trīginta tres

4.9K 461 1.4K
                                    


⚠️⚠️

Piring itu jatuh ke lantai dapur.

Piring itu pecah.

Disusul piring satunya.

Lalu piring berikutnya.

Pecahan itu tersebar ke mana-mana, tapi Adara tidak peduli.

Tangannya mengambil piring selanjutnya, menjatuhkan lagi di atas lantai.

Adara tau sikapnya kekanak-kanakan, tapi Adara nggak tau kemana lagi harus meluapkan emosinya.

Kafka yang baru muncul di dapur langsung terdiam, cowok yang pagi ini dibalut kaus hitam dan celana abu-abu gelapnya itu menatap semua dengan salah satu alis naik sebelah tanda heran. "Kenapa?"

Adara jatuhin piring itu lagi.

"Ra?"

Nggak ada sahutan, Kafka menatap pekerja di sana meminta jawaban: ada kekacauan apa, tapi mereka cuman menggeleng tanda takut.

Saat Adara mengambil piring berikutnya untuk dijatuhkan, Kafka langsung mendekat dan menahan lengan cewek itu. "Nggak usah kayak anak kecil. Kamu kenapa?" tegas Kafka.

Beberapa pekerja yang memang dibiarkan Kafka berada di sana—alih-alih mereka cuman berdua karena Kafka sengaja agar tempat ini tidak sepi yang akan micu Adara merasa sendirian—awalnya cuman bisa melihat tingkah Adara, tapi kini mereka langsung pergi saat Kafka mulai ambil alih pada perempuan itu.

"Nggak tau ya kamu nanya aja sama ponsel kamu," dingin Adara.

"Apaan si Ra?"

"Tanya aja sama ponsel kamu."

"Ponselku kenapa?" Sabar Kafka.

"YA GAK TAU KAMU TANYA AJA SAMA PONSEL KAMU."

Kafka terlihat masih tidak mengerti. Tapi cowok itu tetap mengambil ponselnya. Nggak ada apa-apa.

"Kamu masalahin layar ponsel yang mati?"

Adara melihat Kafka kesal. "Idih, jayus amat."

"Ra? Kenapa si?" Pusing Kafka. "Kita beberapa jam yang lalu masih baik-baik aja. Ada apa?"

Napas Adara udah berat, dadanya berdegup kencang, kepalanya juga pusing. Kafka harusnya marah tapi cowok itu mengambil tangan Adara untuk memeriksa apakah kena pecahan piring atau enggak. Dan saat menyadari tangan itu baik-baik saja Kafka lega bukan main.

"Coba kamu bilang marahnya tu karena apa?" sabar Kafka seolah dihadapkan sama anak kecil.

Adara ragu, haruskah ia bertanya dia itu siapa? Kenapa tadi kirim pesan lagi? Katanya udah nggak mau hubungin Kafka lagi?

Tapi karena enggan, Adara akhirnya menatap arah lain. Bertepatan dengan seorang pria datang mengintrupsi mereka. "Hi."

Raut khawatir Kafka yang tadi cuman ditunjukkan pada Adara kini berubah jadi datar. "Hai, Massimo," sapa Kalingga.

"Hi." Massimo tersenyum.

Kafka mengenalkan. "Ra ini Massimo. Massimo, ini Adara."

Adara yang masih kesal dipaksa untuk senyum. "Hi, Adara."

Kafka mau mengajak Adara pergi dan membicarakan hal tadi, tapi Adara tidak mau. Bertepatan adanya panggilan dari Marshall.  "Aku pergi bentar."

"Hm," sahut Adara sekenanya.

Kafka bicara pada Massimo sesekali melirik Adara. "Det vil jeg gjerne," ujar Massimo yang bisa didengar oleh Adara yang kini penasaran. Ngomong apaan?

Changed 2 | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang