🕊. ―seventh

277 42 3
                                    

Sojung pikir, hari ini adalah waktunya. Tapi ternyata, dia belum juga datang bulan. Rasa mulas pre-menstruasi pun belum ia rasakan. Sojung berpikir, mungkin beberapa hari lagi.

Sojung mencepol rambutnya, kemudian memakai apronnya. Usai membangunkan Seokjin dan Fany tadi, dia sekarang bersiap berkutat dengan alat-alat dapur.

Ini sudah hari ke enam Sojung menjalankan aktivitas sebagai ibu rumah tangga yang sebenarnya, tanpa pengawasan dari Ibu mertuanya. Meski ada keinginan untuk melanjutkan karirnya, setidaknya satu tahun ini dia akan mengabdikan dirinya secara penuh kepada Seokjin dan keluarga kecilnya.

Saat bunyi langkah kaki terdengar, Sojung sudah menebak bahwa yang datang adalah Seokjin. Dia merasakan saat pinggangnya perlahan dilingkari tangan besar, dan pundaknya diberi beban seberat kepala Seokjin.

Usilnya, Seokjin malah mengendus dan mengecupi leher Sojung tanpa izin. Sampai sang empu dibuat geli karenanya. "Kamu jangan usil gitu, ah! Aku lagi masak telur."

"Kecilin dulu apinya, Jung. Sama aku dulu sebentar," pinta Seokjin.

Sojung dengan terpaksa menuruti keinginan bayi besarnya. Dia memutar badannya ke belakang dan menatap Seokjin kemudian bertanya, "Kenapa si, bayi besarku?"

"Aku belum kamu kasih morning kiss hari ini," kata Seokjin. "Sekarang, ya?"

Sojung menghembuskan napas sebentar. Kemudian tersenyum lalu berkata iya pada Seokjin. Mereka mengikis jarak, sampai bibir mereka bertemu dan saling merasakan satu sama lain.

Lima menit kemudian, keduanya menyudahi ciuman yang baru saja mereka lakukan. Seokjin tersenyum, sementara Sojung yang masih merasa malu langsung membalikkan badan lagi. Dia melanjutkan aktivitasnya membuat telur untuk isian sandwich pagi ini.

"Udah, kamu duduk aja sana. Jangan ngeliatin aku terus," kata Sojung tanpa menoleh.

"Kamu nggak mau aku bantuin?" tanya Seokjin. "Tinggal disusun doang 'kan sama rotinya?"

Melihat Seokjin merubah posisi menjadi di sampingnya, terlebih pria itu menggulung kemeja lengan panjangnya, Sojung langsung berkata. "Nggak usah, Sayang! Nanti kemeja kamu kotor kena saus."

"Nggak pa-pa, aku mau bantu istri aku. Sekarang apronnya sini aku minta. Kamu liat Fany aja sana di kamarnya, ajak ke sini kalau udah selesai siap-siap," kata Seokjin.

Entah Seokjin yang memang ceroboh atau bagaimana. Saus yang tadinya diam di atas meja, tiba-tiba saat Seokjin pegang malah jatuh dan mengenai kemejanya.

Sojung yang melihatnya lantas mendadak naik darah. Hampir marah, namun Sojung masih bisa menahannya. "Udah kubilang 'kan. Nggak usah bantuin aku, aku bisa sendiri kok!"

"Niatku baik kok, mau bantu kamu. Masa nggak dibolehin?" tanya Seokjin.

Sojung membalas lagi. "Ngotorin kemeja, yang bahkan belum dipake satu jam itu namanya ngebantu aku? Udah ah, kamu mah dibilangin ngeyel! Kalau aku bilang nggak usah, berarti nggak usah! Ini kalau kayak begini namanya kamu nambah-nambahin pekerjaan aku, bukan ngeringanin!"

"Ya aku minta maaf. Aku 'kan nggak tau kalau akhirnya bakal kayak gini," kata Seokjin.

"Ya makanya kalau dibilangin sekali itu ngerti! Nggak usah sok-sok gitu deh, nggak suka aku!" final Sojung yang akhirnya membuat Seokjin memutus perdebatan. Dia pergi, meninggalkan istrinya sendiri saat istrinya itu sudah selesai mengomel.

― ♡ ―

Sojung membukakan pintu untuk suaminya. Tak terasa, malam sudah kembali menyapa. Bulan ditemani bintang sudah bersinar terang di atas langit yang gemerlap.

Seokjin memberikan istrinya es krim, sebagai bentuk permintaan maafnya atas kecerobohannya tadi pagi. "Maaf ya, buat kecerobohanku tadi pagi."

Sojung mengangguk, tapi dia tak menerima es krim pemberian Sojung. "Aku lagi nggak makan es krim."

"Tapi ini es krim kesukaan kamu, masa nggak mau cobain sedikit aja," bujuk Seokjin. "Aku beli ini pake uang loh, masa es krimnya sia-sia begitu aja."

"Emang aku ada minta kamu buat beliin aku es krim?" tanya Sojung. "Kalau kamu takut itu es krim sia-sia, ya kamu makan aja sendiri. Kamu 'kan yang beli, bukan aku!"

"Kamu ini kenapa sih? Aku salah aja terus di mata kamu hari ini," protes Seokjin yang mulai jengkel dengan sikap Sojung.

"Kenapa tanya aku? Ketauan kamu yang aneh. Nggak bisa ngendaliin diri kamu, udah ceroboh, nyinyia-in es krim yang ujung-ujungnya aku disalahin karena nggak mau nerima es krim dari kamu," balas Sojung.

"Ya lagian apa susahnya sih, Jung, nerima es krim pemberian suami kamu? Kalau emang kamu lagi nggak makan es krim hari ini, bilang terimakasih terus simpen di kulkas 'kan bisa. Kalau kayak gini aku 'kan juga bisa tersinggung, Jung," kata Seokjin lagi.

"Kalau kamu masih gampang tersinggung sama istri kamu, harusnya kamu nggak ngajak aku nikah kemarin! Aku marah kayak gini aja kamu ikut marah, kesinggung. Gimana nanti waktu aku hamil? Emosiku tambah meledak-ledak. Kamu bisa nggak jamin kalau rumah tangga kita bakal baik-baik aja?"

Seokjin mendecak, di dalam hati dia mengumpat. Dia bersumpah, dia tidak mau melanjutkan perdebatan. Dia lantas berkata, "Udahlah, es krimnya aku kasih Fany aja." Seokjin keluar dari kamarnya. Lagi-lagi meninggalkan Sojung karena tidak mau melanjutkan perdebatan.

Pria itu menarik napasnya dalam-dalam. Pikirannya kacau, namun sebisa mungkin Seokjin harus bisa mengendalikannya.

Saat masuk ke dalam kamar Fany, dia terpaku di ambang pintu. Senyumannya merekah, ketika melihat wajah innocent Fany yang tertidur lelap.

Enggan mengganggu tidur anak itu, akhirnya Seokjin berjalan ke arah dapur dan menyimpan es krim yang tadi ia beli di freezer.

Selesai itu, Seokjin kembali ke kamarnya. Lampunya sudah mati, hanya lampu tidur yang masih menyala, tidak seperti tadi saat pertama kali dia pulang kerja.

Pelan-pelan dia naik ke atas ranjang. Tak ingin mengusik kenyamanan istrinya yang mungkin sudah tidur saat ini.

― ♡ ―

Paginya, Seokjin cukup terkejut ketika Sojung memeluknya dengan erat. Wanita itu yang tahu bahwa suaminya sudah bangun lantas berdehem. "Maafin aku," lirihnya.

Seokjin tak meresponnya dengan ucapan, tapi tangannya bergegas merangkul badan Sojung dan membelai halus rambut Sojung dengan penuh kasih sayang.

"Beberapa hari ini aku tuh telat datang bulan. Mungkin kemarin aku marah-marah karena sindrome pra-menstruasi, emosiku emang suka nggak stabil kalau lagi kayak gini," curah Sojung. "Maafin aku ...."

Seokjin yang mendengar suara istrinya seperti sedang menangis, lantas langsung menenangkannya. "Hei, nggak pa-pa. Nggak usah nangis. Hal-hal kayak gini itu biasa dalam rumah tangga. Nggak usah merasa bersalah, aku udah maafin kamu kok."

"Tapi aku masih merasa bersalah," kata Sojung. "Aku kurang ajar, marah-marah sama suami aku sendiri. Itu 'kan nggak pantes."

"Aku tau itu nggak pantes," kata Seokjin. "Tapi kamu marah-marah 'kan bukan karena kamu yang pengen, tapi karena tekanan hormon kamu yang nggak stabil. Aku maklum kok, Sayang. Sekali lagi aku bilang, aku nggak pa-pa, aku maafin kamu."

Sojung akhirnya mendongakkan kepala, menatap mata suaminya. Kedua mata itu bertemu, dan akhirnya Sojung kembali tersenyum setelah suasana hatinya kacau karena rasa bersalah.

"Hari ini libur ... kita di rumah aja, ya? Main bareng, quality time sama Fany," kata Seokjin.

"Iya," balas Sojung setuju.

― ♡ ―

A/N:
Enak ya jadi Fany, dapet Mama Papa yang perhatian:( Modelan Sojung sama Seokjin lagi. AKSKSAKAKAKA

[2] Emotions; Sowjin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang