🕊. ―eighteenth

194 33 20
                                    

Begitu suaminya selesai menutup pintu kamar, Sojung berbicara mengenai isi hatinya. "Sekarang, gara-gara aku hamil, aku jadi nggak bisa nemenin Fany study tour," curahnya. "Aku nggak bisa jadi Ibu yang baik buat dia. Aku nggak bisa buat dia ngerasa benar waktu dia milih dan ngizinin aku buat jadi Ibu sambungnya."

"Anak kita nggak salah, Jung. Kamu hamil itu bukan suatu kesalahan," kata Seokjin. "Sebentar lagi anak kita lahir, kamu jangan nyesel terus kayak gitu."

"Tapi dadaku tuh sesak pas tadi Fany ngomong kayak gitu. Aku sedih banget, aku ngerasa gagal jadi orang tua," kata Sojung.

"Fany ngerti, dia anak yang baik kok. Dia tau kalau kamu nggak bisa nemenin dia karena emang kamu lagi hamil besar," kata Seokjin. "Jangan dipikirin masalah tadi. Aku nggak mau apa yang kamu rasain dan pikirin sekarang, malah ikut dirasain sama anak kita."

Seokjin berjalan, mengitari ranjang pembaringannya. Dia meraih tubuh Sojung, membelai halus rambut Sojung dalam sandarannya. Dengan nada lembut Seokjin berucap, "Nanti, biar aku aja yang nemenin dia. Urusan pekerjaanku, nanti biar aku yang urus. Kamu nggak usah mikirin apa-apa."

Sojung mengulas senyumannya tipis. Dia selalu merasa hangat kalau Seokjin ada di dekatnya. Perihal kalimat yang baru saja laki-laki itu ucapkan, dalam hati Sojung lagi-lagi luluh. Suaminya, selalu bisa memberikan ketenangan baginya.

"Kamu itu nggak berubah, ya. Dari dulu, sampe sekarang udah jadi suamiku ... selalu baik. Dulu Ibu didik kamu kayak gimana, sih?"

Seokjin tersenyum, mengecup singkat puncak kepala Sojung sebelum bercerita. "Sini, aku ceritain. Aku kasih tau, gimana Ibu ngedidik aku dan kakakku dulu." Seokjin menceritakan bagaimana cara Ibunya mendidik dia dan kakak laki-lakinya dulu. Sedikit memutar balik kilas masa lalu, Seokjin kembali sadar bahwa kasih sayang Ibu dan Ayahnya dulu sangat luar biasa pada dirinya.

"Ayah sama Ibumu, dulu pernah berantem?" tanya Sojung sesudah Seokjin menceritakan kisahnya dulu.

"Yang namanya suami-istri, masa nggak pernah selisih paham, sih? Berantem mungkin pernah, cuma ... ya tapi nggak sampe yang buat anak-anaknya nginget banget alesan mereka berantem," kata Seokjin.

"Hebat ya, Ayah sama Ibumu. Beda banget sama kita ... kalau diinget-inget, udah berapa kali ya kita berantem?" Sojung melanjutkan, "Usia pernikahan kita belum ada satu tahun. Tapi, kita udah lebih dari satu kali―atau bahkan sering banget berantem."

"Di usia pernikahan kita gini emang rentan banget buat berantem, Jung," kata Seokjin. "Yang penting itu gimana kitanya aja yang nanggepin hal kayak gitu. Waktu itu kita udah pernah janji untuk terus sama-sama selama yang kita mampu. Jadi mau seberapa sering kita selisih paham, seberapa sering kita ribut, kalau emang masih bisa dipertahankan kita akan terus sama-sama."

Sojung melirih, "Gimana kalau ... suatu hari nanti salah satu dari kita ada yang berkhianat?"

"Kalau dari sudut pandangku, kalau kamu yang ngekhianatin aku sama laki-laki lain. Aku kecewanya sama diri aku sendiri. Kenapa aku nggak bisa narik semua perhatian kamu, sampe-sampe perhatian kamu diambil sama laki-laki lain," kata Seokjin. "Tapi aku nggak akan terus-terusan kecewa sama diri aku. Aku bakal intropeksi diri, perbaiki kepribadianku, habis itu aku ngomong sama kamu. Kalau emang kita udah nggak bisa sama-sama, it's okay, aku bakal ngerelain kamu untuk laki-laki yang lagi kamu sayang."

Sojung mengeratkan pelukannya. Seolah-olah menolak perpisahan yang baru saja Seokjin ucapkan. "Aku itu takut banget kalau sampe kehilangan suami sebaik kamu. Semoga aja, sampai tua nanti, kita bisa terus sama-sama. Sampe salah satu atau bahkan kita berdua pergi ninggalin dunia ini."

Seokjin mengaminkan doa istrinya. Lagi-lagi dia mengecup pucuk kepala istrinya. "Udah malem, kita tidur sekarang, yuk? Besok aku udah harus ngajar lagi, kamu sibuk masak lagi."

Sojung terkekeh sambil bangun dari atas tubuh suaminya. Dia membenarkan posisi tidurnya, sebelum terakhir mengucapkan, "Good night and sleep tight, Honey!"

― ♡ ―

Seokjin tersenyum, dirinya mengecup pipi istrinya sebagai sapaan dan rutinitas paginya. Dia dipersilakan untuk duduk lebih dulu oleh Sojung, sementara wanita itu menjemput Fany di kamarnya.

Well, disajikan makanan berat di pagi hari seperti hari ini diam-diam menjadi hal yang paling Seokjin sukai. Istrinya jarang sekali memasak makanan berat saat sarapan karena menurutnya, sarapan dengan makanan berat membuat mata jadi lebih mudah mengantuk.

Tapi menurut Seokjin, kalau pagi hari sudah makan makanan berat yang juga banyak nutrisinya, semangatnya justru akan bertambah sampai dua kali lipat.

Oke, lupakan pendapat sepasang suami-istri yang jelas-jelas bertolak belakang begitu. Mari kita kembali pada suasana meja makan yang sekarang sudah kedatangan Fany, putri satu-satunya di rumah―ralat, kerajaan Seokjin.

"Fan, gimana semalem tidurnya?" tanya Seokjin memulai percakapannya pada putrinya.

"Kayak biasa, Pa. Nyenyak-nyenyak aja," jawab Fany.

"Nanti Papa coba ngomong sama pihak kampus, ya. Kalau emang dikasih izin, nanti biar Fany pergi sama Papa aja," kata Seokjin pada Fany yang tampaknya masih tertawa suasana kemarin malam.

"Nanti kalau emang Papa nggak bisa, kalau Fany mau pergi sama Mama juga nggak pa-pa kok. Mama bisa nemenin Fany," sahut Sojung untuk mengembalikan suasana hati Fany yang masih tidak baik dari kemarin.

Namun tampaknya, alih-alih merasa senang atau terhibur dengan perkataan kedua orang tuanya, Fany malah makin merasa sedih. Haruskah dia mengemis kasih sayang orang tuanya dulu, baru mereka mau peduli seperti sekarang?

"Pa, Ma. Boleh nggak, kalau Fany mau tinggal sama Nenek aja?" tanya Fany tiba-tiba.

Seokjin yang mendengar itu cukup terkejut. Tapi dengan hati-hati, dia berbicara dan bertanya pada Fany, "Kenapa? Emang udah nggak mau tinggal di sini sama Mama, Papa?"

"Maaf ... tapi Fany emang lagi butuh Nenek," kata Fany sambil diam-diam menunduk lalu menghapus air matanya.

Sojung yang melihat itu ikut merasa sakit. Dia menghampiri Fany. Pelan-pelan dia duduk berlutut di hadapan Fany―sambil menjaga perutnya yang kian membesar.

"Fan ... Fany punya Mama. Mama Sojung ini Mamanya Fany, penggantinya Mama Yoona. Fany bisa cerita sama Mama, Fany bisa jujur tentang semua yang Fany rasain sama Mama."

Fany menggeleng, dia menangis. Seokjin dengan sigap langsung bangun dari posisi duduknya. Dia membawa Fany ke dalam pelukannya, lalu membawa anak itu keluar―barangkali suasana pagi dapat mengembalikan mood Fany yang rusak.

Lima menit berada di pelukan―tepatnya gendongan Seokjin―Fany melirih, "Papa sama Mama kenapa sekarang beda? Papa sekarang nggak begitu meduliin Fany ... Fany ngerasa kalau Papa udah ga sayang sama Fany."

"Fany, dengerin Papa. Sampai kapanpun, rasa sayang Papa ke Fany itu nggak akan berubah, dari dulu. Fany mungkin ngerasanya Papa makin jauh sama Fany ... tapi, Fany salah kalau Fany bilang Papa udah nggak sayang sama Fany," tutur Seokjin.

"Sampai nanti, waktu adik bayi lahir, apa Papa masih sayang Fany? Atau malah ... Papa lebih sayang sama adik bayi?"

"Papa udah bilang, rasa sayang Papa ke Fany itu nggak akan pernah berubah." Seokjin menegaskan lagi, "Papa janji!"

― ♡ ―

A/N:
AAAAA HEBAT BANGET KALIAN! aku seneng sama respon kalian, huhu. love you guys!❤❤❤❤

[2] Emotions; Sowjin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang