🕊. ―thirty ninth

180 30 28
                                    

Cahaya dari ruangan luar menyapa kamar Fany. Setelahnya, Fany tahu bahwa Ibunya masuk dan melempar senyumannya. Di tangan Ibunya itu, ada kotak yang Fany tebak adalah kotak P3K.

Ibunya semakin mendekat, begitu tiba, Wanita itu langsung mengelus pipi Fany. "Udah mandi, Sayang?" tanya Ibunya sambil ikut duduk di tepi ranjang.

"Udah, baru aja selesai bersih-bersih," jawab Fany. Mata Fany kembali pada pintu kamarnya yang belum tertutup. Ayah beserta adiknya, menyusul masuk ke dalam kamar.

"Kapasnya Mama buka, ya? Mau Mama liat lukanya, udah kering atau belum," kata Sojung sebelum Fany mengangguk dan memberikan izin.

Pelan-pelan, hati-hati dan penuh kasih sayang, Sojung membuka kapas dan plaster yang menutupi luka di dahi Fany. "Sakit, Fan?" tanya Sojung saat menyadari ekspresi Fany berubah, merapatkan gigi atas dan bawahnya, lalu menutup mata seolah bersiap akan rasa sakit yang akan dia hadapi.

Tanpa membuka mata, Fany menggeleng. "Nggak terlalu, Ma."

Sojung tertawa, kemudian dia melepas kapas dan menaruhnya di atas nakas―samping tempat tidur Fany. "Udah tuh, udah dilepas kapasnya," kata Sojung.

Fany kembali membuka matanya, kemudian tertawa malu-malu ketika terjadi kontak mata dengan Sojung.

Sementara Sojung sendiri, tak berlama-lama menatap mata Fany, dia beralih melihat luka yang ada di dahi Fany. "Udah kering kok ini, Fan. Bentar lagi sembuh. Cepet 'kan?"

"Biar cepet juga waktu lukanya berdarah kemarin sakit," timpal Seokjin tiba-tiba. "Makanya kamu kalau anak lagi main itu diawasin, jangan malah tidur."

"Iya, maaf ...," kata Sojung.

Fany menatap ayahnya sebentar. Setelah itu dia bilang, "Bukan salah Mama Sojung doang kok, Pa. Ini salah Fany juga, yang main nggak izin dan nggak hati-hati."

"Kalaupun nggak izin, nggak hati-hati, kalau Mamamu bener ngejagain mah hal kayak gini nggak akan kejadian, Fan," kata Seokjin.

"Jadi maksudnya Papa, Mama salah, gitu?" tanya Fany.

Sojung mendesis, dia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengambil alih arah tatapan Fany. Dia bilang, "Udah. Nggak usah diperpanjang. Pokoknya lain kali, Fany nggak boleh jauh-jauh dari Mama, ya? Nggak boleh lepas dari awasan Mama. Kalau mau main, harus izin dulu. Oke?"

Fany mengangguk, menuruti apa yang Ibunya ucapkan. "Oke, Ma. Maaf ya, gara-gara Fany, Mama jadi begini."

"No no no, jadi begini ... gimana maksudnya?"--Sojung tertawa--"Orang Mama baik-baik aja kok. Fany nggak usah khawatir kayak gitu."

Sojung mengambil satu plaster dan antiseptik dari dalam kotak, selanjutnya dia kembali menangani luka Fany. "Karena udah mulai kering, pake plaster aja nggak pa-pa, ya? Biar Fany lebih nyaman juga."

Fany mengangguk-anggukan kepalanya. Dia menunggu Ibunya selesai memasang plaster pada lukanya. Kemudian tersenyum dan berterimakasih pada Sojung karena sudah menangani lukanya dengan baik. "Makasih ya, Ma."

Sojung mencubit dan mencium bibir Fany. "Sama-sama, Sayang." Setelahnya wanita itu kembali merapihkan barang-barang yang sempat dia gunakan, dan membuang barang-barang yang sudah dipakai untuk luka seperti kapas dan plaster yang kemarin.

"Udah, yuk. Kita pergi sekarang," celetuk Seokjin tiba-tiba, yang juga membuat Fany bingung.

"Mau pergi kemana kita, Pa?" tanya Fany.

"Ke supermarket, Sayang," jawab Sojung. "Mau beli bahan-bahan untuk makan malam dan keperluan rumah. Sekalian nanti mampir ke mall, kita jalan-jalan sambil cuci mata."

Mata Fany langsung berbinar, dia tersenyum ceria. "Wah, asik dong! Fany mau banget ikut pergi!"

Sojung tertawa lagi, gemas akan tingkah lucu Fany. "Yaudah ayo, kita jalan sekarang."

Sambil bergandengan tangan bersama Fany, sebelah tangan Sojung menutup pintu kamar Fany. Dia juga sempat menyimpan kotak P3K yang ia bawa kembali ke tempatnya.

― ♡ ―

Seokjin membawa Hani dalam pelukannya, sementara Sojung dan Fany mendorong keranjang belanja yang sudah mulai terisi oleh banyak barang dan bahan makanan. Mereka membeli banyak kebutuhan, dari makanan ... hingga keperluan dapur dan keperluan rumah tangga yang lain.

Roda troli berputar lancar tanpa kendala, hendak menuju meja kasir. Namun, roda tersebut terpaksa perlahan harus berhenti, sebab sang empu―orang yang memberikan gayanya untuk troli dapat bergerak―bertemu dengan orang yang dia kenal.

"Jung, kebetulan banget ketemu di sini," kata laki-laki yang ditemui Sojung. Laki-laki itu memasang senyuman, lumayan manis lantaran senyuman yang diberikan adalah senyuman tulus.

"Iya, gue lagi belanja," jawab Sojung. "Lo jadi ngumpul sama anak-anak?"

Wilson mengangguk-anggukan kepala. "Yakin lo nggak mau ikut? Ini cuma sekali loh, Jung. Belum tentu besok-besok ada acara kayak begini lagi."

"Nggak deh, repot gue," kata Sojung. "Gue 'kan punya anak kecil, nggak bisa nanti dia takutnya rewel. Apalagi berisik 'kan nanti pasti."

Wilson menatap Seokjin sekilas yang sambil menimang Hani. "Papanya Hani 'kan ada. Tinggal aja Hani sama Papanya, Mamanya biar pergi dulu sebentar."

"Kamu pikir, kamu ini siapa?" Seokjin berbicara, dengan nada super juteknya. "Berani kamu maksa istri saya begitu? Kamu pikir kamu siapanya dia? Ada hak apa kamu atas istri saya?"

Wilson tertawa satu sudut. "Sorry loh, ya. Saya sebenernya nggak ada niat untuk nyinggung. Saya cuma memberi saran, sama sekali nggak ada unsur paksaan dalam kalimat saya."

Seokjin balas tertawa renyah. "Yakin nggak ada unsur paksaan? Bukannya kamu kepengen banget Sojung ikut, biar kamu punya lebih banyak waktu buat pergi berdua sama Sojung?"

Wilson makin tertawa ketika mendengar kalimat Seokjin. "Bener ya ternyata, anda ... se-overprotective itu sama Sojung―oh, atau ... jatuhnya malah terlalu posesif. Terlalu otoriter, padahal saya tau kalau Sojung itu bukan tipe orang yang gampang nurut kalau dikasih perintah apalagi dilarang."

Seokjin mendesah berat, dia menghela napas kasar. Sedetik kemudian dia melirik Sojung, mengangkat dagunya seolah memerintahkan Sojung untuk melanjutkan jalannya dari pada harus meladeni Wilson yang semakin ke sini, semakin meracau tak jelas ke mana arah bicaranya.

Sebelum pergi, Sojung melayangkan tatapan kecewa pada Wilson. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. "Harusnya lo nggak kayak gini, Wil. Nggak usah sok tau apalagi ikut campur dalam urusan rumah tangga gue. Lain kali, hati-hati kalau ngomong."

"Sorry, Jung ...."

"Gue duluan. Have fun ya, sama temen-temen! Bye!"

Wilson akhirnya hanya bisa menarik napas panjang dan mendesah pasrah. Dia terus melihat kepergian Sojung dan keluarganya, sampai wanita itu benar-benar menghilang seakan tertelan oleh jarak yang memisahkan ruang.

― ♡ ―

A/N:
guys, aku lagi bingung, hehew. aku tu kan mau prepare cerita baru (aku sendiri ga yakin emotions tamat di part berapa nanti(?)) karena niatnya cerita baru itu mau dipublish sebelum emotions bener-bener tamat.

nah menurut kalian, enak publish story yang after marriage (mirip-mirip sama marriage life gitu temanya) atau yang seokjin-sojung masih muda―I mean, kayak love story gitu, hohoho.

option terakhir, dua-duanya dipublish (main sequel-sequelan lagi kita :D)
kalau sempat kasih komentar kalian ya. see you!</3

[2] Emotions; Sowjin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang