EPILOG

9.5K 631 417
                                    


"Aku pulang."

"Hai. Gimana tadi penerbangannya?"

"Aman." Cowok itu senyum. "Sini aku bantu. Kamu udah siapin makanan dari tadi. Nggak capek?"

"Kamu udah bawain aku buah strawberry belum? Dapet?"

"Dapet, dong." Cowok itu tertawa seraya meletakkan paper bag di atas kitchen island. "Muter dua supermarket ini. Untung masih ada. Demi kamu."

Perempuan itu cuman senyum seraya menunduk lagi menatap perutnya, memberi usapan pelan lalu kembali pada kegiatannya: mencuci buah apel dan meletakkan di sebuah wadah khusus agar tetesan airnya hilang.

"Kamu duduk dulu, ya? Aku aja yang beresin."

"Kak Kafka."

"Apa?"

"Kak Kafka?"

"Kenapa Kaia Anhara?"

"Nggak papa, pengen panggil aja."

Kafka berdiri di balik punggung Adara, hingga baju mereka bersentuhan. Ia menunduk, meletakkan dagunya di bahu perempuannya itu. Wangi.

Tangan Kafka kini terjulur menyentuh perut Adara yang masuk usia tiga-delapan minggu. "Halo, anaknya Papa... hari ini rewel nggak nih?"

Adara cuman senyum-senyum mendengar Kafka bicara pada perutnya dan memberi usapan dengan posisi memeluk dari belakang.

"Mama kamu lagi pengen bikin strawberry sandwich. Udah pengen dari semalem. Papa sampe cari ke mana-mana tapi semua toko tutup. Tadi pagi mau Papa cariin katanya nggak usah. Udah nggak pengen. Waktu di kantor, minta tolong kalau udah pulang nitip beliin. Papa langsung cabut ini."

Adara tertawa. Awalnya ia kaget liat Kafka langsung bisa banyak bicara sama perutnya, tapi sekarang udah jadi keseharian cowok itu. "Jangan diceritain ih, malu."

Kafka tertawa lalu mencuri kecupan di pipi Adara dari belakang. "Sayang kamu banyak-banyak."

Adara senyum. "Bisa minta tolong cek hape aku? mau tau kabarnya Aned. Tangan aku basah."

Kafka menjauh dari tubuh Adara, mengambil ponsel yang layarnya langsung menyala. "Nggak ada—"

"Aku harap Aned baik-baik aja."

Kafka ingat apa yang harus ia ucapkan. Sampai Adara memotong. "Kak Kafka."

"Kenapa?"

"Kabar Mama sama Papa kamu gimana juga?"

Adara itu selalu perhatian terhadap kedua orangtuanya. Tapi ya gitu, selalu  menanyakan kabar melalui dirinya— soal Papa. "Papa ikut balik sama aku ini tadi. Mama baru sampai dari Rome pagi tadi. Mereka baik-baik aja."

"Syukurlah."

Adara mengeringkan kedua tangannya kemudian berbalik badan menatap suaminya. Kafka masih menarik dengan kemeja kerja yang lengannya digulung sampai siku, kali ini rambutnya juga dibiarkan berantakan seperti biasanya dan wajah tengilnya yang sedikit memudar nggak seperti beberapa menit yang lalu. Tapi Adara tau ada tatapan khawatir di netra itu.

"Kalau aku minta Nonna Angger ke sini sama Aned boleh nggak? Aku mintanya kebanyakan ya?"

Diamnya Kafka membuat Adara harap-harap cemas. Sampai Adara mau menangis saat nama-nama ini disebut sama Kafka. "Aku daritadi mau bilang, kalau Nonna, Aned, Tante Eve, Mama dan Papa mau ke sini. Malem ini. Mau ketemu kamu, kangen katanya."

...

...

Adara fokus akan bertemu mereka setelah berbulan-bulan...beberapa jam lagi... sampai nggak menyadari Kafka ke depan membuka pintu sampai suara ini terdengar.

Changed 2 | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang