🕊. ―fourty eighth

196 33 13
                                    

Tegukan segelas air terdengar nyaring, disusul suara gelas yang dihentakkan di atas meja setelahnya. Manusia yang baru saja melakukan itu, langsung mengambil tempat duduk di atas kursi.

Matanya memerah, rambutnya berantakan. Ini sudah hampir pagi, namun pria itu belum juga bisa tidur. Padahal ... malam kemarin adalah malam terakhirnya untuk bisa tidur satu ranjang bersama istrinya.

Tuntutan Sojung semalam, terdengar begitu serius. Seokjin tidak yakin kalau perceraian ini bisa dicegah, atau justru malah dibatalkan. Yang dia inginkan, hanyalah hidup bahagia bersama keluarga kecilnya.

Sojung, Fany, Hani ... tiga perempuan itu tadinya adalah miliknya. Namun, Seokjin tidak tahu setelah ini, masih bisakah dia menganggap Sojung sebagai miliknya. Sebab, perempuan itu sudah benar-benar menyerah akan badai yang sedang menerpa rumah tangga mereka.

Usia satu tahun pernikahan ... memang terkenal cukup rentan. Banyak hal yang mengancam. Badai seolah bertiup lebih kencang. Namun, setelah itu kebahagiaan pasti akan datang―kalau mereka berdua mampu mengatasi badai itu bersama-sama. Tidak saling melepas genggaman, juga tidak ada kata maupun perilaku yang menunjukkan bahwa salah satu di antara mereka ... sudah menyerah.

Sekali lagi, pria itu menarik rambutnya. Mendesah panjang, penyesalan dan beban pada pundaknya seolah makin menyerangnya.

Tangannya meraih kotak P3K, luka pada jari-jarinya sama sekali belum sempat ia obati. Dia sudah mencuci lukanya tadi, sekarang hanya perlu memberikan lukanya sedikit obat pereda nyeri pada luka, lalu melilit area jari-jarinya yang terluka dengan kasa.

Sama sekali tak peduli akan rasa sakitnya, Seokjin selalu fokus pada urusan rumah tangganya. Setelah ini, sakit yang dia rasakan pasti lebih dari ini.

Tak ada Sojung lagi di rumah.

Tak ada pengingat setia, penolong dalam segala hal, dan koki yang handal dalam hidupnya. Sojung berharga sekali untuk Seokjin. Sojung adalah satu-satunya wanita yang ia cintai, ingin dia jaga, juga ingin dia miliki sampai dia mati.

Semuanya terjadi karena emosi. Seokjin tak pandai mengendalikan emosinya. Dia juga tak pandai mengendalikan tangannya yang ringan. Tanpa sadar, dua kali Sojung dia tampar kemarin. Huh ... rasanya semakin sesak jika Seokjin terus mengintrospeksi kesalahannya.

"Dasar nggak berguna!"

Wilson datang untuk menjenguk Hani. Dia kemari karena mendengar bayi kesayangan Sojung itu masuk rumah sakit karena gejala tipes. Tanpa pikir panjang, dia langsung melesat, meninggalkan dan menunda semua kewajibannya di tempat kerja.

Dia sempat membawa beberapa buah tangan, juga makan siang untuk Sojung. Dia yakin, di rumah sakit pasti tidak ada Seokjin. Hanya ada ... Sojung dan bayinya.

Dia menyapa dan langsung merentangkan tangan untuk memberi pelukan. Wanita itu; Sojung, akhirnya menangis lagi dalam pelukan Wilson. Dia sesenggukan, wajahnya pasti tak mudah untuk kembali pada keadaan semula, senyumannya pun terasa tidak mungkin untuk ditunjukkan saat ini.

"Gue sedih banget Hani kayak gini, bayi sekecil itu udah harus opname lagi untuk kedua kalinya. Gue nggak tau harus ngapain, bayi gue sakit, Wil ...."

Wilson hanya mengangguk-anggukan kepalanya, dia turut berduka dan merasakan kesedihan yang Sojung rasakan. "Lo boleh nangis, lo boleh ngerasa nggak tega sama Hani, tapi lo nggak boleh nyalahin diri lo."

Sojung tak kunjung menahan tetes air matanya, dia makin tak segan untuk menangis di depan Wilson―maksudnya, dekapan hangat sahabat laki-lakinya itu.

"Gue ... ngerasa gagal jagain Hani. Padahal baru aja lima bulan usianya sekarang, gimana kedepannya nanti?"

Wilson mendesis, memberikan kode untuk Sojung segera menghentikan ucapannya. Dia melepas pelukannya, memegang bahu Sojung untuk berdiri tegak menghadapnya. "Jangan ngomong kayak gitu. Usaha lo sejauh ini udah luar biasa buat gue. Suami lo juga pasti bangga banget, jauh lebih bangga dibandingkan gue."

Mata Sojung yang tadinya lurus menatap wajah Wilson, perlahan menurun, senyuman tipisnya mengembang dengan aura yang berbeda. "Gue nggak yakin, dia beneran bangga sama gue."

Kening Wilson mengerut, raut wajahnya berubah menjadi serius. Dia mengangkat lagi kepala Sojung, membuat wanita itu kini menatap matanya lagi. "Kenapa lo ngomong kayak gitu, Jung? Ada masalah? Mau cerita sama gue?"

Sojung menghela napas, meringankan bahunya yang sebelumnya menegang. "Lo emangnya mau, denger curhatan gue?"

"Why not?" sahut Wilson cepat. Dia langsung mengajak Sojung untuk duduk di kursi yang tersedia. "Ceritanya sambil duduk, biar lo lebih nyaman."

Sojung tersenyum lantaran perlakuan baik yang Wilson tunjukkan. Saat mulutnya mulai terangkat, Wilson mengeratkan genggaman tangan pada jemari Sojung.

Usai berbagi cerita, beban pada pundak Sojung seolah berkurang. Rasanya lebih ringan, dibandingkan sebelum ini.

"Kok suami lo kayak gitu?" tanya Wilson usai cerita Sojung berakhir.

"Nggak tau, dia berubah setelah anak gue; Hani lahir. Dia jadi lebih sayang sama keponakannya, dibanding gue―istrinya, atau Hani―anak kandungnya," curah Sojung.

"Dia kayak gitu?" tanya Wilson untuk memperjelas.

"Iya," jawab Sojung sendu. "Tiap apa yang gue lakuin buat Fany itu, selalu kurang maksimal di mata dia. Kalau dibilang capek, ya gue capek disalah-salahin terus. Waktu gue bukan cuma buat Fany, gue juga harus bagi waktu buat masak, belanja, ngurusin Hani. Kalau nggak sabar-sabar, bisa pecah kepala gue kali, Wil."

Wilson menatap Sojung penuh keprihatinan. Dia tersenyum, sambil mengelus jemari Sojung di genggamannya. "Lo bisa bertahan sejauh ini, lo hebat banget, Jung. Lo merjuangin semuanya sendiri. Di usia lo yang sekarang, ngurus dua anak ... itu salah satu keistimewaan yang lo punya."

Tak mau ambil pusing akan pujian Wilson barusan. Sojung mengucapkan kalimat lain. "Gue malah sempet mikir kalau ... Fany itu emang bener anaknya, alih-alih keponakannya."

"Kok lo bisa ngomong kayak gitu?" tanya Wilson sambil mengerutkan dahinya.

"Ya gimana lagi? Kebaca banget lagi sama gue. Dia sayang banget sama Fany, sementara sama Hani biasa aja. Fany jatuh, luka sedikit di dahinya, gue yang dimarahin, disindir berhari-hari. Padahal gue ketiduran juga gara-gara capek ngurusin anak dia," kata Sojung.

"Kalau tau kayak gini jadinya ... gue harusnya nggak hamil waktu itu. Dia bilang, dia janji buat jagain Hani bareng-bareng sampe dewasa, waktu pertama kali tau gue hamil. Tapi ... bullshit semua omongan dia." Sojung menangis lagi, dia menutup wajahnya dengan kedua tangan.

"Lo nggak seharusnya ngomong kayak gitu," nasihat Wilson. "Suami lo yang salah, tapi lo malah nyalahin kehadiran Hani. Hani itu berkat buat kehidupan lo, Jung. Jangan kayak gitu sama darah daging lo sendiri."

Karena kata-kata Wilson, Sojung kini jadi merasa bersalah pada Hani. Wilson benar, Hani adalah berkat dan kebahagiaan baginya. Hani adalah dunianya, sumber kedamaian bagi Sojung.

Wanita itu masuk lagi ke dalam pelukan Wilson saat laki-laki itu menariknya mendekat. Pundaknya, dengan senang hati dan sukarela dia pinjamkan untuk Sojung yang saat ini tidak dalam kondisi baik-baik saja.

― ♡ ―

A/N:
guys mmmm, kalau ada narasi yang italic semua tu, berarti kilas balik ya. soalnya kalau ditulis di atas narasinya 'flashback' gitu, agak aneh menurutku😭

but anyways, lagi-lagi, jangan lupa tekan bintang🌟⭐!</3

sepuluh hari dari hari ini, aku minta waktu istirahat ya:( sorry banget tabisa update cepet-cepet, selingan sm uts habisnya😭🖐

[2] Emotions; Sowjin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang