quadrāgintā sex

4.1K 441 581
                                    


"Shall, udah, Shall."

Marshall nggak mendengarkan. Cowok itu justru makin mengisap tembakau kuat-kuat dan membuang perlahan. Pikirannya kacau, dan rokok adalah tempat terbaik untuk meluapkan semuanya sekarang.

"Lo kenapa dah?" Cowok di samping Marshall mulai bertanya kembali. Tapi Marshall cuman senyum miring dan mendekatkan tembakau itu ke bibirnya lagi.

"Lo tunggu di sini bentar." Kemudian cowok itu menghubungi seseorang yang bisa diandalkan sekarang. "Tania," ucapnya saat panggilan diangkat.

"Eh, iya. Kenapa?"

"Lo lagi sibuk gak?"

"Lagi ngedrakor gue nggak bisa diganggu gugat."

Cowok itu senyum. "Bisa lo susulin ke sini gak? Gue mau cabut, nyokap gue minta anterin karena ada urusan. Tenang aja, bukan gue kok yang mau repotin elo. Ini si Marshall, gue gak bisa ninggalin dia sendirian."

Bisa ditebak gimana Tania sekarang; diem.

"Tan... dengerin nggak?"

"Lo di mana?" Suara Tania memelan. Nggak nyangka yang dibahas adalah Marshall.

"Bar biasanya."

"Lo titipin aja ke bartendernya."

Cowok yang nelfon itu jadi menggaruk rambutnya yang gak gatel. "Yang bener aja."

"Duh..." Tania jadi ngomel. "Mana siniin ponselnya kasiin Marshall— eh ga jadi. Gue susulin sekarang." Dan panggilan itu mati.

Temen Marshall itu kembali duduk di kursi bar. Menatap Marshall dengan pandangan heran. Sebelum menjawab pesan dan panggilan dari nyokapnya, memberi tau untuk nunggu sebentar.

Hingga dua puluh menit kemudian, bahu cowok itu ditepuk dari belakang. Tania udah hadir. Dengan kaus hitam dan celana jeans serta rambut diikat sebisanya. Terlihat terburu-buru.

Cowok itu: temennya Marshall jadi salah fokus. Tania ini cantik, cantik banget malah. Baik, seru juga. Dulu, ia ngira Marshall dan Tania ada apa-apa. Sampai semua itu dipatahin saat liat Tania masih sering keluar sama Salaga. Waktu ngeliat Tania nggak sama siapa-siapa, dan ia minta kenalin Tania dari Marshall tu cowok masang wajah masam. Nggak tau dah kenapa...

Ia sama Marshall juga bukan temen deket yang jadi tempat semua cerita Marshall keluar. Ini tadi ketemu di bar juga nggak sengaja. Waktu lihat Marshall, ia jadi nahan diri buat gabung sama temennya dan duduk di sebelah Marshall. Temen Marshall itu banyak, tapi yaudah cuman sekedar nongkrong. Yang bisa masuk dan jadi temen dekat yang ia tau ya cuman Tania.

Marshall bukan orang nyebelin yang dijauhin, tapi cowok itu yang selalu terlihat menahan diri.

"Thanks banget, ya." Tania senyum pada temennya Marshall.

"Iya, santai aja." Cowok yang juga menarik perhatian tersebut ikut senyum sambil turun dari kursi dan pamit pergi. "Kalo gitu gue cabut."

"Iya, ati-ati."

Sekarang cuman ada Marshall dan Tania.

Di luar dugaan, Tania cuman diem. Nggak bilang apa-apa. Perasaannya udah buruk sejak liat Marshall di toko bunga. Dan kini semua benar. Cowok itu lagi gak beres.

Tania mau nanya, kenapa? Ada apa? Tapi Tania sadar, emang ia ini siapa. Akhirnya Tania milih diem. Marshall juga diem.

Sampai sepuluh menit kemudian, Tania berujar karena nggak tahan ngeliatin Marshall ambil rokok entah keberapa. "Siksa badan lo sampe kapan?"

Cowok itu nggak menoleh, milih diem. Tania berdercak. "Kalo lo ada masalah itu diselesaiin, Shall. Bukannya kabur ke rokok. Masalah lo nggak kelar, paru-paru lo bermasalah yang ada."

Changed 2 | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang