Tangisan Hani membuatnya terbangun lagi. Langit biru yang sedikit meredup membuat Sojung tahu bahwa hari sudah sore. Siang terus berganti malam, jarum pada jam terus berputar, hari-hari berlalu begitu cepat. Tepat hari ini, Sojung ingat, Hani berusia satu bulan.
"Anak Mama yang cantik, udah satu bulan ya kamu sekarang." Sojung berkata sambil menenangkan Hani di pelukannya. Dia menimang-nimang anak itu, ke kiri dan ke kanan.
Matanya juga tak lepas menatap lekat tiap lekuk wajah Fany. Semakin ke sini, wajah Seokjin semakin terlihat mendominasi wajah Hani. Matanya, bibirnya, sampai cara Hani tersenyum, persis seperti cara Seokjin tersenyum.
Suara pintu terbuka kasar, membuat debaran jantung Sojung bergerak tak normal. Napasnya sempat tercekat, tapi sebisa mungkin dia berusaha tenang dan tidak panik.
Dia membuka pintu kamarnya, lalu turun ke bawah untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Saat itu dia melihat Fany dengan luka di kepalanya. Tidak terlalu banyak darah, tapi Sojung tahu ada luka yang mengeluarkan sedikit darah dari situ.
"Kamu ini gimana sih, Fany jatuh begini kamu nggak tau?" tanya Seokjin dengan nada marah.
Sojung sadar ini kesalahannya. Dia ketiduran tadi, seharusnya dia menjaga kedua anaknya, termasuk Fany. Tahu bahwa Seokjin akan memarahinya, Sojung membawa masuk Hani ke dalam kamar Fany. Dia meletakkan bayi satu bulan itu di atas tempat tidur Fany, lalu melindunginya dengan beberapa guling dan bantal agar Hani tidak bergerak dan akhirnya jatuh ke bawah.
Wanita itu tahu apa yang harus dia lakukan. Jangan memedulikan Seokjin dulu. Dia harus segera menarik Fany dan buru-buru mengobati luka yang ada di dahi Fany.
Kotak P3K-nya sudah tersedia. Obat merah, cairan antiseptik, juga perban sudah Sojung ambil. Luka Fany dibersihkan dengan cairan antiseptik, lalu Sojung beri obat merah dan terakhir, ia tutup luka itu dengan kapas lalu memberinya plaster agar benar-benar melindungi lukanya.
Perasaan bersalah jelas ada di hati Sojung, makanya dia memutuskan untuk memeluk anak itu setelah mengobati lukanya. Sambil tersenyum, Sojung juga menghapus air mata Fany. "Maaf, Sayang. Udah, nggak usah nangis. Nggak pa-pa, sebentar lagi sembuh, kok."
Seokjin mendecak, usai lama menunggu istrinya selesai mengobati. Tidak bisa dibiarkan, Sojung harus dia beri peringatan agar nantinya kesalahan seperti ini tidak ia ulangi. "Masuk ke kamar, Fan. Papa mau ngomong sama Mama."
Fany berdiri, namun anak itu tak langsung pergi ke kamar. Dia menarik tangan Seokjin dan memasang wajah sendu. "Pa, jangan marah sama Mama, ya? Ini salah Fany yang ceroboh, bukan salah Mama."
Seokjin mendecak sekali lagi. Matanya memutar super malas. "Papa bilang masuk, jangan ngelawan!"
Kepala Fany spontan tertunduk. Jantungnya berdebar lebih cepat. Badannya bergetar. Dia tidak tahu harus berbuat apalagi selain mematuhi apa kata Seokjin.
Tapi ... dia juga tidak bisa membiarkan Ibunya dimarahi. Fany tidak mau melihat Seokjin marah, Fany juga tidak mau mereka bertengkar lagi.
"Sekali lagi Papa bilang, masuk ke kamar sekarang!"
Sempat terkejut karena teriakan Seokjin, Fany akhirnya berjalan cepat ke arah kamarnya. Dia masuk dan mengunci pintu kamarnya. Andai umurnya sudah cukup, dia pasti akan mencegah pertengkaran kedua orang tuanya.
― ♡ ―
"Apa sih, sakit!"
Tangannya memerah akibat ditarik Seokjin dari bawah. Matanya sempat meneteskan air mata karena saking sakitnya. Seokjin membawanya ke kamar, tapi bukan dengan cara yang baik.
"Aku ... minta maaf," lirih Sojung dengan nada suara bergetar. Sambil memegang area tangannya yang memerah, Sojung terus menunduk, sama sekali tak berani menatap Seokjin.
"Kamu emang ngapain sih, sampe nggak tau Fany main di luar kayak gitu? NGAPAIN AJA DI RUMAH SEHARIAN?"
Sojung mendadak sesenggukan. Nada suara Seokjin yang membentaknya, membuat dia takut dan akhirnya menangis. Hati Sojung terluka saat itu juga. "Jangan marahin aku kayak gitu, aku tau aku salah ...." Sojung beralih mengusap air matanya, tapi dia belum berani mengangkat kepalanya.
"Nggak usah nangis kayak gitu, aku nggak bakal berhenti marahin kamu. Kamu salah, jadi jangan harap aku kasian sama kamu."
Berusaha menyudahi tangisannya, Sojung beralih menjawab pertanyaan yang tadi Seokjin berikan. "Aku di atas, nggak sengaja ketiduran habis jemput Fany. Aku kebangun waktu Hani nangis."
"Kamu tidur, sementara anak kamu berdarah kayak gitu dahinya. Hebat ya kamu, bisa kayak gitu," sindir Seokjin. "Kamu aku suruh di rumah itu buat ngejaga anak-anak, bukan untuk tidur, males-malesan."
"Aku nggak males-malesan, aku ketiduran karena capek. Semalem aku nggak tidur karena Hani rewel―"
"Alesan!" Sojung tersentak lagi saat Seokjin menekan ucapannya. Dia terkejut, hatinya semakin terluka.
"Dipikir aku nggak tau kamu? Dari masih gadis aja kamu suka males-malesan, banyak banget sikap buruk kamu kalau mau diinget sekarang."
Sojung menarik napasnya. "Iya. Dulu aku males, dulu aku ngerasa masa bodo. Tapi sekarang aku udah punya tanggung jawab, aku udah berusaha rubah sikap aku jadi lebih dewasa, buat menuhin tanggung jawab aku―"
"Tanggung jawab apanya?" tanya Seokjin, lagi-lagi dia memotong ucapan Sojung. "Nggak usah ngomong kayak gitu kalau kenyataannya nggak ada tanggung jawab yang kamu penuhin. Kalau salah, ngaku salah."
Sekarang Sojung menatap wajah suaminya. "Aku ngaku aku salah, aku minta maaf sama kamu." Sojung menghapus air mata di pipinya lagi. "Fany luka gara-gara aku, gara-gara aku nggak ngawasin dia. Aku ngaku, itu emang salahku ..."
"... tapi harusnya kamu nggak usah kasih aku peringatan sampai ngungkit kekuranganku. Kita nikah, artinya kita siap buat terima kekurangan masing-masing. Aku udah berusaha semampu aku buat jadi pribadi yang lebih baik, kalau kamu masih ngerasa kurang ... jangan khawatir, biar aku usaha lagi. Aku janji, untuk kedepannya aku nggak akan teledor lagi. Aku akan awasin anak-anak, kalau perlu dua puluh empat jam biar mereka nggak kenapa-napa."
Saat kontak mata mereka terjadi, sebenarnya hati Seokjin merasa bersalah. Rasanya ingin sekali dia memeluk Sojung, lalu meminta maaf karena sudah terlalu kasar. Namun ... egonya menahannya untuk tidak melakukan hal itu. Untuk kali ini, Seokjin tidak boleh goyah.
"Kalau kamu belum puas marah sama aku, nggak pa-pa, lanjut aja. Aku terima semuanya kok," kata Sojung sambil menundukkan kepalanya lagi.
Sementara sekarang Seokjin memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, bertahan pada pendirian untuk tidak memeluk Sojung. "Ke tempat tidur! Jangan keluar kamar sebelum aku suruh kamu keluar!"
Sojung berjalan dengan cepat saat itu. Dia langsung jatuh ke atas tempat tidur dan menyembunyikan wajahnya di antara bantal dan guling. Sojung menangis lagi, menuntaskan semua rasa sakit hatinya, juga rasa kecewanya akan Seokjin yang hari ini mengungkit kekurangannya.
Hati Sojung cukup terluka hari ini ... dan semua itu karena Seokjin; suaminya yang hari ini menjadi super monster. Menyerang dan menyakiti hatinya tanpa henti. Seokjin bahkan sempat membuat tangan Sojung memerah. Sojung tahu Sojung salah, tapi menurutnya ... Seokjin berlebihan akan ini.
― ♡ ―
A/N:
hari valentine, tp mama sm papa berantem😭 yang sabar ya kalian. selamat menunggu part depan!</3

KAMU SEDANG MEMBACA
[2] Emotions; Sowjin
Fanfiction#1 ― Sojung #1 ― Sowjin [Sowjin ― Semi Baku] [Sequel of Pak Seokjin] [Slice of Life] Seokjin dan Sojung akhirnya menikah. Setelah menikah tentu saja mereka harus siap menghadapi setiap lika-liku dan hiruk-pikuk rumah tangga. Seokjin yang memang leb...