🕊. ―fourty first

171 33 8
                                    

Derap langkah kaki terdengar jelas dan begitu cepat. Hari ini, semuanya bersiap memulai hari baru, di minggu yang baru pula. Tak terkecuali Seokjin.

Laki-laki itu baru saja kembali dari kantin, membeli kopi untuk membangkitkan semangatnya pagi ini. Dia duduk di kursi putar, di depan meja yang di atasnya terdapat monitor―fasilitas dari kampus untuk membantu proses kerjanya sebagai dosen di tempat ini.

Untuk dua jam kedepan, jadwal Seokjin mengajar masih senggang. Tak ada kelas yang harus dia ajar di jam tersebut.

Salah satu teman laki-laki Seokjin yang kebetulan masih belum mulai mengajar di kelas juga, dia datang dengan kursi putar berodanya ke dekat Seokjin. "Pagi, Seokjin."

Seokjin menoleh, laki-laki itu sempat terkejut sedikit karena temannya itu datang tiba-tiba. "Oh, pagi."

Teman Seokjin mengeluarkan sedikit tawanya. "Lagi santai?" tanya teman Seokjin.

Sambil meminum kopinya dengan bantuan sedotan, Seokjin mengangguk. "Santai juga?" tanya Seokjin kembali.

"Iya, masih senggang sampe jam sepuluh nanti," jawab teman Seokjin.

Seokjin mengangguk-anggukan kepalanya mengerti. "Saya mau cerita lagi. Masih seputar ... rumah tangga."

Teman Seokjin mendadak naik tingkat semangatnya, dia membenarkan posisi, kemudian mempersilakan Seokjin untuk bercerita. "Silakan, cerita aja."

"Kemarin, dua sampai tiga hari lalu, saya ngikutin apa yang kamu saranin. Saya harus tegas sama istri saya, saya harus peringati dia supaya dia nggak lupa posisi saya di rumah sebagai apa ... tapi, sampe sekarang saya merasa bersalah banget," kata Seokjin.

Teman Seokjin itu terkekeh. Dia kemudian bertanya, "Kenapa merasa bersalah? Emang kamu apain istri kamu?"

Seokjin menyandarkan tubuhnya di kepala kursi. Jari dan tangannya hinggap sementara di depan dagu. "Saya ... saya omelin dia, saya tarik tangannya―itupun nggak sengaja, tapi pergelangan tangannya merah banget waktu itu. Saya juga ... terlalu lepas, nggak bisa ngontrol emosi, sampe akhirnya ... saya ngatain dia, saya ungkit kekurangannya."

Seokjin kembali menatap temannya dengan raut wajah serius. "Saya salah, ya? Saya berlebihan."

"Kalau dibilang salah ... nggak juga," kata teman Seokjin. "Kamu berhak untuk marah, karena istrimu itu udah lalai buat ngejalanin tugasnya. Tapi, kalau dibilang berlebihan ... sebenernya iya. ―oh, tapi, balik lagi ke istrimu. Kalau dia maklum sama sikapmu, saya rasa itu ya ... it's fine. Dia nggak tersinggung untuk jangka waktu yang lama."

Teman Seokjin ikut menyandarkan badannya pada kepala kursi. "Kalau istrimu nggak ikut marah, nggak ikut tersinggung, ya itu tandanya dia udah dewasa. Bener-bener udah tau dan udah bisa adaptasi sama kehidupan pernikahan. Jarang loh, ada perempuan yang umurnya di bawah dua puluh lima, sukses adaptasi sama sifat dan paham keadaan emosi suaminya―jangankan umur dua puluh lima, di umur tiga puluh pun ada yang masih suka susah buat ngalah dan ujung-ujungnya mereka jadi cekcok."

"Kamu itu termasuk laki-laki beruntung, yang dapetin istri pengertian kayak gitu," tambah teman Seokjin.

"Tapi sebelum melahirkan, justru dia yang selalu marah sama saya," kata Seokjin sambil tertawa kecil. "Nggak tau sih, semenjak kamu bilang sama saya kalau laki-laki itu nggak boleh terlalu dan selalu ngalah, saya jadi ... sadar, ternyata dari awal nikah, saya nggak pernah sama sekali marah sama dia. Ngebentak dia. Ngelepasin emosi marah saya di depan dia. Mungkin, kalau ternyata saya sama pernah marah sama dia waktu dia hamil ... saya rasa, saya nggak pernah semarah ini. Nggak pernah sampai di tahap emosi kayak gini."

Teman Seokjin mengeluarkan kalimat hasil pengamatannya. "Kesimpulannya, kamu selalu sabar sebelum ini. Sementara akhir-akhir ini, kamu ngerasa kalau kamu juga berhak untuk marah sama dia. Tapi kamu malah ... ngerasa ngelakuin hal yang sedikit berlebihan dalam itu."

Seokjin mengangguk-anggukan kepalanya. Teman Seokjin kembali berkata, "Laki-laki emang perlu tegas, biar istri tunduk dan nggak semena-mena. Tapi kalau kamu sayang sama istri kamu, jangan biarin dia merasa terlalu bersalah atas kesalahannya. Kamu cukup kasih tau kalau dia itu salah, selebihnya udah ... biarin dia yang introspeksi diri sendiri. Tunggu dia minta maaf, setelah itu masalah selesai."

Seokjin meniup udara keluar, membuat pipinya mengembang sedikit, setelah itu pria itu mengangguk-angguk mengerti. "Ya ... terimakasih, sudah mau dengar dan menanggapi cerita saya," kata Seokjin sembari tersenyum.

"Sama-sama," jawab temannya. "Tapi inget, jangan terlalu sering ngalah sama dia. Kalau dia salah, kasih tau, kontrol lagi pelan-pelan emosi kamu."

Sojung melangkahkan kakinya untuk turun dari mobil. Baru saja, dia pulang dari sekolah Fany untuk menjemput gadis kecil itu. Fany sendiri sudah berjalan masuk ke dalam rumah, dia tak menunggu Sojung mengunci mobilnya.

Tak lama Sojung menyusul, dia berlari dengan cepat ketika tahu bahwa Fany akan tersandung tangga menghubungkan garasi dengan area rumah. "Fany, Fany, Fany ...." Sojung mengucap nama anak itu dengan cepat sembari melindungi tubuh Fany yang mungkin saja nanti akan jatuh dan kembali membentur kepalanya.

Sojung menghela napas lega saat dia tahu, dia berhasil melindungi Fany kali ini. Sojung tertawa kecil sambil menatap Fany, "Hati-hati dong, Sayang."

Fany ikut tersenyum. "It's okay, Mama. Terimakasih, udah nyelamatin Fany tadi."

Sojung mengusak rambut anak itu gemas. Tak lama, Sojung mendengar suara tangisan Hani dari atas. Bayi itu bangun, di waktu yang tak Sojung duga.

Sojung mengajak Fany untuk segera masuk, menyuruh gadis itu untuk langsung istirahat di kamar, sementara dirinya berjalan dengan cepat ke atas untuk melihat kondisi Hani.

Nahas, Sojung sempat tersandung di tiga anak terakhir―paling atas, karena terlalu buru-buru. Bunyi tulang yang terbentur dengan lantai, terdengar cukup nyaring dan akhirnya membuat Sojung meringis.

Lutut dan bagian depan pergelangan kakinya langsung memar. Sojung menahan sakit, sampai-sampai air matanya keluar tanpa sadar. Namun, Sojung berusaha bangkit kembali karena dia tidak bisa membiarkan Hani menangis lebih lama.

Sojung berjalan pincang, dia meraih, lalu membuka pintu kamarnya dan langsung melihat Hani yang menangis kencang dalam kotak bayi.

Sojung mengangkat tubuh bayi itu, dia menimang Hani dengan penuh kasih sayang. Dalam harapnya, Hani segera menghentikan tangisannya dan kembali tenang.

Selain karena kakinya yang sakit, Sojung selalu tidak tega kala Hani menangis kencang dan tak kunjung berhenti. Sebagai seorang Ibu, Sojung tidak ingin anaknya menangis. Kalau saja Sojung bisa mengerti apa yang Hani rasakan dan Hani mau, wanita itu pasti akan segera mengambil tindakan yang tepat.

Namun, Hani belum bisa bicara dan ... Sojung tidak mengerti apa yang Hani mau.

"Hani mau minum susu? Iya? Hani haus?" tanya Sojung pada anaknya sambil pelan-pelan berjalan menuju ranjang utama.

Wanita itu menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang, dia membenarkan posisinya, kemudian dia mulai memberi Hani ASI. Anak itu ... benar haus rupanya.

Sojung tersenyum lega saat tangisan Hani berhenti. Rasanya, semua beban kekhawatiran akan anak pertamanya itu ... lepas dari pundaknya.

"Anak Mama haus rupanya," kata Sojung sambil mengelus pipi gembil Hani dengan gemas.

A/N;
lebih baik, kita usai di sini―canda usai.
tatau tamat di part berapa, tapi yang jelas ta lama lageee (semoga) hohoho.

see you!</3
your star, janlup!⭐⭐

[2] Emotions; Sowjin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang