quadrāgintā novem

4.2K 450 626
                                    



"KAFKAAA!"

Teriakan dari Marshall nggak buat Kafka menoleh sedikit pun. Cowok menyebalkan dan keras kepala itu justru melangkah keluar dari kamarnya.

"BANGSAT! GUE BILANG SINI, ANJING! JANGAN ANEH-ANEH LO!"

Mengabaikan perintah dari dokter untuk tidak banyak gerak, Marshall justru turun dari ranjang, mengambil cairan infusnya untuk ia bawa dan segara menyusul Kafka.

"KAAAF!"

Marshall terdiam sebentar di pinggir ranjang, menahan rasa nyeri yang menusuk-nusuk kakinya. Sakit banget sampe air matanya keluar.

Asu, sakit banget.

Marshall langsung berjalan sebisanya, menyeret-nyeret salah satu kakinya lalu berhenti di pinggir dinding mengatur posisi agar tidak jatuh.

Sialan Kafka awas aja lo sampe mati! Gue gebukin lo!

Marshall berjalan lagi, menggeret kakinya menahan umpatan dan semua jenis binatang yang bisa ia sebut sekarang. Sampai di depan pintu tidak ada apa-apa. Lorong juga sepi.

Brengsek!

"Hape gue juga mana, anjing!"

Marshall kembali ke dalam kamar, menggeret lagi kakinya, mengumpat kenapa jarak pintu ke ranjang itu jadi jauh banget. Ia juga meringis sambil mengumpat lagi, menyalahkan kenapa sangat lemah dirinya sekarang.

Meskipun Kafka ngeselin, ia nggak mau cowok itu meninggalkan dunia ini karena rasa bersalahnya terhadap Aileen.

Nggak, nggak boleh.

Marshall bersyukur saat ia sudah dekat dengan ranjang, cowok itu segera memencet bel nggak sabar. Jeda sebentar ia mencet lagi. Suster jaga pasti marah-marah sama dirinya. Anjrit, terkutuklah gue.

Nggak lama langkah kaki suster terdengar bersamaan pekikan. "Astaga, Pak Marshall?! Sini saya bantu."

Suster jaga malam dengan sigap membantu Marshall untuk bangkit dan duduk di ranjang. "Ada yang sakit?" tanyanya tenang tapi terlihat tegas dan khawatir. "Saya periksa sebentar—"

"Udah Sus, saya nggak papa. Saya mau minta tolong boleh?"

"Iya? bantu apa?"

"Bawa ponsel? Saya boleh pinjem buat telfon teman saya? Ponsel saya hilang."

Suster itu tau sedikit apa yang terjadi pada pasien bernama Marshall Munro dari bisik-bisik teman shifnya malam ini di ruang jaga. "Iya, saya bawa." Ia menyerahkan ponselnya dari saku.

Marshall menerima dengan cepat lalu memencet nomer Kafka. Iya, Marshall hapal. Nggak usah terharu gitu. Kemudian Marshall menempelkan ke telinga menunggu dengan tidak sabar. "Sialan, angkat telfon gue, anjing!" Marshall marah. Suster itu sampai kaget.

"Sus," Marshall menatap suster itu yang masih kaget. Dosa banget gue bikin orang kaget. "Saya telfon Mama saya boleh?"

"Boleh, pakai aja." Suster muda itu tanpa sadar ikut harap cemas.

"Sus, ponselnya saya bawa dulu gapapa?" Marshall sekalian ngelunjak. Udah mepet soalnya. "Sekalian saya minta tolong suster ke ruang operasi dan nemuin Bu Sera bisa? Penting banget, Sus. Nyawa orang taruhannya."

Suster itu mengangguk. "Iya, saya ke sana."

"Sampaiin, suruh cari Kafka. Bilang putranya lagi gawat."

"Iya." Suster itu cuman bisa jawab itu lalu berjalan keluar ruangan.

"Sus?" tahan Marshall.

Suster muda itu berbalik menatap Marshall. "Iya, Pak Marshall?"

Changed 2 | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang