quadrāgintā septem

4.1K 449 1K
                                    




"Di mana mereka semua?"

Sore hari menjelang malam, Sabine baru menemui orang-orang tidak berguna itu lagi setelah menyekap hampir seharian. Nggak ia kasih makan, nggak ia beri minum. Biar lemas, kalau mati kecepetan sebelum ia siksa, berarti bonus.

Setelah semalam ia membuat Anhara berpikir jelek, ia membiarkan cewek itu untuk memikirkan semuanya sendirian. Tentu aja menyekap Lara dan Salaga di tempat yang berbeda.

"Masih di tempat yang sama."

"Bawa Lara sama Salaga. Satuin sama Anhara. Biar cepet kelar."

Cowok itu mengangguk. "Baik."

Sabine menatap rumah Lara yang ia tempati dari semalam. Rumah itu rapi tapi banyak catatan yang berserakan tentang strategi mereka. Kalau bukan karena menunggu sesuatu yang paling penting, Sabine ingin menghabisi dari semalam.

Ya karena rencananya bukan sekarang, dasarnya Lara aja pengen ketemu dirinya secepet mungkin. Tapi ia nggak bodoh. Ia bawa Anhara hari itu juga.

"Sudah." Cowok itu memberitahu.

Sabine senyum lalu berjalan ke tempat semalam. Pemandangan yang ia lihat membuatnya senyum; Anhara lemas, dengan jiwa cewek itu yang seolah mati. Sedangkan Lara, cewek itu masih tampak emosi, beda dengan Salaga yang tenang.

"Hai."

"Mau lo apa!" Lara langsung emosi. "Lepasin, njing!"

Sabine justru lihat Anhara. "Hi, Anhara... Nyesel? Percuma lo nangis juga nggak balikin Mama," ejek Sabine.

"Anhara... jangan dengerin omongan Sabine... Jangan dengerin omongan dia," ujar Lara.

"Kasihan." Sabine senyum menatap Anhara yang duduk bersimpuh dengan gaun yang sudah kotor kena debu. "Tapi lo emang pantes begitu."

Kondisi di tempat itu menjadi kacau semalam. Tiba-tiba pria yang menjemput Adara masuk dengan dua pria lainnya. Membuat kondisi Lara dan Salaga diputar balik menjadi dua manusia lemah.

Harusnya yang datang cuman Sabine, dengan bantuan Logan yang membawa Sabine ke sini. Tapi sialnya Anhara nyusul juga. Dan entah di mana Logan sekarang...

"Kalian semua pinter mainnya, tapi lebih pinter gue." Sabine senyum.

"Bacot," sentak Lara.

Sabine tertawa, memutar pistol seolah mainan. "Gimana dong? Gue kan emang pengen ngebacot."

"Iya tapi lo nyebelin, jangan aneh-aneh ke Adara!"

"Apaan si looo?" Sabine tertawa. "Gak usah sok suci deh lo sama Adara, lo lupa udah buat dia kesiksa selama ini?"

"Seenggaknya ini cara gue ngampunin diri gue, gue buat lo aja yang mati!"

Sabine sok ketakutan. "Oh, lo mau gue aja yang mati? Adara enggak? Waah, mimpi dong."

Lara bergerak melepaskan tali di belakang punggung yang justru menggesek kulit tipisnya yang kini jadi merah dan sedikit terkelupas. Perih, tapi lebih perih liat Adara di posisi harus dipaksa mengingat kejadian buruk di ruang balet itu.

"Anhara, liat Kakak," teriak Lara. "Jangan dengerin setan di depan kamu yang namanya Sabine. Kamu bukan anak jahat yang bunuh Mama, itu ulah dia yang buat kamu merasa berdosa. Anhara cepet liat Kakak!"

Anhara nggak bisa diharapkan, anak itu masih terdiam, menatap nanar dan kosong pada satu titik. Jantungnya berdegup tidak terkendali. Sambil bibirnya bergerak lirih memanggil-manggil mamanya berharap berada di sini.

"Anhara bangun! Liat mata Kakak! Raa! Kamu harus berjuang."

Lara benar-benar panik, perempuan dingin dan katanya hilang akal itu nyatanya benar-benar menyayangi Adara dengan cara tidak masuk akalnya yang jahat tapi semua untuk kebaikan adiknya sendiri. Adik kandungnya.

Changed 2 | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang