🕊. ―twenty first

181 31 8
                                    

Hari-hari berlalu begitu saja. Kehidupan Sojung sebenarnya sedikit berubah. Lantaran hampir setiap malam, ada yang menemaninya lewat pesan pribadi. Tidak lain dan tidak bukan, adalah Wilson.

Melihat perubahan istrinya, Seokjin jelas saja cemburu. Namun, laki-laki itu sama sekali tidak mau dan tidak tertarik untuk berkata terus terang pada Sojung.

Kali ini dia melepas kaca matanya, dia merebahkan diri di kasur. Kepalanya dia letakkan di atas guling saat posisi badannya menyamping. Pria itu kemudian melirih, memanggil nama istrinya. "Sojung ...."

Sojung yang tadinya sedang bahagia, tersenyum dan tertawa tidak jelas di depan layar ponselnya, lantas beralih menatap suaminya. Dia menghela napas, sebenarnya tidak ada unsur jengah ataupun terpaksa, tapi Sojung menghela napasnya karena dia sadar ... suaminya butuh perhatiannya malam ini.

Tanpa pikir panjang dia lantas meletakkan ponselnya di atas nakas. Kemudian memiringkan badannya―menyesuaikan posisinya dengan posisi perutnya yang kian hari kian membesar―dia membelai halus rambut Seokjin sambil berkata, "Kenapa, Sayang?"

"Nggak pa-pa, pengen manggil kamu aja," jawab Seokjin.

Sojung tertawa gemas. Dia tahu, suaminya sedang berbohong sekarang. Tapi daripada menggoda suaminya, Sojung lebih tertarik untuk mengajak Seokjin berbincang tentang apa yang telah terjadi hari ini.

"Hari ini capek banget? Tadi di kampus ngapain aja?" tanya Sojung.

"Selain ngajar, aku juga tadi ngurus berkas ini-itu. Lumayan capek sih emang ... tapi ya gimana lagi, udah kewajibanku 'kan kayak gini?"

Sojung tertawa pelan, dia mengusap-usap bahu suaminya sambil berkata, "Hebat ya suamiku, mau kerja keras demi keluarga."

Seokjin tersenyum, dia juga meraih tangan Sojung yang tadi mengusap-usap bahunya setelah itu dia cium punggung tangan istrinya. Sementara Sojung yang merasa diperlakukan manis oleh suaminya tersipu malu.

"Udah malem, kamu nggak mau tidur, Sayang?" tanya Seokjin.

"Iya, ini mau tidur," jawab Sojung. "Besok kamu jadi nganter Fany study tour 'kan?"

"Jadi dong," jawab Seokjin.

Sojung sambil membenarkan posisinya kembali. Dia merebahkan tubuhnya, tapi tak memutus kontak bicara dengan Seokjin.

"Kamu jangan nakal ya di sini?" pesan Seokjin pada istrinya.

"Iya, nggak," kata Sojung sambil terkekeh.

"Kalau mau keluar, ke rumah Ibu aja, ya? Jangan pergi jauh-jauh, sore atau malemnya paling aku udah pulang," tambah Seokjin lagi.

"Iya, Papa. Janji kok nggak akan kemana-mana," kata Sojung sambil menggoda suaminya.

Setidaknya, kalimat yang baru saja Seokjin dengar itu sedikit membantu ketenangan hati dan pikirannya yang dari tadi tidak berjalan sesuai dengan yang seharusnya.

Sojung sudah menyiapkan banyak bekal makanan untuk Seokjin dan Fany pagi-pagi sekali. Seokjin dan Fany juga sudah mulai bersiap lebih awal dari yang biasanya.

Setelah dia menyelesaikan tugasnya, membuat banyak makanan untuk bekal suami dan anaknya, Sojung langsung membawa kotak-kotak bekal itu ke dalam mobil. Wanita itu meletakkan tas khusus berisi kotak bekal serta beberapa makanan ringan di dalam bagasi mobil.

Berikutnya dia juga disusul oleh Seokjin yang memasukkan tas kecil berisi keperluan Fany dan dirinya―seperti kamera untuk memotret hal-hal yang menarik untuknya selama dia menemani anaknya belajar kunjungan.

"Mau berangkat sekarang?" tanya Sojung sambil memegangi perutnya dan matanya terus menatap Seokjin yang menutup bagasi mobilnya.

"Kayaknya nggak pa-pa ya berangkat sekarang aja? Daripada nanti kita kena macet di jalan," jawab Seokjin.

"Yaudah, aku panggil Fany dulu, ya?" Sojung lantas berjalan masuk kembali ke rumah. Dia memanggil gadis kecilnya, merapikan rambut dan penampilan Fany sebentar sebelum akhirnya menggandeng anak itu keluar.

Usai mengunci pintu rumah dan menutup pagar rumahnya, Sojung mengantar Fany ke bagian kursi belakang penumpang, sementara dirinya duduk di samping kursi pengemudi; di samping suaminya.

Selama mobil berjalan, sebenarnya hati wanita itu mulai tidak tenang. Lambat laun kegelisahan menghampirinya, rasa sendu dan sedih perlahan datang menyesakkan dada.

Sojung tahu, suaminya hanya akan pergi sebentar. Tapi rasanya ini berat sekali. Padahal kalau dipikir-pikir, ini sama saja seperti Sojung yang ditinggal Seokjin untuk bekerja. Seokjin pergi pagi dan akan kembali pada malam hari.

Namun, bedanya kali ini Seokjin pergi bersama Fany berdua. Mereka akan bersenang-senang sambil Fany belajar hal-hal baru dan ya ... tentu saja, mereka melakukan itu tanpa Sojung.

Barangkali memang hal itu yang memberatkan hati Sojung sekarang.

Begitu semuanya sudah turun dari mobil, termasuk tas perlengkapan dan keperluan milik Seokjin dan Fany, Sojung berusaha menutupi rasa sedihnya. Dia menekuk lulutnya di hadapan Fany, sambil menggenggam tangan mungil gadis itu, Sojung berkata, "Nanti jangan nakal, ya? Denger kata Ibu Guru sama Papa ... pokoknya Fany nanti jangan jauh-jauh dari temen-temen yang lain. Ya?"

Gadis kecil itu mengangguk. Akhirnya Fany memeluk Sojung dengan erat dan hangat. Sojung juga meloloskan air matanya. Tidak bisa, dia tidak bisa lagi menahannya.

Tidak mau berlama-lama dipeluk Fany karena terus merasa sedih, akhirnya Sojung meregangkan pelukannya. Dia mencium kedua pipi anak itu sebelum akhirnya beralih pada suaminya.

Senyuman yang sebisa mungkin ia ukir untuk menutupi kesedihannya di hadapan Seokjin, tidak lantas membuat suaminya itu tertipu. Seokjin menariknya ke dalam pelukannya. Di situ Sojung sempat menangis dengan terus terang, tapi dengan cepat dia selesaikan dan dia ganti dengan tawa kekehan karena tak mau membuat Seokjin nanti terus berpikir tentang dirinya.

"Jagain Fany, ya? Jangan asik sendiri nanti," pesan Sojung.

Seokjin tertawa dan menghapus air mata yang hanya sempat berada di ujung matanya. Dia menekuk lututnya juga, kemudian berbicara pada perut Sojung. "Jagain Mama, ya? Jangan sampe dia kenapa-napa waktu Papa sama Kak Fany pergi. Hati-hati di sini," katanya sebelum akhirnya mengecup perut Sojung beberapa kali.

Begitu Seokjin kembali berdiri, Sojung mengusap dan sedikit menepuk bahu suaminya. "Udah sana, gabung sama yang lain. Aku mau pulang dulu."

Seokjin mengangguk, dia memberikan kunci mobilnya untuk Sojung bawa pulang. Wanita itu menerima dan sekali lagi berkata, "Nanti kalau bisnya udah jalan, kabarin aku, ya?"

Seokjin mengangguk. "Kamu juga kalau udah sampe rumah, kabarin aku," balas Seokjin. "Nanti kalau aku sama Fany lagi istirahat, kita pasti telfon kamu."

"Iya, aku tunggu, ya," final Sojung. Sebelum dia kembali ke mobilnya, Sojung mencolek gemas pipi anaknya sambil berkata, "Have fun, Sayang! Mama pulang dulu, ya?"

Fany mengangguk, dia melihat bagaimana Ibunya berjalan mengitari mobil sebelum akhirnya masuk dan mengendarai mobilnya. "Bye, Mama!" Fany melambaikan tangannya, Seokjin juga begitu.

Dari dalam mobil rupanya Sojung juga membalas lambaian tangan keduanya, dan memberikan ciuman jarak jauh perpisahan untuk keduanya yang akan pergi hari ini.

― ♡ ―

A/N:
met malam minggu, ayo tekan bintangnya biar updatenya nggak lama-lama lagi, ihiy

[2] Emotions; Sowjin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang