29. RED DAYS

419 53 17
                                    

Hai semua. Selamat membaca part 29. Enjoy it. Buat yang udah selalu vote dan comment setiap part cerita ini. Terima kasih banyak.

***

JAM PELAJARAN sudah dimulai sejak tadi, namun belum ada tanda-tanda guru akan masuk. Semua anak murid juga berada di tempat duduknya masing-masing. Jejak air hujan yang turun semalaman nyatanya masih bersisa sampai pagi ini. Awan kelabu memenuhi seisi langit. Mendung sangat terlihat menjadikan kelas ini tidak seramai biasanya. Mereka lebih memilih untuk tidur atau berbicara normal dengan yang lain. Cuaca selalu menjadi poin penting dalam menentukan kondisi hati hari itu.

Kala menumpukan kepalanya di atas ransel. Dia memiringkan kepalanya menghadap dinding dengan mata terpejam. Kala tidak bisa tidur, karena merasakan nyeri di bagian perut bawahnya. Sedari tadi, ia mencoba untuk memejamkan mata, berharap untuk terlelap dan melupakan rasa sakit di perutnya ini.

Pintu kelas terbuka memunculkan Genta, Ibam, Ariel, dan Sagi yang memindik-mindik dengan kepala yang mengawasi sekitar, memohon dalam hati supaya mereka tidak ketahuan sebab baru datang jam segini.

Terlalu nyaman di Wargel membuat mereka lupa waktu dan baru sadar bahwa mereka melupakan lonceng sekolah yang telah berdering. Dengan kemampuan memanjat, mereka menaiki dinding dan berjalan mengendap-endap dengan ransel yang tersampir di pundak masing-masing.

"Huh! Tadi hampir aja ketahuan sama Bu Sri. Bisa abis kita kalau ketahuan ke dia." kata Ibam mengelap buliran keringat yang mengumpul di dahinya.

Ariel duduk di kursinya sambil menghela napas lega, "Bukan main kalau sampai ketangkep dia. Pilihannya cuma dua, ke bk atau ke lapangan." Ariel menangkap kaleng soda yang dilempar oleh Sagi.

"Bagi dong Riel. Gue haus bangat." pinta Ibam kepada Ariel.

Genta duduk di sebelah Kala yang masih terpejam dengan kepala tidak mengarah kepadanya, "Masih pagi, lo pada udah minum soda aja. Asam lambung yang ada." caci Genta heran ada manusia yang meminum soda sepagi ini.

"Urusan belakangan kalau itu, Ta. Yang penting haus gue ilang dulu." balas Ibam tidak peduli.

Genta mendelik dan melepas jaket abu-abu muda miliknya dan dia letakan di atas meja. "Dibilanginnya." ucap Genta menempati kursinya.

Jaket abu-abu yang jarang Genta pakai itu dia lipat secara asal. Terlalu banyak membeli dan mengkoleksi hoodie atau jaket berwarna hitam membuat jaket yang berwarna lain tersingkirkan. Sembari melipat jaketnya sembarangan Genta menolehkan kepalanya ketika mendengar ringisan pelan bersumber dari perempuan di sampingnya ini. Alisnya mengernyit saat melirik perempuan dengan rambut hitam lekat terurai ini mengusap perutnya.

"Kal." ucapnya lembut mendorong tubuhnya mendekati Kala dengan tangan yang tergerak menuju kepala Kala.

Kala hanya bergumam, "Hm."

Dengan hati-hati wajah Genta maju perlahan menuju Kala yang membelakanginya. Wangi harum menguak saat jarak penciuman Genta mendekekat ke helaian rambut panjang Kala, "Lo sakit?" tanya Genta tepat di telinga Kala.

Melihat pemandangan itu, ketiga teman Genta saling bersisi tatap saat mengamati Genta yang seketika menghaluskan cara bicaranya. Mereka saling melempar senyum tak tebaca dan kembali ke kegiatan masing-masing.

Pertanyaan itu hanya dijawab gelengan oleh Kala. Rasa nyeri di perut lebih menguasainya saat ini. Genta mengusap kepala Kala lembut, dia tidak percaya akan apa yang Kala lontarkan melalui gerakannya. Ringisan dari mulut Kala cukup untuk menjabarkan keadaan Kala saat ini.

"Lagi tanggal merah?"

Kala menggeleng pelan. Masih tidak bersuara.

"Sakit di bagian mana?" Telapak tangan Genta terus dia gerakan pelan. Berharap Kala mendapat kenyamanan dari elusannya.

GENTALA (WHEN WE WERE YOUNG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang