trīgintā septem

4.1K 406 1.1K
                                    



Beberapa jam sebelum semuanya pergi...

"Kamu harus banget pergi hari ini?"

"Iya, ada Papa. Harus ketemu. Paling cepet sore udah balik. Nanti aku susulin kamu lagi ke sini."

"Sore?"

"Iya, ada meeting di Singapore."

Adara menatap Kafka yang kini menggunakan kausnya. Cowok itu pasti akan ke apart untuk berganti dengan kemeja.

"Lama dong ya?"

"Sore udah balik." Kafka senyum.

"Lama si itu."

"Aku bisa tunda kalau kamu mau aku di sini."

"Jangan." Adara menggeleng. "Udah banyak ngerepotin banget. Lagian itu tanggung jawab kamu."

Kafka senyum karena Adara ngerti, lagian Kafka bakal mikir ratusan kali buat batalin meeting yang udah jadi tanggung jawabnya. Ninggal Adara di sini sendirian juga di luar prediksi Kafka. "Aku langsung cabut habis kelar semuanya."

Adara membawa tangan Kafka dan ia mainkan. Ingat semalam menyuruh Kafka menginap untuk menemaninya, dan Mama setuju hal itu. Meskipun Adara sama Kafka nggak satu kamar. Ya lagian mereka nggak mau bikin Aileen jantungan.

"Ada Nijat yang jaga kamu di depan. Buat jaga-jaga selagi aku nggak ada."

"Kalo Mama nggak mau aku pergi dari rumah ini gimana?"

Kafka senyum. "Nanti kalau aku udah pulang, aku coba bicara lagi sama Mama kamu. Jadi liat aja nanti hasilnya gimana."

Adara ngga marah saat Kafka mau jujur tapi kepotong ucapan kakaknya: Sabine. Adara tau semua butuh proses dan semua pasti ada manfaat dari munculnya saudaranya itu secara tiba-tiba. Mungkin semalam belum waktu yang tepat untuk menjelaskan pada Mama, makanya Tuhan kasih jalan lain dengan memunculkan Sabine untuk menyelamatkan mereka. Pikir Adara positif.

"Yaudah." Adara mencoba senyum. "Oke."

Kafka menarik Adara dan memeluk cewek itu. "Udah enakan belom?"

"Udah, kok," jawab Adara yang kini merasakan Kafka memberi kecupan di puncak kepalanya.

"Kamu udah nggak ngerokok lagi kan?" tanya Kafka tiba-tiba.

"Enggak..."

Kafka senyum dan mencium lagi puncak kepala Adara berkali-kali.

"Kaf, mau nanya, kamu bener ngga suka teh manis ya?" Adara mendongak dan Kafka menunduk menatapnya.

"Kenapa?"

"Kata Kak Sabine," Adara susah bilang pakai Kak. "Kamu nggak suka yang manis banget? Seinget aku dulu, aku pernah buatin kamu dan gulanya banyak..."

"Selagi kamu yang buat aku minum."

"Masa gitu?" Adara merasa payah.

"Terlepas dari buatan kamu, kalau emang bisa aku tolerin gulanya ya nggak papa."

Adara senyum. "Makasih ya."

Kafka ketawa. "Udah si jangan kamu pikirin banget?"

"Iyaa..."

"Senyum dulu dong buat terakhir sebelum aku berangkat?"

"Ish! kayak aku mau ke mana aja."

"Listen, Ra," Kafka tiba-tiba menunduk, mensejajarkan wajahnya dengan Adara, dan berkata serius. "Jangan dengerin omongan buruk mereka. Kamu gimanapun juga aku tetep suka. Jadi diri kamu sendiri."

Changed 2 | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang