🕊. ―fifty fourth

198 31 15
                                    

Usai memandikan Hani, Sojung menitipkan bayi itu sebentar pada Seokjin. Sebab, giliran wanita itu yang bersiap. Walau sama sekali tak melakukan hal yang berlebihan, Sojung harus tetap kembali ke rumah dengan keadaan segar.

Cepolan rambutnya terpasang dengan sangat rapih dan manis, dia mengambil alih Hani kembali lalu berjalan keluar membuntuti Seokjin. Wanita itu memilih untuk pulang, ke rumah orang tuanya, karena dia pikir dia sudah tidak ada urusan lagi di rumah ini.

Dirinya dan Seokjin akan segera berpisah, setelah sidang pertama selesai dan surat keputusan keluar dari pengadilan. Tanpa dia tahu, sebenarnya Seokjin sangat menginginkan perubahan keputusan Sojung. Seokjin ingin rumah tangganya terus berlanjut, sampai mereka berdua bahagia melihat kesuksesan anak-anak mereka.

Pintu mobil tertutup, sabuk pengaman pun sudah terpasang dengan benar. Pedal gas diinjak kemudian. Tangan Sojung memutar musik dengan volume rendah namun tetap bisa dinikmati.

Mereka berdua, dalam perjalanan menuju rumah orang tua Sojung. Tadi malam, mungkin adalah momen terakhir mereka bisa bersama. Andai Seokjin punya satu kesempatan di antara tujuh keberuntungan, Seokjin ingin meminta untuk menyelamatkan pernikahannya.

Seokjin memang masih dalam proses introspeksi diri. Namun, jika hanya dia yang mengintrospeksi, sementara Sojung tidak mau menoleh lagi pada masa lalu dan berpegang teguh pada pendiriannya untuk masa depan. Rasanya ... sia-sia.

"Sojung, ini emang mungkin bisa nyinggung kamu, tapi saya harus nanya ini sebelum terlambat," kata Seokjin sambil menurunkan laju mobilnya. "Apa nggak bisa, rumah tangga kita diselamatkan?"

Sojung yang dari awal sudah menduga, tak terkejut sama sekali. "Ini demi kebahagiaan kita semua. Saya udah pikirin semuanya, dari jauh-jauh hari. Saya nyerah bukan untuk menyelamatkan diri saya doang, tapi juga untuk Pak Seokjin, Fany, juga Hani."

Sojung melanjutkan lagi. "Kalau kita paksa terus jalan, bukan nggak mungkin kita berantem lagi di masa depan. Suara teriakan-teriakan kita kalau lagi berantem, nggak akan pernah bisa ditutupin selamanya. Cepat atau lambat, Fany dan Hani saat dewasa nanti pasti akan tau, kalau orang tuanya suka ribut."

Seokjin menarik napas, menundukan kepalanya. "Ini semua emang salah saya." Seokjin mengangkat lagi kepalanya, kembali fokus pada lintas jalan yang mobilnya lewati. "Kalau emang bener kita nantinya akan hidup masing-masing, saya harap kamu dan Hani bisa bahagia, dengan laki-laki pengganti yang tepat."

"Kamu juga berhak bahagia," kata Sojung. "Cari pengganti saya secepatnya. Ibu udah mulai tua, nggak akan sanggup lagi buat urus Fany yang sekarang lagi aktif dan dalam masa pertumbuhan. Fany butuh sosok ibu."

Seokjin menggelengkan kepala, sambil tersenyum getir. Dia berusaha menahan emosinya, air matanya tak boleh ia keluarkan sekarang. "Kalau kamu aja nyerah sama saya, saya nggak akan cari perempuan lain lagi buat bikin nasib dia sama kayak kamu. Pernikahan saya gagal karena kesalahan saya sendiri, jadi saya nggak akan pernah mau bangun rumah tangga lagi."

Seokjin menoleh, menatap Sojung dengan penuh harap. "Kecuali, kamu mau perbaiki rumah tangga kita sama-sama."

― ♡ ―

Seokjin menarik kursi, dia duduk dan menyandarkan tubuhnya pada kepala kursi kemudian. Menatap lawan bicaranya tanpa ekspresi.

"Ada apa sih, anda ajak saya untuk bertemu di sini?" tanya lawan bicara Seokjin; Wilson.

Seokjin mengangkat bahunya acuh, sambil menggerakkan kepalanya ke bawah. "Duduk. Nggak sopan kalau kita bicara dengan posisi kayak sekarang."

Wilson mendengus, namun dia tetap menuruti Seokjin. Dia duduk dan melipat tangannya di depan dada. "Apa?"

Seokjin mengangkat satu bibirnya untuk tersenyum. "Soal Sojung," jawab Seokjin. "Kamu tau kalau saya dan Sojung sebentar lagi akan pisah 'kan?" Seokjin menetralkan ekspresi wajahnya lagi. "Kayaknya ... makin gencar ya, usaha kamu buat deketin Sojung. Kamu mau gantiin posisi saya, sebagai suami Sojung?"

Wilson tertawa satu sudut. "Anda takut, saya ambil hati Sojung secepat itu? Takut kalau anda sendiri yang masih sendiri dan sakit hati, sementara Sojung dan Hani bahagia sama saya?"

Seokjin tertawa. "Nggak, saya sama sekali nggak kepikiran sampe situ. Saya ke sini cuma mau ajak kamu buat kesepakatan."

Wilson mengerutkan keningnya, dia menatap Seokjin lebih seksama. "Apa? Kesepakatan apa lagi?"

Seokjin dengan santai menjawab, "Hitam di atas putih, yang berisi janji bahwa kalau kamu benar laki-laki yang dipilih Sojung nanti untuk menjadi suaminya, kamu harus bahagiakan dia."

Wilson tertawa, dia memandang remeh Seokjin yang mengungkapkan hal konyol seperti itu. "Anda tidak perlu bilang begitu. Dari dulu―dan memang seharusnya, dia bahagia hidup bersama saya."

"Saya belum selesai berbicara," ujar Seokjin sambil menatap Wilson tajam.

"Apa? Apa lagi yang belum anda katakan, katakan semuanya," kata Wilson, begitu angkuh, karena sudah muak dengan Seokjin.

"Kalau saya dengar Sojung terluka sama kamu, setetes air mata karena pertengkaran kalian jatuh dari mata Sojung," ucapan Seokjin sempat terjeda karena dia menatap Wilson dengan raut tegas. "Kamu ... yang akan saya cari dan habisi! Bahkan, kalau bisa saya nggak akan segan untuk rebut Sojung lagi dari kamu!"

Wilson makin muak dengan pria yang sebentar lagi resmi menjadi mantan suami temannya itu. Dia memutar bola mata dan sedikit menolehkan kepalanya ke samping karena benar-benar merasa muak. "Tidak ada hak apapun anda ikut campur dengan urusan rumah tangga kami nanti. Mau saya dan Sojung bertengkar sampai salah satu dari kami masuk rumah sakit pun, anda sudah tidak punya hak atas dia lagi. Anda hanya masa lalunya!"

Seokjin mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, juga sebuah pena, sebagai alat. "Kalau kamu menandatangani kertas ini, itu berarti kamu bersedia kalau saya sedikit ikut campur dengan urusan rumah tangga kalian."

"Kalau begitu, saya tidak akan pernah mau menandatangani kertas konyol itu," jawab Wilson sambil berdiri. Laki-laki itu memasukkan tangannya ke dalam saku. "Anda membuang banyak waktu saya."

Seokjin terkejut akan sikap Wilson yang menolaknya. Dia menatap Wilson dengan tatapan tidak suka. Apalagi setelah laki-laki itu bilang bahwa dia telah membuang banyak waktu laki-laki sialan itu.

"Saya pulang, pembicaraan kita selesai," kata Wilson. "... dan satu lagi, tidak―akan―ada yang pernah disepakati di antara kita berdua."

Saat Wilson melangkah pergi, Seokjin sempat mencegahnya. "Hei, Wilson! Pembicaraan dan kesepakatan kita belum selesai!"

Maka ketika Wilson hilang dari jangkauan penglihatannya, Seokjin mendesah lalu mengumpat. "Sialan!"

♡ ―

A/N:
kayaknya bapak nyerah ga si? pasrah dia
mau lepas mama sojung 😭😭😭

yuk liat chapter depan, papa beneran nyerah gak. sampai ketemu! salam bintang🌟⭐ </3

[2] Emotions; Sowjin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang