BAB 12 : LILIN

532 154 15
                                    

"Mau sampe kapan lo nggak sekolah?" tanya Via sambil menyantap bakmienya. Karena mereka berdua terlalu malas untuk masak, mereka pun memutuskan untuk memesan bakmie melalui go food.

"Sampe luka gue kering keknya," jawab Noah.

"Lo rajin kasih antiseptic kan?"

Noah terlihat mengalihkan matanya ke arah lain. Ternyata Noah adalah anak yang tidak terlalu pandai berbohong.

"Tadi, baru aja. Sebelum ngambil pesenan,"jawab Noah cepat.

"Mana coba liat," Via memajukan badannya untuk melihat ke arah muka Noah. Lukanya terlihat sudah mulai kering, tapi tidak ada bekas antiseptik. Dia bilang baru saja mengolesinya, seharusnya masih ada bekasnya.

Noah terlihat memundurkan kepalanya karena wajah Via yang tiba-tiba terlalu dekat dengan wajahnya. "Apa yang lo lakuin?"

"Sepertinya ni orang benar-benar nggak bisa menahan perih," batin Via.

Via melihat ke arah luka Noah dengan seksama, mengangkat tangannya. Kemudian dengan jari telunjuknya menyentuh luka Noah pelan.

Noah terlihat meringis dan memundurkan kepalanya jauh. "Lo dah gila, perih tau!" kesal Noah.

Via hanya bisa tersenyum melihat tingkah Noah. Dia melihat ke arah telunjuknya sambil mengeluarkan wajah berpikir. "Lo boong ya, nggak ada bekas antiseptic apapun di telunjuk gue."

"Entar juga sembuh sendiri, gue dah sering kok luka begini."

"Emang sembuh ... Tapi lama ...," ucap Via yang mulai kembali ke posisi duduknya. "Abis makan harus segera dikasih antiseptic. Kalo nggak, gue nggak mau sarapan entar," ancam Via.

"Kalo aja uang 10 milliar itu sedikit, gue mending kasih uang dendanya aja," batin Noah kesal.

"Iya iya," jawab Noah malas.

Mereka berdua pun kembali menyantap bakmie mereka. Listrik di rumah Via tiba-tiba padam, Noah mencoba meraba meja untuk mencari handphonenya. Noah menemukan handphonenya dan segera menyalakan senternya. Noah mengarahkan senternya ke arah Via.

Via hanya terlihat merungkup di mejanya, "Lo kenapa?" tanya Noah.

"Gu- gue takut gelap," jawab Via pelan.

"Yaelah ni bocah, lo biasanya pake lilin atau apa?"

"Biasanya ayah gue akan pergi ke ruang genset, gensetnya di lantai bawah tanah," jawab Via yang masih merungkup.

"Ya udah, tunggu disini. Gue akan kesana."

"Enggak! Jangan tinggalin gue sendiri!" erang Via.

Noah hanya menghela nafas, Noah mengarahkan senternya untuk mencari Handphone Via. Setelah menemukannya dia mengambil handphone itu. "Nih, gunain senternya, ayo bareng ke bawah."

Via mengambil handphonenya dan menyalakan senter. Noah berjalan di depan dengan Via di belakangnya yang terus memegang lengan jacket yang Noah kenakan. Via hanya terlihat menunduk dan menghindari matanya untuk melihat ruangan yang gelap.

Noah beberapa kali melihat kebelakang untuk melihat wajah Via yang benar-benar terlihat takut. "Bukannya lo orang kaya, ganti aja semua lampunya dengan lampu emergency," lampu yang dapat menyala sendiri ketika listrik padam.

"Rumah ini udah dibangun dari lama dan ayah gue tetap mencoba mempertahankan apa yang dibangun oleh kakek," sahut Via dengan pelan, dia masih tidak bisa mengendalikan ketakutannya.

Mereka sudah berjalan meninggalkan dapur. Sekarang sedang berada di lorong ruang tamu, sebuah cahaya tiba-tiba terlihat di depan mata mereka. Via terlihat syok melihatnya, mengucek matanya beberapa kali untuk memastikan bahwa yang dia lihat itu hanyalah sebuah ilusi.

"Happy birthday to you ... Happy birthday to you...."

Suara yang tak asing terdengar di telinga Via. Nyanyian dari sahabatnya Agnes dan Devi. Dari depan pintu mereka membawa kue yang ditemani dengan cahaya lilin. Sepertinya mereka berdua yang telah mematikan listrik di rumah Via. Agnes memiliki kunci rumah Via karena setelah ayahnya meninggal, Via jatuh sakit dan terjebak di kamar. Karena itu Agnes memaksa untuk meminta salah satu kunci serep rumah Via.

"Gue benar-benar lupa ini hari ulang tahun gue. No-noah, gawat. Mereka akan mengetahui semuanya."

"Happy birthday sahabatku, wajahnya nggak perlu kaget kek gitu dong. Make wish lalu tiup lilinnya," ucap Devi sembari membawa kue.

Via menggerakkan tangan kanannya yang dari tadi memegang lengan jaket Noah. Setelah tak merasakan apa-apa, Via mencoba melihat ke semua sudut, dan tidak melihat Noah dimanapun. Dia kemudian memperhatikan kedua wajah sahabatnya yang tidak terlihat curiga sama sekali.

"Syukurlah, pekerjaan agentnya dapat bekerja diwaktu yang tepat," batin Via.

Via mencoba memejamkan matanya dan membuat permintaan. Setelah selesai, dia meniup lilin itu.

"Foto dulu, Via, lo yang megang kuenya," Agnes mengeluarkan kamera polaroidnya. Devi menyerahkan kuenya pada Via.

Mereka bertigapun berjejer dengan Via yang sedang memegang kue di tengah. Agnes mengangkat kameranya dan siap melakukan selca.

"Satu ... Dua ... Chesee," ucap Agnes yang diikuti senyuman manis oleh ketiganya.

Via terlihat mengusap matanya karena berair. Dia benar-benar lupa tentang ulang tahunnya karena beberapa masalah yang tiba bertubi-tubi. Tapi kedua sahabatnya datang dengan membawa kejutan untuk dirinya.

"Makasih," ucap Via terharu.

Agnes menurunkan kameranya setelah mendengar ucapan terimakasih Via. Agnes mencubit pipi Via dengan gemas. "Walaupun lo hidup sendirian sekarang. Lo harus terus ingat kami akan selalu ada. Walaupun Devi orangnya kadang kasar, tapi hatinya lembut kok. Walaupun gue terlalu banyak persiapan untuk melakukan sesuatu, tapi apabila untuk Via. Semuanya terjadi spontan begitu saja. Mungkin karena hati yang menggerakkannya. Jadi apabila ada apa-apa, Via harus terus cerita ke kami dan minta bantuan kami. Happy birthday Via..." ucap Agnes sembari tersenyum.

"Dev, pegang kuenya dulu," ucap Via.

Via menyerahkan kuenya pada Devi, "Gue mau meluk Agnes," Setelah Devi mengambil kuenya, Via segera memeluk Agnes erat. Matanya yang terus menahan air matanya kini tak mampu lagi menahannya. "Nes ... Gue nggak bisa bayangin kalo gue nggak punya sahabat kek lo," ucap Via sembari menangis.

"Gue nggak boleh gabung nih?" tanya Devi.

"Dev ... sini cepet ... Gue pengen meluk kalian berdua," ucap Via yang masih memeluk Agnes.

Devi meletakkan kuenya di lantai dan ikut memeluk mereka berdua.

"Dev, makasih juga ya, udah selalu berusaha ngejagain gue," ucap Via.

"Memang tugas pengawal untuk menjaga tuan putri," jawab Devi bercanda.

"Kepala keamanan emang beda," sahut Agnes.

"Pembayarannya lewat transfer aja ya," sahut Devi kembali.

Via semakin mengeratkan pelukannya. "Sayang ... kalian semua ...," ucap Via sembari tersenyum.

My Little Agent (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang