🕊. ―thirtieth

206 31 21
                                    

Rasa-rasanya enam minggu berlalu tanpa arti. Seperti terasa begitu cepat bagi Seokjin dan Sojung. Dua hari sebelum hari H melahirkan, Sojung ditemani suaminya pergi ke dokter kandungan.

Sebenarnya dia sudah mulai merasakan kontraksi sejak malam kemarin. Jadi, hari ini dia mau sekaligus konsultasi pada dokter yang menanganinya selama ini.

Perutnya kembali merasakan getaran saat proses USG berlangsung. Lima sampai sepuluh menit setelah dokter mengamati bayi dalam kandungannya, dia tersenyum pada Sojung kemudian berjalan meninggalkan dirinya sendiri.

Dokter itu kembali memanggil suaminya; Seokjin, Dokter itu juga bilang bahwa dia hanya perlu berbicara dengan Seokjin. Sementara Sojung sendiri dianjurkan untuk tetap pada posisinya saat ini.

Seokjin mengernyitkan dahinya, debaran jantungnya bergerak tak normal, dia lumayan gugup. "Ada apa, Dok?"

"Sebelumnya mohon maaf, tapi ... kita harus segera mengambil tindakan operasi," ujar dokter yang tadi membantu Sojung itu.

"Apa? Operasi?" tanya Seokjin. "Memangnya ada masalah apa lagi dengan bayi saya?"

"Posisi kepala bayinya belum di bawah seratus persen, sangat-sangat tidak memungkinkan untuk melakukan persalinan normal," kata Dokter. "Saya tau Ibu Sojung pasti akan menolak operasi ini, makanya saya bicarakan ini hanya dengan Bapak."

"Lalu bagaimana? Sudah benar-benar tidak ada lagi harapan untuk mengambil proses persalinan normal, ya?"

Dengan raut wajah menyesalnya, Dokter mengangguk. "Ini demi keselamatan Ibu dan bayinya."

Seokjin mulai kelihatan frustrasi. Dia tahu Sojung tidak akan mau melakukan ini, tapi ini juga demi keselamatan nyawa Sojung dan bayinya. Tapi ... bagaimana caranya bilang pada Sojung?

Dia mengusap-usap wajahnya kasar sebelum akhirnya mengangguk. "Demi istri dan anak saya, saya setuju."

"Kita akan melakukan operasi ini nanti sore, jadi saya harap Bapak segera menyelesaikan proses administrasi dan tanda tangan surat persetujuan sesegera mungkin," ujar Dokter.

"Jangan menyesal, ini keputusan yang sangat tepat," tambah Dokter ketika tahu Seokjin masih ragu sampai sekarang.

Bukan hanya ragu, Seokjin juga benar-benar bingung. Bagaimana caranya dia bicara pada Sojung? Kalau dia langsung terus terang ... Sojung pasti akan menolak mati-matian.

― ♡ ―

Matanya melempar tatapan pada semua sudut. Sempat mengerut beberapa saat, namun akhirnya dahinya kembali normal seperti sediakala. Mata Sojung menatap mata suaminya sembari tubuhnya dituntun untuk duduk di tepi pembaringan yang ada di salah satu kamar rawat inap.

"Aku harus opname?" tanya Sojung pada suaminya.

Sementara yang diberi pertanyaan memasang senyuman dengan arti yang tidak Sojung tahu. Tapi raut wajah Seokjin ... kenapa kelihatan berbeda dari yang sebelumnya?

"Kenapa sih? Ada apa?" tanya Sojung sekali lagi. "Kenapa kita nggak pulang dulu ke rumah?"

Suaminya hanya terus menatap, seolah sama sekali tak berniat untuk membuka suara dan menjawab pertanyaan.

"Sayang, bilang sama aku. Kenapa?"

Akhirnya pria itu runtuh pada pertahanannya. Dia menjawab, walau hanya sekenanya, "Nggak pa-pa, everything will be okay."

Perempuan itu menggelengkan kepalanya lemah. "Not an okay, I guess." Sojung melanjutkan lagi kalimatnya, "Kalau kamu nggak bilang terus terang sama aku ... gimana bisa semuanya baik-baik aja? Makanya sekarang kamu ngomong, terus terang aja."

Seokjin sempat menundukkan kepalanya, dia menarik napasnya dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, "Maaf, aku nggak bisa berbuat apa-apa. Sore ini juga, kamu harus operasi caesar. Aku udah tanda tangan surat persetujuannya, udah urus semua administrasinya."

Sojung membeku tiga detik, selanjutnya perempuan itu tertawa sambil memukul lengan suaminya. "Bercanda!"

Melihat suaminya diam dan memasang wajah seolah-olah dia berusaha tegar, menahan tangisannya, suasana hati Sojung berubah menjadi khawatir. Badannya mendingin, terasa sedikit kaku jika saja tak ia paksa untuk melakukan pergerakan.

"Sayang, jangan bercanda!" Sojung memukul lengan suaminya. Berharap Seokjin jera dan mengakhiri sandiwaranya. "Kamu tau aku takut untuk operasi. Sama sekali nggak lucu kalau kamu bercandanya kayak gini."

Mata Sojung menatap terus perawakan Seokjin. Lelakinya itu menitikkan satu air mata kemudian mengangkat bahunya seolah sedang melepaskan beban. Saat kepala Seokjin menggeleng, tangisan Sojung dimulai.

"Jadi ... aku beneran harus dioperasi?" tanya Sojung. "Sore ini? ... tanpa kamu bilang dulu sama aku sebelum tanda tanganin surat persetujuannya?"

Sojung menghapus air mata yang membanjiri pipinya dengan kedua tangan. "Kamu mempertaruhkan nyawaku ... tanpa izin dari aku."

Hati Seokjin rasanya teriris saat Sojung menangis. Tubuhnya mendekati Sojung, kemudian tangannya dengan sigap menarik Sojung ke dalam pelukannya.

"Aku takut, Seokjin. Gimana kalau nanti aku nggak selamat? Gimana kalau nanti ada komplikasi yang akhirnya mengharuskan dokter untuk memilih salah satu di antara kami yang harus dia selamatkan?"

Dengan sigap Seokjin menjawab, "Aku pasti akan suruh dokter untuk pilih kamu―"

"Kamu mau biarin anak kita gugur? Sembilan bulan kita ngejaga dia, kamu mau biarin dia gugur gitu aja?" tanya Sojung dalam pelukan Seokjin tanpa menghentikan tangisannya.

"Aku maunya kalian berdua selamat. Kalaupun nanti hal yang sama sekali nggak diinginkan itu terjadi, yang aku pertahanin adalah kamu. Aku ... aku nggak bisa hidup tanpa kamu, Jung," tutur Seokjin yang air matanya mulai menetes sekarang.

Sojung memang sudah pasrah dan sudah berserah diri sejak saat dia tahu dia harus melakukan operasi. Napasnya dia tarik panjang-panjang, kepalanya dia telusupkan ke dalam dada suaminya. "Aku emang takut buat operasi, tapi sebagai seorang perempuan, aku nggak bisa biarin anak yang kukandung sembilan bulan gugur gitu aja."

"Puluhan ribu tetes air mata, kebahagiaan dan kasih sayang yang kamu kasih lebih, cerita kita yang sering ribut dulu karena emosiku nggak stabil, dan ... udah terlalu banyak cerita yang aku dan bayi kita lewati selama sembilan bulan ini. Aku nggak mau kehilangan bayi ini. Aku sayang sama dia."

"Kamu harus semangat, Sayang. Kamu harus berjuang. Kamu perempuan hebat, aku yakin kamu bisa." Kecupan manis di kepala Sojung menjadi bukti tanda kasih dan kesetiaan Seokjin menemani istrinya dalam situasi apapun dan dimanapun.

Pelukan merenggang, Sojung diperintahkan untuk istirahat sejenak di pembaringan sebelum beberapa orang petugas menjemputnya dan mengantarnya ke ruang operasi.

Sambil membersihkan bekas air mata di pipinya, Seokjin menggeret kursi ke tepi ranjang. Dia meraih tangan Sojung dan menempatkannya di antara kedua telapak tangannya. "Semangat, Sayang. Sebentar lagi kita bisa ketemu bayi yang dari dulu kita tunggu."

Tak ingin istrinya berpikir tentang hal yang tidak-tidak dan terus-terusan khawatir, akhirnya Seokjin mengajak Sojung untuk bercerita. Hal apapun, mereka bisa ceritakan. Sojung sempat tertawa dan menepuk pipi Seokjin ketika dia mendengar cerita konyol Seokjin yang dia lakukan di kampusnya, yang tadinya dia tak mau ceritakan pada Sojung.

Sampai akhirnya tak terasa, sore hari datang. Jam yang dijanjikan pun tiba. Sojung dijemput dengan kursi roda oleh petugas. Suaminya sebagai pendamping tak pernah jauh dari posisinya.

Menyadari betapa eratnya pegangan tangan Sojung di tangannya, Seokjin mengusap lembut punggung tangan Sojung dan memberinya senyuman penyemangat.

Dia pasti bisa ...,

Sojung pasti bisa.

Seokjin percaya akan itu.

― ♡ ―

A/N:
Mama Sojung semangat😭😭😭😭
ketemu sama dede bayi di part 31 ya, guys! bye-bye</3

[2] Emotions; Sowjin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang