Sojung sudah kembali ke rumahnya, kembali pada rutinitasnya. Walau tadi pagi dia belum diizinkan Seokjin untuk mengerjakan pekerjaan rumah, tapi Sojung tetap melakukan pekerjaan yang setidaknya tidak terlalu memberatkan dirinya.
Fany pulang dengan bus sekolahnya. Matanya sembab saat masuk rumah. Hal itu lantas membuat Sojung bingung lalu bertanya, "Kenapa, Fan?"
Fany menceritakan semuanya. Alasan mengapa dia menangis saat ini. "Fany takut Mama marah ... kotak bekal Fany ilang. Fany yakin tadi udah taro di tas, tapi pas Fany mau pulang dan cek ulang barang-barang, kotak bekalnya nggak ada. Fany udah usaha cari di sekeliling kelas, hasilnya juga nggak ada. Fany ... Fany minta maaf, Ma."
Sojung mengangguk mengerti. "Beneran udah dicari dan nggak ada di kelas?"
Fany mengangguk dan menatap ke bawah, tidak berani menatap Sojung.
"Yaudah nggak pa-pa, besok kita pake kotak bekal yang lain," kata Sojung. "Tapi inget, jangan teledor lagi. Harus bener-bener diperiksa, diperhatiin barang-barang yang kamu punya."
"Iya, Ma ...."
"Yaudah, sekarang Fany mandi, ya? Abis itu bebas mau ngapain, terserah ... tapi harus mandi dulu." Sojung membiarkan Fany berjalan melewatinya setelah anak itu mengangguk. "Baju, sepatu sama tasnya disimpen ke tempatnya, ya."
Fany sudah masuk ke dalam kamarnya, sekarang giliran Sojung yang mengurung dirinya di kamar sampai jam makan malam segera tiba.
― ♡ ―
Fany tertawa, sambil bermain dengan beberapa mainannya. Sebelum ini Seokjin memang memberikannya banyak mainan baru. Usianya yang semakin bertambah, membuat dirinya merasa perlu menjelajahi banyak hal. Mainan-mainan yang Seokjin berikan ini, cukup bisa membantunya.
Omong-omong, gadis kecil itu bermain di ruang makan, sambil menemani Ibunya yang mulai sibuk menyiapkan menu makan malam. Karena sebentar lagi, laki-laki dewasa milik mereka akan pulang.
Salah satu dari banyak mainan milik Fany yang gadis itu bawa, jatuh ke lantai. Kebetulan, posisinya dekat sekali dengan Sojung. Walau begitu, Fany tak punya niat sama sekali untuk menganggu Ibunya. Dia turun dari kursi dan berusaha meraih mainannya.
Sayangnya, dia lupa kalau dia sedang membawa larutan gelembung yang super licin saat membungkuk untuk meraih mainannya yang jatuh. Tanpa pikir panjang, Fany langsung meletakkan mainan yang dipegangnya di atas meja dan mencari kain pel agar Ibunya tidak marah.
Tapi saat dia kembali, suara piring pecah menjadi sambutannya. Sojung jatuh terduduk di lantai. "Ma! Mama nggak pa-pa?"
Sojung yang terlanjur kesal lantas menghempas tangan Fany yang berusaha meraihnya. Pelan-pelan dia bangun, dan menghindari genangan larutan gelembung yang membuatnya terpeleset.
"Fany ngapain sih numpahin larutan gelembung di sini? Sengaja mau liat Mama jatuh, iya?!" tanya Sojung keras.
"F-fany ...."
"Berapa banyak mainan yang Papa beli buat kamu? Banyak 'kan? Kenapa harus gelembung yang kamu pilih buat dimainin di dalam rumah?" omel Sojung. "Kamu tau nggak seberapa bahayanya kalau main gelembung di dalam rumah kayak gini? Apalagi Mama lagi masak di sini!"
"Fany minta maaf, Ma," lirih anak itu setengah menangis.
"Kamu minta maaf, Mama maafin. Tapi kamu tau nggak kalau gara-gara ulah kamu yang kayak gini, Mama bisa aja keguguran? Adik kamu bisa meninggal! Belum lahir aja udah kamu celakain, gimana kalau nanti adik kamu besar. Bakalan kamu bunuh, iya?"
"Fany nggak sejahat itu, Ma ...."
"Nggak jahat gimana? Kalau kamu nyelakain adik kamu, itu kamu udah jadi kakak yang jahat, Fany! ... udah lah, lain kali Fany nggak usah temenin Mama lagi! Nggak usah deket-deket Mama la―"
"Jung, kenapa sih?"
Seokjin pulang. Dia langsung masuk ke dalam lantaran mendengar suara ribut dari dalam rumahnya.
"Liat ... ini semua ulah anak kamu! Masakanku tumpah, piring pecah ... dan aku jatuh sampai tanganku berdarah kena pecahan piringnya, gara-gara Fany numpahin larutan gelembungnya ke lantai!"
Seokjin meraih Fany, dia menggendong gadis kecil itu lalu memeluknya dan berusaha menenangkannya.
"Fany nggak sengaja, Jung. Dia nggak mungkin punya niat jahat sama kamu, dia masih kecil," kata Seokjin.
"Sengaja atau nggak sengaja, dia hampir ngebunuh anak kita! Kalau aku nggak nahan pake tanganku tadi, mungkin perutku yang bakal kena. Udah gitu, aku pendarahan, keguguran ... aku wajar dong marah sama Fany! Dia ngebahayain nyawa anakku!"
Seokjin berkata lagi, "Tapi jangan sekasar ini. Fany ngerti kok kalau dibilangin baik-baik. Nggak usah kamu bentak-bentak kayak gitu."
"Kalau aku nggak bentak dia, nggak marahin dia, lain kali dia pasti bakal ceroboh lagi. Kamu mau aku keguguran gara-gara ulah konyol anak kamu itu?" Mata Sojung kian berair, seiring emosinya yang perlahan memuncak.
"Namanya juga anak kecil, Jung. Ceroboh sedikit nggak―"
"Udah, cukup!" Sojung mengakhiri, dia menekan kalimatnya dan berteriak. "Aku tuh ngomong sama kamu, kayak ngomong sama musuh, ya? ... terserah! Kamu belain aja terus anak kamu itu! Nggak usah peduliin aku! Apalagi anak yang ada dalam kandunganku!"
Sojung kemudian melangkah pergi, meninggalkan Fany dan Seokjin. Dia mengusap ujung matanya, menghilangkan jejak air mata yang hampir saja turun karena ulah suaminya. Terakhir, dia membanting pintu kamarnya keras, sengaja supaya Seokjin dengar.
Sementara suaminya itu, kian mengeratkan pelukannya pada Fany. Berulangkali ketenangan berusaha dia ciptakan untuk Fany. "Nggak pa-pa, Fan. Maafin Mama Sojung, ya? ... dia marah karena dia sayang sama kamu, dia pengen kamu belajar dari kesalahan hari ini. Lain kali, kalau main gelembung itu di luar, ya? Jangan di dalam ruangan, bahaya."
Dengan sesenggukan, Fany mengiyakan. Dia juga sempat mengucap kata maaf pada Seokjin, "Maafin Fany ya, Pa? Fany janji, Fany nggak akan ceroboh lagi."
Seokjin mengelus halus rambut Fany, sembari mengusap punggungnya, memberikan ketenangan pada anak itu. "Kita ke kamar Fany, ya? Fany bobo, biar capeknya hilang karena Fany 'kan habis nangis."
Gadis kecil itu pasrah, dia menyerahkan semua kendalinya pada Seokjin. Seokjin membawanya ke kamar, merebahkan tubuhnya di atas ranjang, menyelimutinya dan memeluknya sampai dia tertidur lelap.
Usai itu Seokjin kembali keluar, dia membersihkan makanan tumpah serta pecahan beling yang berserakan di lantai dapur. Dia juga mengambil kotak P3K untuk dibawa ke kamarnya mengingat luka Sojung tadi.
Namun, saat dia mau membuka pintu kamarnya, ternyata pintunya dikunci dari dalam. Dia tidak bisa masuk, jadi dia mengetuk pintu dan memanggil Sojung. "Jung, kok pintunya dikunci?"
Tidak ada jawaban, sama sekali. Lalu Seokjin bersuara untuk kedua kalinya, "Kamu nggak mau aku masuk? Marah sama aku? Nggak mau tidur sama aku?"
Lagi-lagi, Seokjin tidak mendapat respon apapun dari dalam.
"Seenggaknya buka dulu pintunya, lukanya diobatin dulu."
Sampai sekarang Sojung juga tidak meresponnya sama sekali. "Jung ...."
Akhirnya, Seokjin menyerah. Dia menghembuskan napas panjang nan berat. Dia kembali turun ke bawah, melemparkan kotak P3K-nya di atas meja.
Seokjin membuka kemejanya, menyisakan kaus oblong berwarna putih di badannya. Dia melepas sepatu, tanpa melepas kaus kakinya. Kemudian dia merebahkan tubuhnya di atas sofa, melipat kedua tangannya di depan dada, kemudian memejamkan mata hingga terlelap.
― ♡ ―
A/N:
'kan ribut lagi, 'kan ....😌
mama sojung sensitif banget sih:(
![](https://img.wattpad.com/cover/248583223-288-k918292.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] Emotions; Sowjin
Fanfic#1 ― Sojung #1 ― Sowjin [Sowjin ― Semi Baku] [Sequel of Pak Seokjin] [Slice of Life] Seokjin dan Sojung akhirnya menikah. Setelah menikah tentu saja mereka harus siap menghadapi setiap lika-liku dan hiruk-pikuk rumah tangga. Seokjin yang memang leb...