🕊. ―fifty sixth

192 31 8
                                    

Begitu mobil tiba, Sojung langsung berlari untuk segera masuk. Dia duduk, dibantu Seokjin untuk memasang sabuk pengamannya. Perhatiannya tak lepas dari wajah Hani, wajahnya sudah dipenuhi air mata, sedih sekali Sojung melihatnya.

"Sabar ya, Sayang. Sebentar lagi kita jalan ke rumah sakit," ujar Sojung, dengan intonasi lembut, sedikit terdengar pilu karena dia tak bisa menipu perasaannya saat ini.

Sambil menekan pedal gas dan mengarahkan setir kemudi, Seokjin mencoba untuk membuat istrinya tidak panik. Dia meraih tangan Sojung, kemudian menggenggamnya dengan erat.

Sojung yang mendapat rasa itu, lantas perlahan menoleh menatap Seokjin. Pria itu rupanya tak memerhatikannya, melainkan fokus pada jalan di depan. Sojung lagi-lagi tak bisa membohongi perasaannya. Dia menarik kedua sudut bibirnya ke atas diam-diam, lalu menyematkan jari-jarinya di antara jemari Seokjin yang sebelumnya menggenggam sangat erat.

Ayah anak satu itu spontan menatap Sojung, tapi pandangan wanitanya itu sudah beralih lagi. Istrinya sudah kembali pada fokusnya, melihat betapa sedihnya Hani yang kini mulai meredakan tangisannya.

"Hani mungkin cuma kaget, karena kepalanya kebentur. Tapi kita harus tetep ke rumah sakit, buat mastiin kalau Hani emang nggak pa-pa," ujar Seokjin untuk menarik perhatian Sojung.

Mata mereka sempat bertemu beberapa detik, sebelum akhirnya Seokjin berpindah fokus lagi pada lajur jalanan di depan. Sojung menggunakan kesempatan itu, untuk berani berbicara tanpa menatap mata Seokjin. "Terimakasih. Kalau nggak ada kamu, saya nggak tau harus minta tolong siapa buat anter Hani ke rumah sakit."

Seokjin menarik kedua sudut bibirnya sambil menatap Sojung. "Selama palu belum diketuk, surat keputusan belum ditetapkan, kamu masih tanggung jawab saya ... dan Hani, akan selalu jadi prioritas saya. Hani darah daging saya, saya sayang sama dia."

Tangan Sojung ditarik, mendekat ke arah mulut Seokjin. Punggung tangannya dikecup, dengan penuh rasa kasih sayang. Bohong kalau Sojung bilang, hatinya tak tersentuh sekarang.

"Tenangin diri kamu, Jung. Sebentar lagi kita sampe di rumah sakit dan nggak lama lagi, kita akan tau kalau kondisi Hani beneran baik-baik aja," kata Seokjin yang setelahnya menarik pandangan ke arah depan lagi, menatap lajur jalan yang sebentar lagi akan membawanya tiba di rumah sakit.

― ♡ ―

Hani kembali ke pelukan Sojung, saat dokter dan perawat yang membantu selesai memberi penanganan pada bayi itu. Hati Sojung jauh lebih lega sekarang, Hani sudah benar-benar menghentikan tangisannya.

"Tidak apa-apa, tidak ada sesuatu yang serius terjadi pada Hani," ujar Dokter yang berdiri di hadapan Sojung dan juga Seokjin.

"Hani hanya terkejut," tambahnya. "Lain kali, sebelum menenangkan Hani, tenangkan dulu diri Ibu sendiri. Kalau Ibu panik, suasana hati Hani juga langsung berubah dan dia mungkin menangis kencang yang akhirnya membuat Ibu tambah panik."

Mendengar itu, Sojung langsung menunduk. Mungkin Dokter memang benar, dirinya terlalu panik tadi. Makanya, Hani yang seharusnya hanya menangis sementara, jadi menangis lebih lama karena Sojung juga sedang dalam kondisi emosi yang tidak stabil.

"Hani anak pertama?" lanjut tanya Dokter.

Seokjin mengangguk, pun mengucapkan kata, iya, setelahnya. Jemari tangannya diam-diam masuk dan tersemat di antara jemari sebelah tangan Sojung. "Hani anak pertama kami. Baru beberapa hari belakangan ini mulai belajar duduk. Istri saya selalu mengawasi, tapi hari ini mungkin bukan hari yang beruntung untuk Hani. Anak itu jatuh ke belakang, kepalanya terbentur dan ... Hani menangis sangat kencang."

[2] Emotions; Sowjin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang