🕊.― fiftieth

196 33 20
                                    

Minggu berikutnya, Seokjin sudah mulai bisa beradaptasi. Walau hatinya belum bisa menerima, setidaknya dia harus bersikap sebagaimana setiap harinya.

Berhubung hari ini akhir pekan dan Fany masih di rumah Ibunya, Seokjin memutuskan untuk pergi ke rumah Sojung. Pria itu sebenarnya sudah punya jadwal, bahwa akhir pekan ini dia akan menghabiskan waktu berdua bersama putrinya―tentu saja, kalau Sojung mengizinkannya untuk membawa Hani pulang.

Saat sampai di rumah Sojung, yang Seokjin temui bukan istrinya. Melainkan Ayah mertuanya, bersama Hani di taman halaman rumah. Kebetulan sekali. Seokjin merindukan Hani.

Senyumannya melunak saat Ayah Sojung menyapanya dan mengajaknya masuk. Dia memberikan Hani, karena tahu kalau Seokjin pasti rindu sekali dengan bayi itu. Kemudian pria baya itu memanggil dan memerintahkan istrinya untuk membuat segelas teh hangat untuk menantunya―yang belakangan ini memang mereka nantikan.

"Sojung lagi pergi," cerita Ayah Sojung sambil melepaskan tubuhnya di atas sofa. "Dia ... lagi ngurus semua keperluan berkas-berkas perceraian ke pengadilan."

Seokjin yang tadinya sedang tertawa bersama Hani, mendadak menatap wajah Ayah mertuanya. Tak lama, hanya beberapa detik. Sebelum akhirnya pria itu kembali menunduk, sambil terkekeh dalam suasana hatinya yang pilu.

"Pergi sendiri, Yah?" tanya Seokjin basa-basi. Sambil mengalihkan suasana, agar Ayah mertuanya tak tahu betapa pilunya dia saat ini.

"Ditemenin sama temennya, Wilson," jawab Ayah Sojung.

Seokjin hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Dia mengembalikan fokusnya pada anaknya setelah itu. Pria itu tertawa, menggoda Hani dengan cerianya.

"Kamu kenapa? Berantem sampe nampar Sojung? ... katanya juga udah berkali-kali kalian ribut perkara anak-anak." Ayah Sojung akhirnya memutuskan untuk bersuara segera. Dia meminta penjelasan dari sudut pandang Seokjin.

Seokjin langsung mengangkat kepalanya lagi, lalu bilang, "Saya juga nggak tau kenapa saya begitu. Saya ... nggak bisa ngontrol diri saya." Usai itu dia kembali lagi pada Hani.

Ayah Sojung memutar bola matanya, kemudian mendecak serendah mungkin. "Ada masalah kamu? Masalah yang kamu simpen sendiri selama ini, akhirnya itu yang bikin rumah tangga kamu akhirnya ada di ujung tanduk kayak gini."

Seokjin hanya terkekeh, tak banyak menanggapi. Dia masih asyik bermain bersama Hani. Pria itu melepas jam tangannya saat Hani terus menarik benda tersebut. Saat Hani hendak memasukkannya ke mulut, Seokjin dengan segera mencegahnya. "Ini kotor, Sayang. Nggak boleh, ya ...."

Melihat itu, Ayah Sojung diam-diam mengulum senyumnya. Pria baya itu kembali pada topik sebelumnya. "Seharusnya emang dari awal, kamu bisa lebih terbuka sama Sojung. Apa yang lagi ganggu di pikiranmu, harusnya segera kamu ceritain ke Sojung. Kalian 'kan bisa diskusi bareng-bareng, nentuin jalan keluar yang terbaik. Kamunya juga lega kalau udah cerita. Jangan nunggu kayak gini dulu ... baru kamu nyesel."

Seokjin sempat membatu sesaat, dia mengangkat kepalanya lagi untuk menatap Ayah mertuanya. Saat sadar tatapan matanya itu berbalas, Seokjin langsung terkekeh. Dia melempar tatapan ke arah yang lain.

― ♡ ―

Mobil Wilson berhenti tepat di depan gerbang. Melihat ada mobil lain yang mengambil tempat di halaman rumah, laki-laki itu lantas berpikir akan memarkirkan mobilnya di samping rumah Sojung.

"Itu mobil suami lo bukan sih?" tanya Wilson sambil melepas seatbelt yang melekat pada tubuhnya.

Sementara wanita yang duduk di kursi penumpang tepat di sampingnya lantas mengangguk. "Mau ketemu Hani kali dia. Udah seminggu lebih 'kan dia nggak ketemu anak itu."

Sojung turun dari mobil, kemudian masuk ke rumahnya. Dari depan pintu, Sojung sudah melihat bagaimana riangnya bayi perempuan yang dia cinta. Senyum di wajahnya tampak jelas, pria yang memangkunya juga terlihat jelas oleh Sojung. Bahkan Ibu dan Ayahnya, ikut merasakan emosi bahagia di ruangan itu.

Saat salah satu dari mereka menyadari kehadiran Sojung dan laki-laki lain di belakangnya, Sojung tersenyum dan mengucapkan salam. Dia berjalan mendekat, menghampiri kumpulan orang yang tadi sedang tertawa bersama.

"Mama udah pulang." Bisikan Seokjin pada Hani itu dapat Sojung dengar dengan jelas. Dia lantas mendekat pada Hani yang ada di pelukan suaminya. Dia mencium pipi Hani sekilas, sebelum berdiri menjauh lagi dari Seokjin.

"Habis dari mana, Jung?" tanya Seokjin basa-basi. Sebenarnya dia sudah tahu, karena tadi Ayah mertuanya sudah memberitahu.

"Pengadilan. Untuk urus berkas-berkas perceraian kita," jawab Sojung dengan nada ragu. "Bulan depan, sidang pertama. Kalau kedua pihak udah sepakat, kita resmi pisah saat itu juga."

Seokjin menghela napas dalam diam. Dia mengukir senyuman palsu, sambil menatap kehadiran Wilson di belakang Sojung. Pria itu akhirnya membenarkan posisi Hani dalam pelukannya. Setelahnya dia berkata, "Saya izin bawa Hani sampai besok, boleh? Besok pagi atau sore, saya bawa lagi dia ke sini." Takut Sojung meragukannya, pria itu meyakinkan Sojung sekali lagi, "Cuma satu hari."

Sojung lama diam, tak mengucapkan apapun. Tapi setelahnya dia mengangguk. "Hani juga anak kamu, kamu berhak atas dia. Jaga dia baik-baik, ya?"

Seokjin yang bahagia lantas mengangguk semangat. "Makasih, udah ngasih izin. Kedepannya saya janji, Hani pasti kembali dengan selamat."

Sojung mengangguk, lalu meminta Seokjin untuk menunggu sebentar. Dia ke belakang untuk menyiapkan segala keperluan milik Hani. Seperti popok, baju dan celananya, serta ASI Sojung yang disimpan di kulkas. Semua itu dia masukkan ke dalam tas, lalu perempuan itu dengan cepat kembali ke depan.

Dia memberikan tas itu pada Seokjin sambil berkata, "Semua keperluan Hani ada di dalam tas ini."

Seokjin lantas menerima tas ransel itu dari tangan Sojung. Lalu dia berterimakasih, serta segera pamit untuk pergi dari sini. Selain karena gugup harus berhadapan dengan Sojung lama-lama, Seokjin juga malas di sini karena ada Wilson yang tampaknya makin gencar mendekati Sojung.

"Seokjin, tunggu." Sojung, wanita beranak satu itu menghentikan langkah kaki suaminya.

Sementara yang dipanggil, dia menatap Seokjin seolah bertanya. "Kenapa?"

Sojung mendadak gugup. Dengan sedikit getaran dan salah tingkah, wanita itu menjawab, "Kalau nanti malem Hani nangis, tolong segera telfon saya. Anak itu belakangan ini emang sering nangis tengah malem."

Seokjin terkekeh, dia mengangguk setelahnya. "Iya, nanti akan saya telfon kalau terjadi sesuatu yang nggak bisa saya tanganin sendiri."

Sojung mengangguk. Dia lantas mengecup pipi anaknya sebelum melambaikan tangan, melepas kepergian Hani bersama Ayahnya.

Saat dia kembali, Wilson mendekatinya. Laki-laki itu berkata, "Dia nggak ngelakuin ini buat jadiin Hani alat, 'kan?"

Sojung mendadak bingung. Dia lantas menatap Wilson. "Alat?"

"Bisa aja, Seokjin niat untuk nyulik Hani, biar lo sama dia nggak jadi pisah. Lo ... ngerti 'kan maksud gue?"

Sojung segera menoleh ke arah kepergian Seokjin, matanya membelalak dan akan segera berlari kalau Ayahnya tak mencegahnya. "Sojung, jangan!"

Sojung menoleh pada Ayahnya. "Tapi Ayah, gimana kalau yang Wilson bilang itu beneran? Seokjin 'kan nggak mau pisah sama Sojung. Sojung takut Hani beneran dibawa kabur Seokjin."

"Seokjin nggak akan kayak gitu," kata Ayahnya. "Ayah yang jamin!"

Sojung menunduk. Hatinya tetap tak tenang. Perkataan Wilson membuatnya berpikir.

"Kasih waktu untuk Seokjin main sama Hani sebentar, Jung. Seokjin itu Ayah Hani, dia nggak mungkin tega ngelukain anaknya," timpal Ibu Sojung.

Pundaknya dirangkul kemudian oleh Ibu Sojung. "Udah, sekarang kamu istirahat aja. Tenangin pikiran kamu."

"Seokjin nggak akan ngelukain Hani, Jung ...," final Ibu Sojung sambil menuntun anaknya untuk kembali ke kamar tidurnya.

♡ ―

Author's Note:
biar malming kita ketemu lagi di part 51, bisa yuk 25 bintang😉
see you!</33

[2] Emotions; Sowjin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang