---Maaf baru update, kemarin sempat sakit.--
18 September 1997
Bromo, Tengger, Jawa Timur
Raka terlihat sangat fokus menangkap foto demi foto hamparan bunga edelweis dengan kamera analognya. Menggunakan kupluk dan syal berharap bahwa itu mampu mengurangi hawa dingin dari Bromo. Sudah menjadi rutinitasnya untuk mengambil satu waktu dalam satu bulan untuk menjalani hobinya sebagai fotografer.
"Permisi, maaf ganggu waktunya."
Kamera yang terus menempel dari matanya pun terlepas seketika ketika suara lembut dari seorang perempuan terdengar tepat di sebelahnya.
"Iya ada apa?" baru kali ini Raka terlihat begitu terpesona ketika melihat seorang perempuan, dengan wajah putih, rambut hitam dan wajah terlihat memerah, perempuan itu terlihat malu-malu ketika mencoba berbicara dengan Raka.
"Boleh ku beli 'film'nya nggak? Punyaku keknya jatuh waktu naik kesini," ucapnya dengan senyum malu.
Pada tahun 90-an kamera analog memerlukan film untuk menyimpan hasil foto mereka.
Mendengar hal itu, Raka langsung meraih tasnya untuk melihat berapa film lagi yang dia miliki, setelah dia liat cukup banyak, diapun memberikan dua kotak pada perempuan tersebut.
"Ambil aja," ucap Raka.
"Beneran nih, makasih banget ..." ucap perempuan tersebut sembari mengeluarkan senyum merekahnya.
"Btw, cuman sendiri?" tanyanya yang tidak melihat siapapun di sekitar mereka.
"Iya, kamu juga?" tanyanya kembali.
"Iya, emang suka ngefoto pemandangan sendiri, kek lebih bebas aja."
"Wah ... sama dong. Kenalin, Riska," ucapnya sembari menjulurkan tangan.
Raka terlihat cukup kaget kala itu, baru kali ini ada seorang perempuan yang mengajaknya berkenalan lebih dulu, "Raka, Raka Setiawan," ucapnya sembari menyambut tangan perempuan tersebut.
"Sekali lagi makasih ya ...," ucapnya tersenyum.
"Sama-sama," sahut Raka.
Setelah mendengarkan jawaban dari Raka, Riska kemudian berjalan meninggalkan Raka. Karena dia dengar Raka lebih suka melalukan fotografi pemandangan sendirian, dia berpikir untuk tidak meganggunya. Tapi sebenarnya bukan itu yang diinginkan oleh Raka. Dia benar-benar ingin memanggil Riska yang terlihat berjalan semakin menjauh. Tapi, dia terlalu ragu untuk melakukan hal tersebut.
Dengan mencoba meyakinkan dirinya, dia pun mengambil langkah untuk menyusul Riska. Tapi dengan membututinya diam-diam, dia terlalu malu untuk menghampiri Riska secara langsung.
Melihat Riksa yang menghentikan langkahnya dan mencoba mengambil beberapa foto, Raka pun juga ikut berhenti. Sembari berpura-pura mengambil foto di arah lain agar Riska tidak menduga bahwa dia sengaja mengikutinya.
Kamera yang dia arahkan ke arah berlawanan, dengan rasa penuh penasaran dia mencoba mengarahkan kameranya ke arah Riska. Raka terlihat tersenyum beberapa kali saat memfoto Riska yang sedang sibuk dengan kameranya. Wajahnya terlihat sangat cantik ketika di foto. Ekspresi demi ekspresi yang dikeluarkan Riska, benar-benar membuat jantung Raka tak karuan.
Hari yang harusnya dia dedikasikan untuk memfoto keindahan pemandangan Bromo, beralih menjadi memfoto aktivitas Riska pada hari tersebut.
********
Raka terlihat fokus membasuh foto Riska diruangan khususnya, dia terlihat agak menyesal karena keberaniannya tak cukup untuk menanyakan alamat maupun nomor telpon rumahnya.
"Wah ... kenapa ruangan ini isinya malah foto cewek." Sepupu Raka, tiba-tiba masuk ke dalam ruangan.
Wajah Raka tiba-tiba memerah, "Alan ...," ucapnya sembari mendorong tubuh Alan menuju keluar ruangan.
Alan pun tertawa melihat tingkah sepupunya tersebut. "Tunggu dulu, gue sepertinya kenal sama tu cewek."
Tak percaya, Raka pun terus mendorong tubuh Alan, "Lo nggak cuman mau ngegoda gue doang kan?" tanya Raka kesal.
"Serius, namanya Riska kan?"
Mendengar hal itu Raka pun menghentikan langkahnya, "Lo serius kenal dia?"
"Iya," Alan kemudian membalikkan tubuhnya dan mencoba mengambil satu foto untuk memperhatikannya dengan lebih seksama, "Riska Septa, dia satu organisasi sama gue, organisasi fotografi kampus."
"Berarti kita sekampus?"
"Yoi, anak Trisakti dia."
Raka seolah-olah sedang kejatuhan bulan sekarang. Bagaimana kebetulan ini bisa terjadi.
"Santai aja mukanya. Mau gue kenalin? Eh nggak-enggak, mending lo ikut organisasi fotografi dah, lo kan emang mau ikut dari awal, tapi karena terlalu introvert jadinya nggak jadi."
"Temenin gue besok!" pinta Raka.
********
"Udah siap?" tanya Alan.
"Yoi," sahut Raka sembari meneguk ludahnya.
Alan pun membuka pintu sekretariat untuk membawa Raka masuk, tapi ternyata pintu tersebut terbuka dari dalam terlebih dahulu.
Hari itu menjadi kedua kalinya Raka memandang wajah Riska dengan dekat, dengan memakai almamater warna hijau, Riska terlihat lebih elegan dari biasanya. Vibe mahasiswi memang terlihat berbeda dari orang biasanya.
"Raka, kan?" tanya Riska kaget melihat Raka berada di depan pintu.
"Iya," sahut Raka.
Riska pun melihat Raka tak datang sendirian, dia sedang bersama sahabatnya di kampus sekarang. "Lan, ngapain lo bawa-bawa anak orang kesini," tanya Riska.
"Dia mau gabung, karena malu datang sendirian jadinya gue temenin."
"Oh gitu, yaudah, bawa Raka nemuin Evan, mumpung tu manusia ghoib lagi ada. Gue ada yang mau diurus dulu," ucap Riska yang kemudian keluar dari sekretariat dan meninggalkan mereka berdua.
Alan pun mengajak Raka masuk kedalam sekretariat. Terlihat Evan yang sedang duduk lesehan dan sedang mengutak-atik kameranya.
"Van, gue bawa sepupu gue yang kemarin gue bilang," ucap Alan.
"Oke, duduk-duduk," ucap Evan yang terlihat masih fokus pada kameranya.
"Perkenalkan nama gue Raka, jurusan bisnis semester empat," ucap Raka dengan nada ragu. Dia sudah diberitahu terlebih dahulu apabila Evan adalah orang yang sangat cuek, tapi apabila orang tersebut terlihat sopan kepadanya, dia akan segera merespond.
Mendengar hal tersebut Evan pun meletakkan kameranya. Evan adalah ketua dari organasisasi fotografi, dia juga menjabat sebagai humas di BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa). Dengan wajah tampannya tidak ada yang tidak mengenal Evan di kampus Trisakti.
"Formulirnya sudah lo isikan?" tanya Evan yang menyerahkan formulir kepada Alan di hari sebelumnya. Raka pun menyerahkan selembaran formulir tersebut.
"Walaupun gue ketuanya, keputusan tetap akan diambil dalam forum, nanti titip aja hasil foto lo sama Alan. Gue denger skill lo udah sangat bagus, anak-anak pasti setuju kalo lo ikut gabung,"
"Terimakasih," sahut Raka.
********
Seminggu kemudian Raka diberitahu bahwa dia dapat mengikuti kegiatan organisasi fotografi. Sebagai anak introvert dia cukup susah untuk membaur dengan yang lain. Tapi dengan bantuan Alan dan Riska dia dapat akrab dengan anggota lain.
Beberapa kegiatan mereka lalui, mulai dari fotografi ke alam, ke desa-desa maupun seperti pembelajaran penggunaan kamera pada anak-anak SMA. Dalam setiap kegiatan Raka terus melihat ke arah Riska. Riska adalah orang yang sangat hebat dalam membaur, bahkan dalam lingkungan yang baru.
Dia sangat suka ketika melihat Riska tersenyum saat bercengkrama dengan orang lain. Akan tetapi, semakin lama Raka memperhatikan Riska, semakin ia sadar. Riska selalu memperhatikan orang lain, dalam setiap kesempatan matanya selalu tertuju pada satu orang. Evan sang ketua organisasi.
--Kita flashback dulu ya, ada sekitar 3 chapter author akan menceritakan tentang orang tua karakter utama.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Little Agent (END)
Fiksi RemajaTentang Noah Pratama, seorang siswa SMA yang super cuek dan suka tidur di kelas, memiliki pekerjaan sebagai agent rahasia dan karena sebuah kontrak harus serumah dengan Via Wulan Cahya. Teman sekelasnya sendiri, orang yang super nggak enakan dan har...