🕊. ―twenty eighth

197 30 6
                                    

Usai membuatkan teh hangat untuk Seokjin, Sojung duduk di kursi samping pria itu. Dia mempersilakan suaminya untuk minum, kemudian memerhatikan dengan baik bagaimana prianya menikmati teh buatannya.

"Sayang, aku mau ngomong," celetuk Sojung.

"Ngomong apa?" Seokjin menaruh kembali cangkir teh hangat itu di atas meja. Kemudian dia berbicara lagi, "Ngomong aja, Sayang."

"Kakaknya temenku, dia instruktur senam hamil. Buka kelas juga ...," cerita Sojung.

"Bagus dong? Yaudah, kamu ikut aja kelas dia," kata Seokjin. "Nggak usah pikirin soal biaya. Jangan ragu kayak gitu,"--Seokjin tertawa--"kenapa sih? Kok keliatan ragu gitu."

Sojung meraih tangan suaminya, dia menggenggamnya erat. "Aku bukan ragu soal biaya. Aku percaya kamu kamu sanggup ngasih fasilitas ... bahkan lebih dari apa yang aku dapetin sekarang."

"Terus ragu soal apa?" tanya Seokjin.

"Tapi kamu janji, kamu jangan pura-pura ikhlas. Kalau kamu emang nggak mau aku ikut kelas di sana ... aku bisa cari kelas yang lain," kata Sojung.

Seokjin semakin merasa penasaran lantaran Sojung memintanya untuk berjanji. "Apa ... apa sih? Kenapa emangnya? ... nggak pa-pa Sayang, terus terang aja."

"Temen yang aku maksud itu ... Wilson. Kakaknya Wilson instruktur senamnya," kata Sojung.

Seokjin tertawa. "Ya terus kenapa? Kenapa kamu ragu ... sampe ketakutan gitu sama aku?"

Sojung menarik kembali tangannya. Dia menunduk, tak berani menatap mata Seokjin. "Kamu bilang ... kamu bisa percaya sama aku, tapi kamu nggak akan pernah percaya sama Wilson. Gimana ... gimana kalau suatu waktu nanti kamu marah lagi sama aku? Gara-gara mungkin aku sama Wilson ketemu di kelas kakaknya. Aku ngobrol, aku having fun sama dia ... aku nggak mau kita berantem kayak kemarin."

Kini Sojung perlahan kembali mengangkat kepala, menatap mata Seokjin dengan sendu. "Cukup ... aku nggak mau kita berantem lagi. Biar yang kemarin jadi yang terakhir. Anak kita hampir gugur, gara-gara aku nggak fokus karena merasa bersalah habis marah-marah sama kamu."

Seokjin menarik kedua sudut bibirnya, padahal dia ikut merasa sedih sekarang. Dia menyesal, karena tak bisa mengontrol emosinya tempo lalu. Dia kemudian meletakkan tangannya di atas tangan Sojung yang berada di meja, kemudian Seokjin mengelus halus tangan manis itu.

"Soal itu, aku belum minta maaf," curah Seokjin. Kemudian dia menjelaskan, "Tempo lalu itu aku capek. Aku khawatir setengah mati sama kamu ... sama kandungan kamu. Aku coba telfon kamu, ada beberapa kali nada tersambung, tapi nggak kamu angkat. Kamu itu tanggung jawab aku ... waktu aku tinggal kamu sendirian, apalagi dengan kondisi kamu yang lagi hamil, rasa khawatirku itu jadi lebih dua kali lipat. Apa yang harus aku bilang sama Ayah dan Ibu kamu kalau sampai kamu kenapa-napa?"

Seokjin melanjutkan lagi, "Walau barangkali kamu emang nggak sendirian di rumah kita, kamu pergi bertamu ke rumah Ibu. Tapi dalam perjalanan ke rumah Ibu juga 'kan kamu sendirian. Aku nggak ada di samping kamu waktu itu."

"Waktu kamu pendarahan aja, orang tua kita nggak ada yang tau 'kan? Aku nggak kebayang kalau sampai Ayah tau kamu pendarahan gara-gara aku―"

"Itu bukan salah kamu," potong Sojung. "Itu kesalahanku. Bener-bener karena kecerobohanku."

"Tapi aku yang bertanggungjawab atas kamu," balas Seokjin lagi. "Aku yang minta kamu dari Ayah. Aku yang janji bakal terus ngejagain, bahagiain anak tunggalnya Ayah. Aku ... aku berani ngelakuin itu karena kamu berharga buat aku, Jung. Bukan karena kamu yang pantes buat jadi Ibu sambung Fany. Tapi karena aku sadar kalau kamu emang yang terbaik buat aku."

Sojung menggunakan satu tangannya untuk menghapus titik air mata di ujung mata Seokjin. Sementara pria itu tertawa setelahnya. Bukan karena lucu, tapi malu karena dia telah menangis di depan istrinya.

"That's why ... I'll never let you go. Aku nggak mau laki-laki lain berhasil rebut kamu dari pelukanku, siapapun itu, termasuk Wilson," tambah Seokjin lagi. "Sejujurnya, kalau kamu mau tau, aku patah hati banget, sakit rasanya waktu tau kamu lagi pergi berdua sama Wilson dari Ibu. Kamu udah punya aku ... terus kenapa kamu masih jalan sama dia? Bukan aku ngekang ... well, aku nggak akan bisa jelasin gimana rasanya. Kalau kamu jadi aku, mungkin kamu akan paham gimana rasanya."

Seokjin ternyata semakin terus terang menunjukkan air matanya. Semakin terus terang menunjukkan ketulusannya pada Sojung. Sampai wanita itu kini ikut menitikkan air matanya juga.

"Ternyata aku sejahat itu sama kamu, ya? Kamu tulus ngasih kasih sayang kamu ke aku, sementara aku nggak menyadari itu. Di mata aku justru, aku yang selalu bener, kamu selalu salah. Aku yang selalu jadi korban dalam setiap pertengkaran kita ... padahal justru kamu yang lagi nusuk diri kamu biar aku nggak jadi korbannya," Sojung berkata sambil terisak.

Sojung menghapus jejak air matanya, kemudian berbicara lagi. "Maafin aku. Aku tau kamu tulus sama aku ... tapi aku juga mau kamu tau. Aku ... juga nggak rela kalau sampai pisah sama kamu. Aku mau sama kamu terus. Sampai kita tua, sampai salah satu dari kita pergi. Aku sayang sama kamu. Aku bener-bener nggak akan pernah jatuh cinta sama laki-laki lain, selain kamu. Aku mau kamu ... cuma mau sama kamu."

Seokjin berdiri, mengajak Sojung juga akhirnya. Kemudian mereka berpelukan. Meluapkan rasa emosional masing-masing.

Ini sudah lama, keduanya tak pernah lagi membahas hal yang melibatkan emosi, ketulusan dan kejujuran.

Sekarang ketika pelukan mereka merenggang, mata mereka kembali menatap satu sama lain, keduanya justru tertawa. Ini pengakuan mereka, yang sama-sama tak mau kehilangan satu sama lain.

Seokjin menekuk kakinya, mengelus perut besar Sojung dan mengajak bayinya berbicara―di posisi bawah sesuai yang dokter anjurkan. "Cepet lahir ya, Mama sama Papa nunggu kamu. Kak Fany juga nggak sabar mau lihat kamu. Ayo turun ke bawah, bantu Mama menolak aksi operasi caesar."

Sojung kembali tertawa saat mendengar kalimat terakhir Seokjin. Dia gemas dan langsung mencubit lengan Seokjin di bawahnya. Sementara yang dicubit sempat protes sebentar, namun selanjutnya dia kembali tertawa.

"Jadi, gimana keputusan kamu?" tanya Sojung saat suaminya sudah kembali berdiri dengan sempurna.

"Well, aku sih yes. Nggak pa-pa, toh yang jadi instrukturnya kakaknya, bukan Wilson. Kalau dia ngajak kamu ngomong, atau cari-cari kesempatan buat ketemu kamu, kamu respon sekenanya aja. Jangan terlalu berlebihan, tapi jangan juga terkesan menutup diri. Nanti dia malah makin penasaran," kata Seokjin.

Sojung memasang posisi tegak hormat, dia mengatakan dengan tegas, "Siap, laksanakan, Kapten!"

Seokjin lagi-lagi menarik sudut bibirnya. Dia daritadi sebenarnya sudah memandang Sojung dalam, sampai akhirnya laki-laki itu berniat untuk mencium bibir manis istrinya.

Sayangnya, aksi Seokjin justru harus terhenti karena tangan Sojung mendarat lebih dulu di depan bibirnya. Awalnya Seokjin tak terima, sekaligus bingung karena Sojung menolaknya. Namun tidak lagi, setelah dia mendengar bisikan Sojung, "Itu ada Fany di belakang kamu."

Seokjin spontan berbalik, menyambut Fany dan mulai bersandiwara. "Hei, anak Papa! Ada perlu apa ke sini?"

"Fany haus," jawab Fany sekenanya.

"Mama ambilin minumnya ya, mau?" tawar Sojung menimpali.

Fany mengangguk-anggukan kepalanya. "Thanks, Mama."

"You're welcome, Honey."

― ♡ ―

A/N:
Dah kan, Mama Sojung sama Papa Seokjin udah antisipasi sebelum Wilson menyerang. Jadi jangan takut lagi ya mereka kena serang pebinor, wkakakaka

by the way, jangan lupa tekan bintangnya⭐ biar besok kita bisa ketemu lagi. see you!</3

[2] Emotions; Sowjin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang