🕊. ―fifty ninth

247 36 24
                                    

"Seokjin ngajak Sojung ke luar kota, untuk lima hari. Tapi dia bilang, ini cuma untuk kami berdua. Jadi, Hani ... tetep di sini sama Ayah dan Ibu."

Dua belas jam sudah berlalu, sejak saat wanita itu menjelaskan apa yang akan suaminya lakukan untuk memertahankan pernikahan mereka. Saat itu, kedua mata orang tua Sojung tampak berbinar. Tapi sepertinya mereka berusaha menjaga atau menahan ekspresi mereka di hadapan Sojung.

Ayah dan Ibu Sojung tidak mengucapkan kata apa-apa setelah dia sampaikan begitu, selain kalimat, "Pergi, Jung. Penuhin keinginan suamimu. Seenggaknya, jadiin momen ini adalah momen bakti terakhir yang bisa kamu lakuin untuk dia."

"Ayah bener, Jung. Kalau setelah itu kamu masih mau pisah, nggak ada yang bisa maksa kehendak kamu. Kamu berhak untuk dapet kehidupan yang kamu mau," tambah Ibu Sojung. "Masalah Hani, Ibu pikir dia akan baik-baik aja. Ibu sama Ayah, pasti jagain dia kok."

Ayah dan Ibunya mendukungnya. Mendukungnya untuk menentukan pilihan terbaik untuk hidupnya. Ibunya bilang, dia berhak untuk dapat kehidupan yang dia inginkan.

Tentu saja, Sojung ingin hidup bahagia.

Namun, berpisah dengan laki-laki yang selama ini bersemayam dalam hatinya, sebenarnya bukan kehidupan yang dia inginkan.

Mana ada wanita, yang mau hidup menjanda dan berani menjadi single parent di usia muda?

Sojung menertawakan dirinya, pilihannya, juga takdir semesta yang menimpanya. Sialan! Kenapa harus semiris ini? Memangnya tidak ada wanita lain yang mampu menerima beban di pundaknya ini selain dia sendiri?

"Udah bawa semuanya, Jung? Yakin, nggak ada yang ketinggalan?" tanya Seokjin sambil mengambil alih koper yang tadi dia bawa dari dalam. Wanita itu kemudian menggeleng, dia bilang sudah cukup dan tidak ada yang tertinggal.

Kemudian Seokjin membawa koper itu ke dalam bagasi taksi. Sementara Sojung berbalik ke belakang, menemui anaknya dan mengucapkan salam perpisahan untuk sementara. "Hani, nanti jangan nyusahin Oma, ya? Jadi anak yang baik, selama Mama pergi. Oke?" Bibir wanita itu mendarat tepat di seluruh bagian wajah Hani; pipi, dahi, hidung, bahkan bibir Hani juga ikut mendapat bagian.

Saat Seokjin kembali mendekat, pria itu juga pamit pada semua orang yang menyaksikan kepergian mereka dari sana. Pria itu pamit pada Ibunya, Fany, Ayah dan Ibu mertuanya, juga anak gadis kesayangannya; Hani.

Pria itu menyematkan lima jarinya di antara lima jari tangan Sojung. Dia tersenyum di hadapan keluarga besarnya yang berdiri sejajar, dia menunduk sebentar dan melambaikan tangan pada mereka semua. Dia menarik Sojung dan membawa wanita itu ke dalam taksi.

Suami dan istri yang sebentar lagi berpisah itu dalam perjalanan, menuju tempat tujuan mereka. Seokjin bilang, mereka akan pergi ke luar kota ... tapi Sojung belum tahu pasti, kota mana yang mereka akan kunjungi.

"Amsterdam."

Begitu Seokjin menyelesaikan ucapannya, mata Sojung membesar. Seokjin tidak pernah bilang kalau mereka akan pergi ke luar negeri. "Tapi kamu bilang, kita mau ke luar kota."

"Amsterdam memangnya negeri? Dia kota 'kan?" tanya Seokjin sambil menertawakan tipuannya.

"Tapi itu kota di Belanda, di Eropa. Kamu itu bicara nggak sesuai fakta," kesal Sojung.

Seokjin makin tertawa. Dia lantas mengangkat tangan Sojung yang masih menyatu dengan tangannya. Dia mengecup punggung tangan Sojung dan berkata, "Maaf, Sayang."

Sojung menatap Seokjin tanpa menggerakkan pupilnya. Antara terlalu fokus, atau karena memang dia tak bisa mengendalikan apapun yang ada pada dirinya lantaran dia membeku ... karena ulah Seokjin yang kembali memanggilnya dengan sebutan manis.

[2] Emotions; Sowjin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang