🕊. ―sixth

282 44 1
                                    

Hari-hari berlalu sebagaimana yang seharusnya. Seokjin yang sibuk mengajar di hari senin sampai jum'at, Fany yang juga sibuk belajar di sekolahnya. Sementara Sojung, dia di rumah membantu Ibu mertuanya. Menyelesaikan pesanan jahitan, mengurus segala pekerjaan rumah, serta hal lain yang sekiranya bisa dia bantu.

Mereka semua menjalani aktivitasnya dengan senang hati, lapang dada, tanpa terpaksa. Hingga tak terasa sudah dua minggu waktu berjalan, terhitung sampai minggu ini.

"Bu, saya 'kan waktu itu udah beli rumah ya. Buat saya sama keluarga saya. Minggu kemarin saya udah bilang sama Ibu, saya udah punya rencana buat pindah ke rumah itu," jelas Seokjin pada Ibunya ketika mereka semua anggota keluarga yang ada di rumah ini berkumpul di ruang keluarga.

"Iya, terus?"

"Rencana, besok saya mau pindah. Berhubung barang-barang di sana juga udah lengkap, kami juga tinggal bawa pakaian aja, jadi nggak usah bawa apa-apa lagi dari sini," sambung jelas Seokjin.

"Beneran nggak mau bawa barang apapun dari sini?" tanya Ibu Seokjin.

"Seokjin udah beli semuanya kok, Bu. Kita tinggal bawa pakaian aja, rumahnya udah siap huni banget. Kemarin habis bersih-bersih juga saya sama Seokjin," timpal Sojung.

"Yaudah ... Ibu mah gimana kaliannya aja," kata Ibu Seokjin. "Ibu paham, keluarga kalian juga butuh privasi. Ibu seneng, Ibu bangga, akhirnya anak Ibu bisa beli rumah yang nyaman buat keluarganya tinggal. Pake uang dari hasil kerja kerasnya sendiri lagi."

"Iya," sahut Sojung setuju. "Saya juga bangga, beruntung banget saya bisa jadi perempuan terakhir yang dia pilih."

"Sayang, kamu mah jangan gitu. Nanti aku nangis terharu gimana?" Seokjin protes pada istrinya, karena tiba-tiba hatinya dibuat bergetar dengan kalimat yang baru saja perempuan itu ucapkan. "Kalau aku makin cinta sama kamu gimana?"

Fany yang baru mendengarnya dengan sengaja berakting seperti sedang mual. Dia menatap ke arah Papanya setengah tertawa. "Ah, Papa mah senengnya gombal terus ke Mama Sojung!"

"Tau ya, Fan? Seneng banget kayaknya Papa ngegombalin Mama," sahut Sojung.

"Ya biarin, Mama 'kan punyanya Papa," kata Seokjin.

Fany buru-buru berlari ke pelukan Sojung. "Nggak! Mama punya Fany! Wlekk!" Gadis kecil itu menjulurkan lidahnya, meledek Ayahnya.

"Iya, deh. Dibagi dua nanti Mama Sojung," gurau Seokjin yang setelahnya mendapat pukulan ringan dari Sojung. "Masa aku dibagi dua sih?!"

― ♡ ―

Sojung, Ibu mertuanya, suaminya bahkan anak sambungnya, datang ke rumah baru yang akan keluarganya tinggali.

Tangannya tak pernah lepas dari genggaman sang suami. Mereka masuk bersama, dan duduk di sofa bersama.

"Udah bersih, 'kan, Bu?" tanya Seokjin pada Ibunya.

"Iya," jawab Ibu Seokjin. "Isinya juga udah lengkap ya kayaknya."

"Malem ini Ibu nginep di sini, ya? Sekalian ngerasain vibes rumah barunya," bujuk Sojung. "Besok pagi pulangnya, dianter Seokjin sekalian dia berangkat ke kampus."

Ibu Seokjin menimbang-nimbang keputusannya, setelahnya dia mengangguk. "Iya deh, Ibu tidur di sini. Nanti Ibu pinjem baju kamu buat salin ya, Jung?"

"Iya, Bu. Gampang kok itu mah," jawab Sojung.

Kemudian mereka lanjut menjelajahi ruangan demi ruangan rumah baru yang dibeli Seokjin dan akan ditinggali mulai hari ini. Kegiatan mereka berlanjut, sampai akhirnya waktu makan malam tiba.

Dibantu Ibu mertuanya, Sojung menata dan mengatur menu makan malam yang sengaja mereka pesan. Selain karena alat-alat masak yang belum lengkap dan rapih, bahan masakan bahkan bumbu masakan pun belum sempat Sojung beli.

Walau makan masakan yang tidak dibuat sendiri di rumah, mereka semua tetap menyantap menu makanan dengan lahap. Sojung malah yang paling bersemangat untuk menghabiskan makanan di sini.

Ibu Seokjin memperhatikannya, sedaritadi. Dia tertawa sesekali karena bingung sekaligus merasa lucu melihat Sojung.

"Nggak tau perasaan Ibu aja, atau emang beneran kenyataannya ya, Jung ... tapi, Ibu perhatiin pipi kamu makin chubby loh, Jung," ujar Ibu Seokjin, memulai obrolan.

Mendengar itu Seokjin tertawa, dia menghabiskan sisa makanan yang ada di mulutnya sebelum menyahut, "Ya gimana nggak chubby, orang kalau makan aja lahap banget. Waktu bulan madu aja dia banyak banget jajan makanan."

"Yeee ... kayak kamu nggak pernah minta aja kalau aku jajan!" protes Sojung pada suaminya. "Lagian kalau aku chubby, kamu udah nggak sayang lagi gitu sama aku? Udah mau cari perempuan lain yang lebih tirus, yang lebih kurus dari aku?!"

Seokjin tertawa lagi. "Aduh, nggak gitu, Sayang. Mau kamu chubby, mau kamu tirus, gendut apa nggak ... aku nggak peduli. Aku 'kan udah pernah bilang, aku berhenti di kamu, kamu perempuan terakhir yang aku pilih."

Sojung menatap Ibu mertuanya, tatapannya seolah mengartikan bahwa Ibu Seokjin harus segera memerhatikan putranya juga. "Kelakuannya itu, Bu. Kalau udah berhasil bikin saya kesel, bikin saya marah, langsung ngeluarin kata-kata manis. Kata-kata yang enak didenger di telinga."

Tak berhenti di situ, Sojung melanjutkan kalimatnya lagi. "Dia pikir dia sukses bikin saya terbang? Bikin saya seneng? ... ya sukses lah, ya ampun! Bikin malu, huhu ...." Sojung menutup mukanya dengan kedua tangan.

Sontak aksinya itu mengundang tawa semuanya. Seokjin, Ibu Seokjin, bahkan Fany pun ikut tertawa. Anak itu juga menanggapi, "Papa sama Mama berantem mulu! Kayak tom and jerry!"

"Iya, Papa yang jadi Tom!" ujar Sojung sambil tertawa. "Yang kurang kerjaan, ngejar-ngejar tikus kecil sampe ke kolong meja."

"Loh, mana ada Tom yang kayak Papa? Yang ganteng, yang keren, cerdas, berwibawa, penuh pesona dan aura dewasa," ujar Seokjin menyombongkan dirinya.

"Loh, dipikir ada gitu Jerry yang kayak Mama?" Sojung ikut membalas, tak mau kalah. "Yang cantik, pengertian, penyayang, poin pentingnya SABAR menghadapi tingkah laku suaminya yang sering banget MENYEBALKAN kayak sekarang!"

Fany kembali tertawa puas. Ibu Seokjin bahkan sampai tersedak karena tak kuat menahan tawa. Dia kemudian berkata, "Aduh, susah ya kalau suami sama istri kelakuannya sebelas - dua belas! Kalian bisa nggak sih akur? Udah jadi suami - istri, masa masih begini?"

"Ibu 'kan tau saya anaknya gimana," kata Seokjin. "Saya kayak gini pasti karena faktor luar. Kayak dia ini." Seokjin menunjuk Sojung yang duduk di sampingnya dengan gerakan mata.

Sojung yang tahu, tak segan untuk menepuk bahu Seokjin. "Gitu ya, kamu! Oke! Nanti malem nggak usah tidur sama aku! Aku mau tidur sama Fany aja!"

Seokjin spontan menatap Sojung. Dia tertawa sambil merayu istrinya. Namun, Sojung tetep kekeuh pada keputusannya. "Nggak! Pokoknya nanti malem aku tidur sama Ibu, sama Fany. Kamu ... tidur di mana kek, aku nggak peduli!"

"Ah, kamu mah gitu sama aku. Masa tega banget sih nggak ngebolehin suaminya tidur di dalem kamar?"

"Ya siapa yang nggak bolehin? Kamu bisa tuh pake kamar yang nantinya bakal ditempatin sama Fany," kata Sojung.

"Tapi aku maunya satu ranjang sama kamu. Kita 'kan suami-istri," balas Seokjin.

"Nggak, ya! Aku lagi ngambek sama kamu!"

"Sayang, maafin aku ...."

"Oke, aku maafin. Tapi tetep ya, malem ini aku mau tidur sama Fany dan Ibu! Bye maksimal!" Sojung bangun dari kursi makannya dan berjalan ke arah kamarnya. Saat berbalik, sebenarnya dia tertawa, karena Seokjin benar-benar terlihat khawatir saat Sojung menolak untuk tidur satu ranjang dengannya malam ini.

― ♡ ―

A/N:
WADO, SI MAMAK. JAGO JUGA NGEPRANKNYA. XIXI

[2] Emotions; Sowjin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang