Part 22

722 85 23
                                        

Part 22
.
.
.
We Love Each Other

Now playing ^Bukti - Virgoun^

Pagi ini, dengan seragam lengkap dan ketampanan paripurna, Deven duduk di atas motor sambil memeluk helmnya yang bertengger di atas tangki. Remaja yang beberapa tahun lalu masih berpipi tembam itu kini menjelma menjadi 'cowok baik' kalau kata Anneth. Ia semakin dewasa dengan rahang tegas dan jakun yang bisa membuat kaum hawa memekik seketika.

Kali ini Deven merangkap seragam marun-dongkernya dengan jaket bomber warna biru gelap. Ia tengah menunggu Anneth di basement. Hari ini adalah hari pertama mereka berangkat bersama lagi setelah resmi berpacaran. Iya, berpacaran. Deven tak bosan untuk menegaskan bahwa mereka telah BER-PA-CA-RAN. Hari pertama pula setelah kaki Deven benar-benar pulih dan kembali bersekolah setelah dua minggu mendekam di apartemen.

Tak lama kemudian, gadis cantik yang dinantikan kehadirannya oleh Deven muncul dari balik jajaran mobil di basement. Anneth berjalan anggun dengan senyum malu-malu dan rona di pipi yang jelas-jelas bukan efek blush on. Sekadar informasi, Anneth tak pernah memakai make up ke sekolah meskipun hanya setipis make up Joa. Namun hal itu yang justru menjadi nilai plus bagi Deven. Anneth punya kecantikan yang natural.

Deven menatap gadis itu dari ujung rambut sampai ujung kaki tanpa berkedip. Sial! Deven semakin jatuh cinta pada gadisnya. Percaya atau tidak, ini juga pertemuan pertama mereka setelah menjadi sepasang kekasih. Selama 14 hari lebih mereka hanya saling berkirim pesan dan sesekali muncul di balkon untuk melepas rindu. Lagipula Anneth belum cukup berani jika harus datang ke apartemen Deven.

"Hei," tegur Anneth sambil melambaikan tangannya di depan wajah Deven karena 'pacarnya' sama sekali tak berkedip.

"H-hai!" balas Deven gelagapan.

"Langsung berangkat, kan? Udah kesiangan," tutur Anneth alih-alih menanyakan kabar atau menyinggung soal status baru mereka. Jujur, Anneth juga gugup setengah mati jika memikirkan laki-laki tampan di hadapannya kini adalah pacarnya.

Deven mengangguk, "tasku lebih baik di depan atau di belakang? Di belakang aja, ya? Nggak keganggu, kan?"

Anneth menggeleng. Keputusan laki-laki itu sudah tepat. Ia suka cara Deven berpikir. Jika bukan Deven, pasti ia akan mengambil kesempatan dengan mencangklek tas di depan lalu memboncengnya dengan kecepatan penuh agar Anneth berpegangan. Deven memang berbeda. Ia istimewa.

"Ayo naik!" ujar Deven dengan suara kelewat lembut.

Sepasang kekasih itu melesat ke sekolah dengan kecepatan sedang. Deven dan Anneth tak melupakan helm mereka. Deven juga sesering mungkin melirik spion sebagai bentuk kewaspadaan agar kejadian malam itu tak terulang lagi.

Sesampainya di parkiran Arpegio, Anneth dan Deven langsung jadi pusat perhatian. Padahal sebelum itu mereka juga pulang-pergi bersama. Mungkin karena Deven tak lagi membawa mobil dan beralih menjadi pengemudi motor yang terlihat berkali-kali lipat lebih keren. Bisa jadi, kan?

Anneth dan Deven meneruskan perjalanan dari parkiran melewati koridor sekolah yang mulai ramai. Mereka benar-benar tak melakukan apapun layaknya pasangan baru. Berjalan sambil bergandengan, misal. Keduanya justru tampak canggung dan malu-malu. Bahkan Deven membiarkan Anneth berjalan lebih dulu dan mengawasinya dari belakang. Sesekali Deven terkekeh karena Anneth melakukan gerak aneh agar bisa meliriknya di belakang.

"Aku di sini, Neth. Pacarmu nggak kemana-mana," celetuk Deven yang sudah kelewat gemas. Sebuah celetukan yang berhasil membuat seorang Anneth memutar badannya dan menunggu Deven untuk kemudian berjalan bersama.

MELLIFLUOUS [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang