🕊. ―twenty second

190 33 4
                                    

Usai merapikan dan membereskan semua pekerjaan rumahnya, Sojung pergi lagi menuju rumah Ibunya. Dia bosan, dia kesepian, karena kemungkinan sampai malam nanti, dia pasti masih sendirian.

Jadi daripada diam di rumah sendirian, Sojung lebih ingin bersama Ibunya di rumah. Dia juga mau bicara, mengenai proses melahirkan yang kurang lebih dua bulan lagi akan ia alami.

Dia mengemudikan mobilnya dengan baik, sampai akhirnya tak terasa dia sudah tiba di depan rumah Ibunya.

Pintu rumah Ibunya langsung terbuka, tapi bukan untuk menyambut kedatangan Sojung. Melainkan untuk mengantar tuan rumah yang baru saja akan kembali ke kantornya lagi.

"Ayah? Tumben belum berangkat jam segini?" tanya Sojung basa-basi.

Ayahnya tersenyum begitu lebar saat tahu putrinya datang berkunjung. "Iya, ada barang Ayah yang ketinggalan tadi."

Mata pria paruh baya itu beralih pada perut Sojung yang membesar. Dia bilang, "Waduh, cucu Ayah bentar lagi lahir dong, ya? Udah besar banget perut kamu, Jung."

Sojung menjawab, "Iya. Doain aja, semoga nanti dilancarin persalinannya."

Ayah Sojung bilang, "Pasti dong, Ayah selalu doain yang terbaik." Setelah itu Ayah Sojung bergegas pamit, "Udah dulu ya, Ayah lagi buru-buru nih, mau ada rapat. Pergi dulu ya, Bu, Sojung."

Ibu Sojung dan Sojung sendiri lantas membiarkan dan mempersilakan Ayah Sojung pergi kembali ke kantornya. Mereka juga melambaikan tangan, sebagai bentuk ucapan selamat tinggal.

Kemudian Ibu Sojung menyuruh putrinya masuk. Tanpa ragu, Sojung pun melangkahkan kakinya dan mendudukkan diri di sofa. Dia menghela napas, merelaksasikan tubuhnya. Sebelum dia berbicara pada Ibunya.

"Bu, Sojung mau nanya," tanya Sojung.

Ibu Sojung langsung duduk di samping wanita itu, kemudian dia menjawab, "Tanya soal apa?"

"Persalinan," jawab Sojung. "Rasanya ... sakit, ya?"

Ibu Sojung tersenyum. "Kalau Ibu bilang nggak, Ibu bohong sih, Jung," katanya. "Tapi ... setelah anak kamu berhasil lahir, rasanya itu lega banget deh. Terharu juga karena akhirnya selama sembilan bulan, kamu bisa ngeliat anak kamu secara langsung."

Sojung menyandarkan kepalanya di dada Ibunya. Dia juga meraih jemari tangan Ibunya untuk digenggam. "Sojung takut banget, Bu. Apalagi, Sojung belum tentu bisa lahiran normal. Kalau ternyata ... Sojung harus operasi dulu gimana?"

"Bukannya malah enak dioperasi? Kamu 'kan tinggal tidur aja, nanti dikasih obat bius, nggak perlu usaha apa-apa," kata Ibunya.

"Tapi pasca operasinya 'kan, pasti akan ada efek sampingnya, Bu," kata Sojung. "Sojung ... Sojung bukan mau nyalahin anak ini, nggak mau nyalahin Seokjin juga. Tapi emang Sojung bener-bener belum siap buat melahirkan, Bu. Sojung belum cukup dewasa."

Ibu Sojung membelai halus rambut putrinya. "Perlu kamu tau, ini emang resiko untuk kamu yang menikahi laki-laki dengan umur yang jauh lebih dewasa dibanding kamu. Seokjin itu lebih dewasa lima tahun dari kamu, kalau dipikir lagi usia dia waktu nikah sama kamu itu udah cukup matang. Jadi ya, kalau keadaannya begini, mau nggak mau kamu yang harus berubah."

"Berubah jadi lebih dewasa?" tanya Sojung menebak. "Udah berulangkali Sojung coba, Bu."

"Bukan cuma itu aja, kamu juga harus ubah sudut pandang kamu. Kamu itu nikah sama Seokjin, bukan cuma jadi istri ... tapi juga jadi Ibu buat Fany," kata Ibu Sojung. "Kalau Ibu perhatiin juga, kamu udah cukup dewasa sekarang. Kamu bisa ngurus suami sekaligus anak kamu, bahkan saat kondisi kamu lagi hamil besar kayak gini. Ibu bangga sama kamu."

[2] Emotions; Sowjin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang