🕊. ―nineteenth

188 29 20
                                    

Usai memaksa Seokjin lewat sambungan telfon, Sojung akhirnya mendapatkan izin laki-laki itu untuk keluar menjemput Fany di sekolahnya.

Semenjak kejadian tadi pagi, Sojung merasa bersalah sekali pada anak kecil itu. Meski Fany bukan anak kandungnya, dan Seokjin juga bukan ayah kandung Fany, tapi gadis kecil itu berperan penting atas kelangsungan hidupnya sekarang. Apalagi jasa kebaikan orang tua Fany, Yoona.

Mata yang kini membantu Sojung melihat warna-warni dunia, adalah mata Yoona, Ibu kandung Fany. Jadi, sudah seharusnya dia membalas kebaikan Yoona dengan cara menyayangi putrinya dengan setulus hati.

Begitu sampai di area parkir sekolah, Sojung turun dari mobilnya. Dia tau, sepuluh menit lagi Fany pasti akan keluar dari kelas. Sebelum Fany masuk ke dalam bus antar-jemput sekolah, memang sebaiknya wanita itu harus menunjukkan kehadirannya pada Fany.

Dia mengambil tempat di sudut ruangan. Melindungi dirinya dari sinar matahari―yang sampai pukul sekarang masih bersinar terik.

Ekor mata Sojung diam-diam memerhatikan langkah laki-laki yang sepertinya pelan-pelan menghampirinya. Begitu laki-laki itu memanggil namanya, Sojung cukup terkejut atas kehadiran laki-laki itu.

"Wilson?" tanya Sojung sekali lagi, memastikan karena dia belum percaya.

Laki-laki yang dipanggil Wilson itu tertawa. "Iya, ini gue. Lo bener Sojung, 'kan? Temen SMA gue?"

"Iya," balas Sojung. "Gila lo! Kapan balik dari Jepang?"

Wilson merentangkan tangannya, memeluk Sojung sebentar sebelum menyadari bahwa perut Sojung sedang besar sekarang. "Hamil lo?"

"Iya, anak pertama," kata Sojung.

Wilson mengangguk. "Kapan nikah? Kok nggak ngabarin gue?"

"Lo aja nggak pernah ngontak gue lagi semenjak kuliah di Jepang. Sombong!"

Wilson tertawa. "Iya, lupa gue. Di sana sibuk banget sih, sumpah." Wilson lanjut bertanya lagi, "Eh, terus sekarang ngapain di sini?"

"Jemput anak gue," kata Sojung.

"Loh, katanya sekarang lagi hamil anak pertama?" tanya Wilson sambil menyatukan alisnya, mengerut karena bingung.

"Anak suami gue, maksudnya," kata Sojung.

"Lo nikah sama duda anak satu?" tanya Wilson.

Sojung tertawa. "Iya. Ceritanya panjang. Nanti deh kalau mau tau, gue ceritain kapan-kapan." Sojung bertanya lagi pada Wilson, "Lo sendiri ngapain di sini?"

"Jemput ponakan gue," jawab Wilson. "Eh, iya. Minta kontak lo dong, biar gampang nanti kalau mau minta tolong."

"Minta tolong buat?"

"Buat apa kek, terserah gue," jawab Wilson.

Sojung tertawa. "Mana sini handphone lo?" Sojung menerima handphone Wilson dan mulai mengetik nomor kontaknya. "Kalau mau minta tolong, jangan minta tolong yang aneh-aneh lo, ya! Jangan ngerepotin gue!"

Sambil menerima kembali handphonenya, Wilson menanggapi, "Iya, bumil. Heran gue, perut lo udah gede tapi masih aja bawel. Emang nggak capek apa ngomong terus?"

"Nggak, biasa aja tuh," balas Sojung.

Saat Sojung selesai berbicara, anak-anak sekolah mulai berkeluaran. Sojung juga lihat teman sekelas Fany ada yang sudah keluar. Jadi, sebentar lagi Fany pasti keluar.

Begitu Fany keluar dan anak itu melihatnya, senyuman Sojung terpancar. Wanita itu lantas menghampiri putrinya dan memberi Fany pelukan hangat.

Wilson yang diam-diam memerhatikan itu, ikut merasakan kedamaian di hatinya. Sojung begitu hangat pada gadis kecil yang bahkan dia tidak tahu namanya siapa. Tapi Sojung hebat, dia mau menerima kehadiran dan menyayangi anak walaupun anak itu bukan anak kandungnya.

[2] Emotions; Sowjin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang