🕊. ―fourty second

179 34 12
                                    

Malam akhirnya kembali menyapa. Karena lembur, Seokjin akhirnya pulang pukul delapan malam. Saat masuk ke dalam kamar, ternyata istrinya sedang tertidur dengan Hani yang ada dalam pelukannya.

Seokjin segera menaruh barang yang ia bawa di atas meja, kemudian mengambil alih Hani dari dalam pelukan Sojung. Saat itu juga, tidur Sojung terganggu. Sojung bangun dari tidur nyenyaknya, melepas Hani dari pelukannya lalu membenarkan posisi bajunya.

Wanita itu meletakkan jari-jarinya di depan mata, kemudian mengusap seluruh wajahnya dan menyempurnakan kesadarannya. Rambutnya diikat ke atas setelah kesadarannya kembali.

"Kamu ketiduran waktu ngasih susu ke Hani?" tanya Seokjin sambil membuka dua kancing kemejanya dan menggulung lengannya sampai siku.

Sojung mengangguk. "Sore ini Hani nangis terus. Dia lagi haus banget kayaknya. Tapi tadi ... aku udah sempet masak, Fany juga udah makan malem duluan tadi," kata Sojung.

Seokjin hanya mengangguk-anggukan kepalanya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Laki-laki itu beralih mengecek ponselnya sebentar, setelah dia rasa tak ada yang begitu penting, Seokjin akhirnya menaruh ponselnya di atas meja kerjanya.

"Kamu mau makan?" tanya Sojung. "Biar aku siapin makanannya."

Saat Sojung bangun, wanita itu spontan mendesis lantaran merasa perih pada bagian kakinya yang terluka. Sejak dia jatuh, wanita itu sama sekali belum mengompres lukanya. Dia terlalu sibuk mengurus anak-anaknya, memberi Hani ASI, menyiapkan makan malam untuk Fany juga Seokjin. Sampai akhirnya dia tertidur dan belum mengompres luka memarnya.

Seokjin yang penasaran kenapa istrinya mendesis dan memasang wajah kesakitan itu langsung menatap ke arah bawah, area yang dikeluhkan Sojung. Matanya membesar saat tahu ada beberapa luka memar pada kaki kanan Sojung. Pria itu dengan segera bilang, "Udah sempet dikompres belum tadi?"

Sojung menggeleng. Seokjin lantas memerintah, "Duduk lagi, biar aku ambil air dan alat-alat lain untuk kompres lukamu."

Sojung akhirnya duduk lagi, tapi bukannya merasa lebih ringan ... Sojung justru makin merasakan perihnya luka itu. Sojung terus saja mendesis, air matanya keluar di ujung mata tanpa sadar.

Sekembalinya Seokjin, dia bertekuk lutut di hadapan Sojung. Dengan hati-hati ia kompres luka Sojung, tak mau membuat wanitanya meringis dan mendesis kesakitan lebih dari apa yang sudah dia dengar.

"Ini kenapa bisa sampe kayak gini sih, Jung? Kamu ngapain?" tanya Seokjin sambil mendangakan kepala ke atas, menatap manik mata Sojung.

"Aku ... a-aku kesandung di tangga, jatuh. Setelah itu kakiku langsung memar kayak gini," adu Sojung pada suaminya.

"Jatuh dari anak tangga ke berapa? Gimana ceritanya?"

Memang mungkin pada dasarnya Sojung yang terlalu perasa. Saat ditanya seperti itu oleh Seokjin, Sojung malah melepaskan tangisannya. Air matanya tak dapat lagi terbendung.

"Ketiga, di anak tangga bagian atas. Aku kesandung waktu mau ke kamar, karena Hani nangis."

"Astaga, Sojung," Seokjin mendesah. "Kenapa nggak hati-hati? Kenapa harus buru-buru? Ceroboh banget sih kamu ini."

Sojung menyapu air mata di pipinya. "Namanya juga musibah, aku mana tau kalau aku bakal jatuh di tangga tadi."

"Makanya kalau jalan itu hati-hati, Sojung. Jangan ceroboh kayak gitu," kata Seokjin. "Kalau udah begini 'kan, kamu juga yang ngerasain sakitnya."

"Iya ... aku minta maaf," kata Sojung akhirnya.

"Lain kali pokoknya jangan ceroboh lagi, hati-hati!" tukas Seokjin sambil mencelupkan kain kembali ke air. "Udah, kakinya angkat. Diistirahatin aja dulu, sambil dikompres."

Seokjin kembali menaruh kain pada bagian kaki Sojung yang terluka. Perempuan itu sempat merintih sedikit, sesaat setelah Seokjin meletakkan kain di atas lukanya.

"Aku mau siapin makanan kamu, temenin kamu makan di bawah," lirih Sojung dengan raut wajah menyesal.

"Lagi sakit kayak begini, kamu mau paksain kaki kamu buat jalan?" tanya Seokjin. "Kamu nggak kasian sama kaki kamu? Kamu nggak pengen cepet sembuh?"

Sojung menghela napas panjang, dia menunduk, tak berani menatap wajah Seokjin. "Iya, aku istirahat. Maaf, udah ngerepotin."

Seokjin mengangguk, tanpa memasang ekspresi wajah lainnya. "Kalau bisa tidur, tidur aja. Habis makan, aku mau lanjut ngecek email, ngecek tugas mahasiswa yang aku minta kirim ke emailku."

"Iya," kata Sojung.

"Yaudah aku keluar dulu, selamat malam."

"Malam ...."

― ♡ ―

Matanya menyipit, dahinya mengernyit kemudian, ketika menyadari bahwa ada orang di dalam dapur malam-malam seperti ini. "Oh, Fany. Kenapa belum tidur, Fan?"

Yang dilontarkan pertanyaan tertawa canggung. Tapi tak lama dia dia menjawab, "Fany tadi haus, makanya Fany ke sini buat ambil air putih." Setelah menjawab pertanyaan, Fany mengajukan pertanyaan, "Papa pulang kapan?"

"Belum lama," jawab Seokjin. "Ini Papa baru mau makan malem. Lembur Papa di kampus."

Fany menunjukkan senyum antusiasnya. "Fany temenin, ya?"

Seokjin tersenyum. Dia mengusak rambut anaknya. "Boleh!"

Fany tersenyum riang dan bahagia. Dia berjalan cepat menuju kursi makan sambil menggenggam gelas berisi air putih yang tadi diambilnya. Seokjin pun demikian, dia juga menarik kursi makan dan duduk di atas sana.

Seokjin mengambil nasi, juga beberapa jenis lauk yang sudah sengaja Sojung pisahkan untuknya.

Sambil menyantap makanannya, Seokjin mengajak Fany berbicara. "Fany mau ikut makan lagi, bareng sama Papa?"

Fany menggeleng. "Fany tadi udah makan, bareng Mama Sojung. Mama Sojung tadi jatuh, kakinya memar, tapi Mama Sojung tetep maksa buat masak. Padahal 'kan ... kita bisa order aja dari luar."

"Fany tau Mama jatuh?" tanya Seokjin.

Kali ini, gadis itu mengangguk. Wajahnya mendadak berubah menjadi sendu. "Mama Sojung jatuh karena buru-buru mau liat Hani yang nangis di atas. Kami berdua waktu itu baru pulang dari sekolah, nggak lama Hani nangis kenceng banget―oh, sebelum itu ... Mama sempet nolongin Fany yang hampir jatuh tadi gara-gara kesandung, tapi sekarang malah Mama Sojung yang luka gara-gara kesandung tangga."

"Mama Sojung nolongin kamu?" tanya Seokjin. "Kamu hampir jatuh lagi tadi?"

"Iya," jawab Fany. "Mama Sojung ngelindungin Fany, meluk Fany erat biar nggak jadi jatuh. Mama Sojung itu sebenernya baik banget sama Fany. Dia sayang sama Fany. Makanya ... harusnya Papa nggak marah-marah sama Mama Sojung. Jangan nyalahin Mama terus, Pa ...."

Seokjin terpaku, otaknya seakan membeku beberapa detik. Dia ... terlalu bingung untuk bagaimana menanggapi ucapan Fany barusan, hingga akhirnya dia hanya memberikan senyuman canggung.

"Pa ... jangan marah sama Mama Sojung lagi, ya?" bujuk Fany sambil menggerakkan lengan Seokjin di atas meja. "Mama Sojung Ibu yang baik buat Fany dan Hani. Mama Sojung sayang sama kita semua, sama Fany, Hani, Papa apalagi."

Seokjin meraih tangan Fany yang menggoyangkan lengannya. Dia tersenyum kemudian berkata, "Papa nggak akan marah lagi sama Mama Sojung. Fany nggak usah khawatir. Okay?"

Finalnya, Fany tersenyum penuh hela napas lega. Dia cukup bahagia ... karena Ayahnya mau mendengar kalimatnya. "Terimakasih, Papa. I love you!"

"I love you more!" balas Seokjin sambil mencubit pipi gadis kecilnya.

Mungkin bagi Fany, hari ini ditutup dengan akhir yang manis. Namun, belum tentu untuk Seokjin.

― ♡ ―

A/N;
guys, wahahaha. draftku habis😭😭😭 agak-agak gabisa update setiap hari lagi kayaknya:( but, kalau bintangnya banyak kayaknya bisa dipertimbangkan―WAKAKKAKAKAKAK

28 yuk? 28 bisa, kita ketemu lg di part depan!

[2] Emotions; Sowjin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang