🕊. ―fifty seventh

230 29 19
                                    

Hari ini adalah hari yang sibuk. Sojung harus mengurus Hani, mengantar berkas dan bekal Ayahnya yang tertinggal. Juga ... membantu Ibunya mengurus rumah dan taman halaman belakang.

Dia menatap Hani yang tertidur di sampingnya. Tinggal sepuluh hari lagi ... menuju hari sidang perceraian orang tua bayi enam bulan itu. Sojung merasa suasana hatinya tak baik-baik saja, kalau harus mengingat keputusan ini adalah keputusan yang baik ... atau malah sebaliknya.

Rasanya Sojung tidak mau peduli lagi. Walau mungkin keputusan ini bukan keputusan yang terbaik, setidaknya tekadnya pernah bulat untuk menuntut perceraian pada laki-laki itu. Seokjin pernah melukainya ... hal itu yang menjadi keyakinan Sojung bahwa keputusannya ini sama sekali tidak salah.

Dering ponsel di atas nakas membuat lamunan Sojung buyar. Dia mengambil ponselnya tanpa mengubah posisinya―yang duduk di atas ranjang sambil bersandar pada kepala tempat tidur.

"Halo, Bu?" Sojung langsung menyapa sesaat ia menerima panggilan dari Ibu mertuanya.

"Halo, Jung. Ibu ganggu nggak, ya? Kamu lagi ngapain?"

Sojung menggeleng, walau ia tahu Ibu mertuanya tak bisa melihat itu. "Nggak, Bu. Saya lagi duduk aja di atas ranjang, sambil nemenin Hani yang lagi tidur."

"Oh, Hani udah tidur?"

"Iya. Tadi puas banget mainnya, makanya sekarang tidurnya lebih awal," jawab Sojung. "Ngomong-ngomong, ada apa, Bu? Ada yang bisa saya bantu atau Ibu mau nyampein sesuatu?"

Ibu Seokjin terkekeh di sebrang sana. Terdengar sedikit getaran keraguan dari suara kekehannya itu. "Ini ... Ibu sebenernya mau minta tolong sama kamu. Bisa?"

Sojung mengangkat kedua alisnya, belum mengerti apa maksud yang Ibu mertuanya ajukan. Apa ini ... ada hubungannya dengan perceraiannya? Ibu Seokjin ... berusaha memengaruhinya?

Tapi dari pada harus menduga hal yang belum tentu benar, Sojung memilih untuk menegaskan maksud dari kalimat yang Ibu Seokjin ucapkan. "Minta tolong apa ya, Bu? Boleh langsung terus terang aja?"

"Jadi wali Fany di acara sekolah. Kamu mau―ah, maksud Ibu ... apa kamu bisa? Kamu ada waktu?"

Sojung menarik kedua sudut bibirnya saat tahu yang Ibu mertuanya bicarakan bukan tentang perceraiannya dengan Seokjin. "Bisa ... saya usahain bisa. Emangnya ada acara apa Bu, di sekolah Fany?"

"Festival seni musik," jawab Ibu Seokjin di sebrang sana. "Fany nanti main piano di sana, Jung. Tapi dia bilang, dia nggak mau dateng kalau bukan kamu yang temenin dia. Dia juga bilang kalau dia kangen sama kamu."

Sojung menarik napasnya. Lagi-lagi dia bermain dengan kuku-kukunya, alih-alih menanggapi kalimat terakhir yang Ibu mertuanya ucapkan. Kalimat terakhir itu ... yang sejujurnya terasa sedikit mengganggu hatinya.

"Jung? Jadi gimana? Apa kamu bisa, sabtu ini jadi walinya Fany? Temenin Fany untuk tampil main piano di acara itu?"

"Eh ... bisa kok, Bu. Lusa, saya akan ke rumah Ibu buat pergi sama Fany ke sekolahnya."

"Makasih ya, Jung? Ibu seneng banget dengernya." Ibu Seokjin langsung beralih, setelah menyelesaikan kalimatnya yang tadi. "Ibu tutup telfonnya, ya?"

"Tunggu, Bu." Sojung mencegah. "Bilangin juga sama Fany, kalau ... Mama Sojung, juga kangen sama Fany."

― ♡ ―

Sojung turun dari mobil, dia menutup dan mengunci pintu mobilnya sementara. Saat dia masuk ke dalam rumah Ibu mertuanya, ternyata suaminya juga ada di situ. Dia menggaruk kupingnya lantaran merasa kikuk, namun setelah menghembuskan napas, Sojung memberanikan diri untuk masuk dan bertemu dengan Seokjin lagi.

[2] Emotions; Sowjin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang