tragis dari apa yang dikira. Dari banyaknya macam perpisahan, kenapa harus ada kematian di dalamnya?

Mereka berlari memasuki rumah sakit sesuai yang dikabarkan, dengan Genta yang memimpin di depan. Dia mengayunkan tangan dan kakinya secara cepat. Secepat apapun yang dia bisa. Setelah memasuki rumah sakit, matanya menangkap keberadaan Elina, Greesa, Kyra, dan Praya yang berada di depan meja resepsionis dengan raut wajah yang tidak kalah paniknya.

"Kala di mana?" tanya Genta dengan napas yang tersengal-sengal.

Praya menoleh, "Di depan kamar mayat. Ayo cepet!" ajaknya berlari menuju ruangan kamar mayat yang posisinya telah dia tanyakan kepada resepsionis barusan.

Mereka mengikuti Praya tanpa pikir panjang. Rumah sakit ini begitu besar dan kamar mayat berada terpencil di ujung rumah sakit, membuat mereka harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menyusuri setiap jengkal kawasan tempat ini.

Kala. Itu Kala yang duduk di lantai dengan lutut tertekuk persis di sebelah pintu kamar jenazah. Dia bersandar ke dinding rumah sakit yang lebih banyak mendengar ketakutannya sejak tadi. Dinding paling ironis yang lebih banyak mendengar jeritan pilu dari tempat duka manapun.

"KALAAA!" teriak Kyra dengan suara yang hampir menangis. Tadi pagi setelah baru saja sampai ke sekolah, dia mendapatkan telepon dari salah satu tetangga Kala yang merupakan temannya. Mengatakan jika dia melihat tubuh Ayah Kala yang digotong ramai-ramai menuju ambulan yang sirinenya mampu membuat tetangga-tetangga yang lain keluar karena penasaran. Ayah Kala meninggal dalam tidurnya. Itu yang temannya katakan dalam telepon.

Genta memelankan larinya ketika melihat teman-teman perempuannya itu menghampiri Kala yang sedang duduk dengan kepala yang bersembunyi dalam tumpuan tangan. Dia masih memakai seragam sama sepertinya—putih abu-abu. Dari sini Genta dapat melihat keputusasaan itu.

Kala bergeming. Suara yang ada di sekitar tidak ada yang berhasil masuk ke dalam pendengarannya. Dia mematung dalam posisinya. Ayahnya meninggal. Kenyataan itu menampar kesadarannya. Dia sampai lupa bagaimana caranya bernapas ketika melihat tubuh ayahnya yang sudah terbujur kaku.

Ayah pergi tanpa pamit terlebih dahulu.

Pelukan yang menubruk tubuhnya membuat Kala bergenjit. Ini bukan pelukan satu orang saja.

"Kal, kita di sini." Suara Praya memasuki gendang telinganya. Ketika dia tahu sahabatnya berada di sini bersamanya. Memeluknya seakan melindungi dirinya dari serangan luka yang datang terlalu mendadak ini. Bibir Kala bergetar. Masih dalam wajah yang menelungkup di atas tangan.

"Praya...," lirih Kala seraya mengangkat wajahnya perlahan. Bibir pucat membiru. Mata sayu yang memerah. Dan tubuh yang terasa dingin. Kala menggigil ketakutan sejak tadi. Tangis yang dia tahan langsung pecah begitu saja, bersamaan dengan tubuhnya yang dipeluk erat oleh Praya. Disusul oleh yang lain, yang juga memeluk dirinya.

Mereka semua mendengar tangisan yang terasa memilukan.

"Kita di sini Kal. Kita di sini," kata Elina terisak sembari memejamkan mata.

Kala tidak mampu mengeluarkan satu kata pun. Bibirnya kelu bersamaan dengan dadanya yang menyempit. Menghimpit semakin rapat seakan sengaja tidak memberi Kala pasokan oksigen supaya rasanya semakin sakit.

GENTALA (WHEN WE WERE YOUNG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang