🕊. ―sixtieth

311 37 32
                                    

Asap muncul saat Seokjin menghela napas di udara dingin seperti ini. Dia yang tadinya bersandar pada kepala kursi, sekarang meletakkan beban badannya pada tangan yang ia lipat di atas meja.

Ini malam terakhir, keduanya ada di kota asing yang sekarang menyimpan kenangan manis keduanya. Besok mereka akan kembali ke tempat asal, beristirahat sebentar ... lalu kembali bertemu di gedung pengadilan tempat di mana agenda besar mereka dilaksanakan.

Seokjin tidak bisa terus-menerus menipu perasaannya, dia tidak bisa terus-menerus bersembunyi dari kenyataan yang akan segera terjadi. Sampai akhirnya air mata hadir di penghujung mata tanpa ia sadari.

Cuaca di sini memang sangat dingin, tapi Seokjin tiba-tiba membeku bukan karena itu. Dirinya membatu saat tangan Sojung bergerak, menghapus air mata di ekor mata pria itu.

"Ini malam terakhir kita di sini. Sebelum kembali ke kamar hotel, ada yang mau kamu bicarakan ke saya?" tanya Sojung sambil menatap Seokjin lurus. Namun di akhir kalimatnya, wanita itu menarik kedua sudut bibirnya, berharap Seokjin terhibur karena itu.

Seokjin menunduk sejenak, lalu membalas senyuman Sojung. "Saya akan mulai dari ... alasan kenapa saya menurut kamu lebih suka Fany dibanding Hani."

Saat Seokjin berkata begitu, Sojung merasakan suasana hati yang penuh kecewa. Sampai sekarang, Sojung masih percaya bahwa Seokjin memang lebih memihak pada Fany dibanding anak kandungnya; Hani.

"Y-ya, silakan ...." Sojung gugup, walau sebenarnya di dalam hati dia berusaha meredam semua bentuk emosinya.

"Saya ...." Seokjin menggantung kalimatnya, memandang Sojung dengan penuh keraguan. Namun, kalau bukan sekarang, di masa depan pun Sojung tidak akan pernah peduli apa alasannya di balik semua sikapnya yang belakangan berubah menjadi laki-laki penuh emosi.

"Waktu Fany jatuh, saya khawatir karena ... saya udah anggap dia seperti anak sendiri. Kamu juga gitu, 'kan?"

Sojung mengangguk. "Tapi ... saya jauh lebih sayang Hani. Bukan maksud membedakan, tapi ... Hani lahir dari rahim saya. Rasanya nggak adil buat Hani kalau dia harus dapet kasih sayang dari Ibunya yang besarnya sama seperti Ibunya sayang sama kakak ... sepupunya."

Seokjin menghela napas. Lagi-lagi asap berkabung di depan mulut Seokjin. "Saya merasa bersalah sama Yoona."

Sojung membelalakan matanya spontan. Yoona. Bagaimana bisa dia melupakan wanita baik berhati malaikat yang banyak berjasa bagi hidupnya itu. Bodoh. Sojung benar-benar bodoh.

"Saya tau, walau saya merasa bersalah karena nggak bisa jagain Fany, saya harusnya nggak marahin dan terus mojokin kamu," lanjut Seokjin.

Wanita di hadapan Seokjin menggeleng cepat. "Nggak! Kamu nggak salah, kamu berhak marahin saya karena saya bener-bener lalai," lirih Sojung. "Ah, bodoh! Kenapa bisa saya lupa atas kebaikan Bu Yoona."

Sojung menangis, merasa menyesal. Dia memukul-mukul kepalanya, sambil mengumpat untuk dirinya sendiri. Suaminya tentu saja tak tinggal diam. Pria itu menarik tangan Sojung dan berusaha menarik perhatiannya. "Bukan. Bukan salah kamu, Jung ...."

"Tapi―"

"Yoona nggak masalah," potong Seokjin. "Dia ikhlas ngasih matanya ke kamu. Dia nggak pernah nuntut balasan apapun dari kamu."

Sojung makin menangis. "Seokjin, gimana? Gimana kalau Bu Yoona kecewa sama saya? Fany ... saya harusnya sayang sama Fany kayak saya sayang sama Hani, 'kan?" Sojung menatap Seokjin dengan sisa air mata di penghujung matanya. "Seokjin ...."

Seokjin menggelengkan kepalanya. "Lupain," kata Seokjin. "Anggap seolah saya belum bicara apapun sama kamu."

Takut kalau Sojung masih mengabaikannya, Seokjin berbicara lagi. "Saya masih harus jelasin, alasan kenapa saya bisa ... kelepasan nampar kamu waktu di rumah sakit."

[2] Emotions; Sowjin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang