🕊. ―eighth

276 40 14
                                    

Sojung membawa tiga cangkir teh hangat serta beberapa snack ke teras belakang, tempat Seokjin dan Fany berada. Dia tersenyum, ketika Fany menyapa kehadirannya dengan senyuman riang juga.

Fany berada di pangkuan Seokjin. Anak itu bercerita banyak pada Ayahnya. Hal apapun itu ... Fany ceritakan. Entah itu cerita lucu, atau malah cerita menyebalkan yang terjadi selama di sekolah.

Sojung duduk di bangku sebrang Seokjin. Dia memerhatikan dengan seksama tawa riang Fany bersama Ayahnya. Well, tidak tahu kenapa, tapi Sojung merasa cemburu.

Fany itu keponakan Seokjin, tapi yang anak itu tahu Seokjin adalah Ayahnya. Anak itu juga beruntung, karena Seokjin sangat menyayanginya. Seokjin menyayangi Fany seperti anaknya ... dan hal itu yang membuat Sojung merasa cemburu sekarang.

Dia tidak tahu pasti apa alasannya, tapi kalau terus-menerus menahan rasa cemburu dan tetap melihat kebersamaan Fany dengan Seokjin, Sojung rasa tidak bisa. Sampai akhirnya wanita itu bangkit lagi dari tempat duduknya.

Dia melewati Seokjin dan Fany tanpa mengucapkan sepatah kata.

"Sayang, mau kemana?" tanya Seokjin.

"Ma? Kenapa?" sambung tanya Fany.

Sojung sama sekali tak menanggapi. Dia melenggang masuk dan duduk di atas sofa, menyalakan TV, dan mencari kesenangannya sendiri.

Namun, rupanya Seokjin dan Fany ikut menyusulnya. Mereka duduk di kedua sisi Sojung. "Kamu kenapa, Sayang? Marah ya, karena aku asik main berdua aja sama Fany?"

Sojung menggelengkan kepalanya. Fany juga spontan meraih tangan Sojung, ingin membujuk, niatnya. Tapi Sojung malah kelepasan dan akhirnya menghempaskan tangan anak itu yang memegang pergelangan tangannya.

"Jung, kamu kenapa sih?" tanya Seokjin spontan. Istrinya tidak biasanya sekasar ini dengan Fany.

Oke, kalau dia mungkin benar sedang berada dalam sindrome pra-menstruasi. Tapi memang sindrome ini bisa sampai memengaruhi emosi wanita sampai sehebat ini?

"Aku nggak pa-pa, beneran! Aku cuma mau sendiri dulu!" Sojung akhirnya bangun, dia berlari ke arah kamarnya. Kemudian membanting pintu dengan keras. Sampai Fany terkejut mendengarnya.

Seokjin yang tahu itu lantas memeluk Fany. Dia menenangkan anak itu. Dia bilang, "Nggak pa-pa, Mama nggak marah sama Fany. Dia cuma capek aja, lagi pengen sendiri. Fany nggak usah takut sama Mama, ya?"

"Iya, Pa ...."

― ♡ ―

Siangnya, saat Seokjin sudah berhasil membuat Fany terlelap dalam tidur siangnya. Pria itu langsung masuk ke dalam kamarnya. Dia melihat Sojung sedang sibuk dengan ponsel pintarnya, tanpa tahu apa yang sebenarnya istrinya sedang lakukan dengan benda pipih itu.

Seokjin duduk di pinggir ranjang, tepat di samping Sojung. "Lagi sakit perut, ya? Nggak enak badannya?"

Sojung menggelengkan kepala. Dia menutup ponselnya sebentar. "Kata Ibuku, aku disuruh tes kehamilan. Tapi kayaknya ... nggak mungkin 'kan kalau aku hamil?"

"Tes kehamilan?" tanya Seokjin. "Tadi kamu lagi ngobrol sama Ibu, terus kamu disuruh tes?"

Sojung mengangguk. "Jujur, aku takut. Aku nggak berani tes-tes kayak gitu. Apalagi liat hasilnya."

"Dicoba aja dulu kali, Jung. Kamu juga 'kan udah telat datang bulan," kata Seokjin.

Mendengar itu, Sojung tiba-tiba sedikit tersinggung. "Berarti kamu seneng nanti kalau aku beneran hamil? Kamu mau aku beneran hamil?"

[2] Emotions; Sowjin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang