🕊. ―fifty second

193 31 13
                                    

Sojung turun sesaat setelah pamit dan berterimakasih pada Seokjin. Dia masuk ke dalam kafe sambil melepas jepit rambut yang tadinya ia pasang selama perjalanan. Dia merapikan rambutnya sambil berjalan, lalu berlari ke arah teman-temannya ketika mata wanita itu menemukan mereka.

Sojung memeluk mereka sambil berkata, "Wah, gila. Kangen banget, gue!"

Jisoo tertawa, sambil memerintahkan Sojung untuk mengambil tempat duduk. Saat wanita itu duduk, Jisoo lantas mencibir, "Ibu-ibu anak satu yang lahirannya caesar, udah bisa lari-lari ya sekarang."

Sojung tertawa. "Iya dong, gue! Coba kalau lo, sampe lima bulan setelahnya juga masih ngerengek sama suami lo, minta ini-itu," balas cibir Sojung.

"Sumpah, Hani udah lima bulan?" Nayeon menyambar usai menenggak latte hangat yang ia pesan. "Mana anaknya? Nggak lo bawa?"

"Sama papanya. Nggak tau diajak kemana, tapi nanti kalau gue mau pulang, dia balik lagi ke sini, buat ngejemput," balas Sojung.

"Aduh, temen-temen gue udah pada punya suami enak, ya. Jadi iri gue," keluh Nayeon di depan Sojung dan Nayeon.

Tak menanggapi Nayeon dahulu, Sojung memesan satu es americano pada pramusaji yang ia panggil ke mejanya.

"Makanya, cepet bilang ke pacar lo. Terus terang, kalau lo mau dia serius sama lo," kata Jisoo.

"Udah putus gue." Ucapan Nayeon barusan membuat Sojung yang baru saja menyelesaikan pesanannya melebarkan matanya terkejut.

"Nay, beneran?" tanya Sojung khawatir.

"Iya. Dia childish banget, gue rasa gue nggak bisa lagi sama dia. Udah males gue," cerita Nayeon.

"Asli? Ya ampun, Nay. Lo nggak pa-pa?" tanya Jisoo khawatir. Gadis yang sudah melepas masa lajangnya dengan menikahi seorang pemuda itu menatap sahabatnya dengan raut prihatin. Dia takut, hati Nayeon terluka lantaran gadis itu putus dengan mantan kekasihnya.

"Nggak pa-pa kali. Gue yang mutusin, masa gue yang galau?" Nayeon bersikap seolah dia baik-baik saja di hadapan teman-temannya. "Mati satu, tumbuh seribu."

"Gue juga mau pisah sama suami gue," celetuk Sojung yang membuat kedua sahabatnya itu menggebrak meja karena terlalu tiba-tiba. "Hah?!"

Sojung melipat kedua tangannya di depan dada, sambil mengangkat kedua bahunya. Gerak-geriknya seolah mengatakan bahwa dia bertanya, 'Kenapa?'

"Gila lo?" tanya Jisoo dengan raut wajah marah. "Jangan bercanda gitu, Jung! Nggak suka gue!"

"Nggak ada yang bercanda," jawab Sojung sambil tertawa kecil. Dia membantu pramusaji meletakkan pesanannya di atas meja. "Gue sama Seokjin emang mau pisah. Bulan depan sidang pertama."

Brak!

Nayeon menggebrak meja lagi sambil menatap Sojung dengan mata membola. "Orang tua kayak apa sih, lo? Anak baru lima bulan, kalian berdua malah mau pisah. Kalau udah gede, mental dia pasti beda sama anak-anak lain, Jung!"

Sojung tertawa getir. "Gue pisah pasti punya alesan lagi. Kayak lo sama mantan pacar lo," kata Sojung pada Nayeon.

"Whatever! Apapun alasan lo, lo nggak seharusnya nuntut perpisahan! Ayah sama Ibu lo, langgeng sampe lo punya anak. Masa Ayah sama Ibu Hani udah pisah waktu umur Hani masih lima bulan? Apa nggak sakit dia kalau tau kenyataan itu pas dewasa nanti," kata Nayeon. "Gue pisah wajar, dia bukan siapa-siapa gue, kecuali pacar pengisi waktu luang. Belum ada anak juga, jadi fine-fine aja kalau mau pisah."

"Lo harus pikir berkali-kali sebelum beneran pisah, Jung," kata Jisoo. "Kasian Hani. Emang rumah tangga kalian nggak bisa dipertahanin?"

Sojung menghela napas. Dia menenggak americanonya sebagian. Setelahnya dia melempar pandangan pada arah lain. Berusaha menahan dirinya untuk tidak menangis dan menceritakan permasalahan rumah tangganya pada teman-temannya.

"It's okay, kalau lo nggak mau sharing apa yang terjadi di rumah tangga lo. Kita berdua pun nggak akan ngerti gimana keadaan rumah tangga kalian, perasaan dan suasana yang kalian rasain. Tapi coba pikir satu kali lagi. Masa depan Hani ada di tangan kalian," kata Nayeon. Gadis itu tanpa sadar meloloskan air matanya.

"Ayah sama Ibu gue cerai waktu umur tiga tahun. Gue punya kakak, tapi kakak gue nggak pernah peduli sama gue." Jisoo bercerita tiba-tiba, berharap Sojung ingat bahwa nasib hidup Jisoo selama ini tidak berjalan sebagaimana yang seharusnya.

"Waktu jaman sekolah, gue selalu iri, sama anak-anak lain yang kalau ada acara di sekolah selalu bawa orang tua lengkap. Sementara gue, cuma sama Ayah. Dari situ akhirnya gue tau, gue beda sama anak-anak lain. Sempet ada rasa mau putus asa, berkali-kali, sampe akhirnya waktu kelas dua SMA, gue beraniin diri buat pergi ke psikolog." Jisoo menjeda, menghapus air matanya sebentar.

"Gue konsultasi, entah berapa jam. Habis itu gue langsung dirujuk ke psikiater ... gue divonis bipolar, gue harus minum obat-obatan, konsultasi sebulan tiga kali. Lo tau itu gara-gara apa? ... gara-gara gue selalu iri ngeliat anak-anak yang orang tuanya lengkap. Sementara orang tua gue ... nggak mikirin perasaan dan masa depan gue sama sekali."

Jisoo sekarang menangis. Karena sekilas mengingat kembali bagaimana rasa sakitnya waktu itu. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ketika dirasa cukup, Jisoo melanjutkan, "Jung, jangan jadi kayak orang tua gue ... please. Jangan biarin Hani jadi gue. Jadiin Hani kayak lo, yang dirawat di lingkup keluarga harmonis."

Sojung mengusap air di penghujung matanya saat hampir menetes. Dia menarik napas, kemudian menatap ke atas, sedikit mengangkat kepalanya. Terasa semakin berat. Beban pikirannya seolah bertambah.

Nayeon mengusap tangan Sojung yang ada di atas meja. Dengan senyumannya, Nayeon berusaha meyakinkan Sojung lagi. "Pertahanin apa yang masih bisa dipertahanin, demi masa depan yang baik. Kalau emang rumah tangga lo masih bisa dipertahanin, perbaikin dari sekarang. Diskusi berdua sama suami lo. Bukan buat kalian doang, kalian juga harus mikirin dampak apa yang kedepannya akan diterima Hani di masa depan."

Sojung menatap Nayeon tanpa merespon dengan hal lain. Dia diam, tapi pikiran dan hatinya terus berjalan ... dengan arah yang berbeda.

"Lo bisa nikah sama Seokjin, nggak dengan proses yang instant. Kalau bisa lo inget-inget, kenapa lo pernah sesuka itu sama dia, sebahagia itu kalau deket sama dia. Lo pikirin ... hal-hal apa yang dulu akhirnya buat lo jatuh cinta sama Seokjin," tambah Nayeon.

Usai mengusap air mata yang sempat membanjiri wajahnya, Jisoo menambahkan ucapan Nayeon. "Pelan-pelan, Jung. Jangan buru-buru." Jisoo melanjutkan lagi, "Kadang kalau hati sama pikiran lo nggak sejalan, lo harus ikutin kata hati lo. Logika manusia nggak selamanya tepat, jadi ikutin kata hati nurani lo."

Author's Note;
ayo mama sojung, wskksksksksk. kamu bisa kok mikir dua kali ... sblm beneran pisah😭

[2] Emotions; Sowjin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang