vīgintī quīnque

4K 451 1.1K
                                    



Dua minggu kemudian.

Perempuan itu menatap samping dengan wajah cemas dan tatapan yang penuh kesedihan. Tapi dari semua itu, perasaan bersalah dan perasaan tidak ingin ditinggalkan sendirian yang lebih mendominasi.

"Takut..."

Ruangan itu terasa dingin, remang dan hampa. Membuat perempuan itu mengusap kedua sisi lengan tubuhnya dengan usapan pelan, berharap ada rasa hangat dan nyaman yang ditimbulkan tapi yang ia dapat justru perasaan gusar dan takut.

Ada banyak semua pertanyaan yang muncul, ada banyak perasaan bingung apakah ini langkah benar dengan mendatangi dan terjebak lagi dengan semua ini...

Bahkan, di saat ia masih bingung dengan perasaannya sendiri.

"Permisi?"

Sampai lamunanya buyar saat pintu kamar itu diketuk dan dibuka. Ada seorang wanita yang berdiri di sana dengan senyum hangatnya.

"Bu Sabine?"

Perempuan yang dipanggil dan daritadi terlihat bingung dan tidak tenang itu menjawab, "Ya, Sus?"

"Permisi ya. Saya mau mau cek kondisi pasien dulu."

"Oh, iya, Sus. Silahkan." Perempuan dengan sweater itu memaksakan sebuah senyum. Senyum yang hanya sebagai formalitas. Tapi ia bersyukur suster itu muncul di waktu yang tepat karena secara tidak langsung telah menolongnya di saat pikirannya jatuh pada angan dan bayangan yang membuatnya takut.

Perempuan bernama Sabine itu kembali menatap segala arah kecuali depan. Ia tidak mau. Ia tidak berani.

Sampai langkah sepatu suster itu terdengar makin jauh darinya yang artinya semakin mendekati... ranjang pasien.

Alih-alih mendekat menemani suster itu ke pasien, perempuan itu justru berdiri mau pergi dari ruangan. Ia mendadak takut. Mendadak awas.

Baru tiga langkah dan mendorong pintu itu, suara sang suster kembali terdengar membuat langkah Sabine Alin Talar tehenti total.

"Selamat sore Bu."

Sabine menyipitkan kedua matanya. Menahan perasaan aneh di dadanya. Akhirnya perempuan itu memberanikan diri membalik badan dan menatap pada seorang yang berada di atas ranjang rumah sakit itu.

Aileen.

Wanita itu masih tertidur. Terlihat tenang.

Sabine merasakan dirinya kedinginan lagi. Ia takut. Nanti dirinya gimana? Haruskah ia sendirian lagi?

Sabine merasakan dadanya sesak. Ia tidak mau ditinggalkan di saat semua belum selesai... di saat—bahkan semua itu belum dimulai.

Setelah Marshall pergi, haruskah Mama juga ikut pergi dari hidupnya?


Setelah Marshall pergi, haruskah Mama juga ikut pergi dari hidupnya?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




"Sori telat."

Erlang meletakkan bungkus rokok di atas meja bar yang udah buka pukul tujuh malam. Tempat yang santai untuk hanya mengobrol ringan. Cowok itu menoleh untuk mendapati Kafka sedang memutar gelas minumannya.

Changed 2 | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang