duodēvīgintī

5.3K 583 1.8K
                                    


"Makan?"

Marshall meneliti diam-diam mendapati anak itu menggelengkan kepalanya sambil ia fokus ke ponsel untuk memesan makanan pagi ini. Semalam ia menginap di sini dengan baju cadangannya di lemari Anhara, Marshall rada meringis kalau Kafka tau pasti ia kena hajar.

Eh tapi kan udah putus, jadi aman yekan— Astaga Marshall nggak boleh gitu. Marshall memarai dirinya sendiri.

"Mau sarapan apa? Salmon mentai rice? Bakso Pak Mamat? Burger King?"

"Nggak Marshall..." Anhara mengusap lengannya yang langsung terasa tulang. "Makasih ya..."

"Makasih-makasih, belum juga dibeliin."

"Nggak mau makan..."

"Gue suapin, deh."

Anhara menyembunyikan wajahnya di bantal dengan badan tengkurap, Marshall sendiri ngerasa aman, semalam ia nginap dari pagi sampai ketemu pagi—luar biasa; keluarga Anhara tidak peduli pada perempuan itu.

Kalau kehidupan Lara; pasti udah diajakin bokapnya makan bersama secara tepat waktu dan bercanda sesama anak dan papa. Sedangkan Anhara—seharian Marshall di sini nggak ada yang peduli anak itu udah makan atau belum dari pagi ketemu pagi.

"Ra? Ayo makan dulu."

"Nggak mau, Shall..." lelah Anhara.

"Bakso Pak Mamat deh?" Marshall kini berdiri di samping tempat tidur itu. Tapi Marshall sedikit lega karena Anhara menyauti ucapannya seperti biasanya; bukan yang penuh kesedihan. Perempuan itu sedikit lebih hidup sekarang. "Ya? Makan, ya?"

"Nggak mau." Anhara memeluk sesuatu. Marshall mengintip, perempuan itu menggenakan kemeja yang terlihat sedikit kusut untuk ia peluk. Punya siapa?

"Dipelukin terus kemejanya dari semalem," komen Marshall. "Punya siapa? Kafka?"

Anhara juga heran kenapa memeluk kemeja Kafka yang ia bawa saat pulang malam setelah semua berakhir dan kini masih tercium aroma parfum Kafka di sana.

"Ra? Lo beneran cinta Kafka." Marshall berubah serius.

"Apaan, enggak. Udah biasa aja."

"Lo pembohong."

"Nggak."

"Lo cinta Kafka, Anhara," tekan Marshall. "Kalau gini, kenapa nggak lo perjuangin aja? Gue bantu bilang sama Tante Aileen."

"Jangan!" Anhara langsung menatap Marshall dan menyingkirkan kemeja Kafka dari tubuhnya. "Jangan bilang Mama!"

"Gue nggak paham kalian semua kenapa, tapi lo harus kejar kebahagian lo."

"Kafka bahagianya sama Kak Lara."

"Ya Tuhan!" Marshall mengusap wajahnya. "Lo berdua bener-bener ya. Nggak ngerti lagi gue."

"Gue nggak mau Mama sedih. Inget keluarga gue udah hancur—"

"Lo bilang gitu buat alasan aja 'kan? Kalo emang keluarga lo ancur apa bedanya sama Lara? Dia juga keluarga lo."

Changed 2 | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang