🕊. ―fifty first

182 34 20
                                    

Seokjin masuk ke dalam rumahnya. Dia meletakkan tas yang merupakan bekal keperluan Hani yang diberikan Sojung di atas meja. Lalu pria itu mendudukkan dirinya di atas sofa.

"Udah sampe di rumah kita," ujar Seokjin pada bayi manisnya. Benar apa yang Sojung dan yang lainnya bilang, bahwa rupa wajah Hani benar-benar mirip dengan dirinya.

Seokjin serasa berkaca. Dirinya hadir dalam versi perempuan. Meski tak sama seratus persen, proporsi wajah Seokjin lebih mendominasi wajah Hani dibanding wajah istrinya; Sojung.

"Malem ini, Hani tidur sama Papa, ya?" Seokjin menatap wajah polos bayinya itu dengan penuh cinta. "Papa kangen banget tau sama Hani. Hani kangen Papa, nggak?"

Bayi itu hanya menarik kedua sudut bibirnya, sambil memasukkan ibu jarinya ke dalam mulut. Dengan sigap, Seokjin mencegahnya. "Nggak boleh dong, Sayang. Kotor tanganmu itu. Jangan masukin tangan ke mulut, ya?"

Anak itu menghilangkan senyum cerianya. Wajahnya sekarang justru mengekspresikan kesedihan. Dia menangis kencang tiba-tiba. Mungkin dia marah, karena Seokjin mengganggunya. Ayahnya itu tak membiarkan dia melakukan apa yang dia inginkan.

"Ya ampun, Sayang." Seokjin terkekeh sambil bangun dari posisi duduknya. Dia memposisikan kepala Hani di pundaknya, lalu mengusap-usap punggung Hani supaya bayi itu menghentikan tangisannya.

"Papa minta maaf, ya?" Seokjin berjalan, ke arah taman di belakang rumah. Barangkali, suasana di luar ruangan dapat membuat Hani tenang. "Kita main di taman. Hani mau? Nanti kita liat bunga yang dulu dirawat Mama. Jangan nangis lagi. Ya?"

Seokjin makin tertawa kala bayinya tak kunjung menunjukkan tanda-tanda bahwa dia akan menghentikan tangisannya. Alih-alih khawatir, Seokjin malah berpikir bahwa Hani menggemaskan kala dia menangis seperti sekarang.

"Astaga. Ternyata susah juga ya, ngebujuk kamu biar nggak nangis lagi."

Sedetik kemudian Hani menangis lebih kencang. Dia mungkin tahu bahwa Ayahnya ini sedang menjahilinya, menggodanya karena tak kunjung menghentikan tangisannya.

Seokjin yang memang mungkin tak mengerti perasaan anaknya malah makin tertawa. "Aduh, jangan nangis lagi dong, Sayang. Iya ... Papa minta maaf. Papa nggak akan iseng lagi."

Ajaib. Hani berhenti menangis saat Seokjin meminta maaf dan berjanji tak akan mengulangi perbuatannya. Seokjin benar-benar kagum, karena Hani dapat mengerti apa yang ia ucapkan.

"Aduh, anak Papa. Giliran Papa minta maaf, baru kamu mau berhenti nangis ...."

Hani sekarang menangis lagi. Seokjin tertawa, dia kembali mengeratkan pelukannya dan mengusap-usap punggung Hani agar bayi itu sedikit tenang. "Udah dong, Sayang. Iya, Papa janji nggak akan kayak gitu lagi. Yang tadi itu biar jadi yang terakhir. Maafin Papa, ya?"

Hani tak langsung menghentikan tangisannya seperti tadi. Namun, bayi itu sekarang mulai meredakan tangisannya.

Perlahan-lahan.

Sampai akhirnya Seokjin tahu, bahwa Hani tertidur dalam pelukannya.

Ngomong-ngomong, ini pencapaian terbesar Seokjin, berhasil membuat anaknya tertidur nyenyak dalam pelukannya. Seokjin bahagia, meski tak tahu kapan lagi dia bisa melakukan ini. Mengingat sebentar lagi dia dan istrinya resmi berpisah, dan Hani ikut bersama Ibunya; Sojung.

"Papa sayang Hani ...."

Sore hari di hari berikutnya, Seokjin menepati janjinya untuk mengantar Hani pulang. Dia sudah memeluk bayi itu dan meletakkan kepalanya di atas pundaknya. Dia menutup pintu mobil dan menguncinya, lalu berjalan masuk ke area rumah orang tua Sojung.

[2] Emotions; Sowjin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang