"Nih, nasi gorengnya udah jadi, Mas" Farrel datang sambil membawa dua piring nasi goreng di tangannya.
"Waaah, keliatannya enak nih" kata Hema, tak sabar untuk menyantapnya.
"Mas Hema cobain aja deh sendiri" tutur Farrel.
"Oke gue coba ya..." setelah Hema menyantap nasi goreng buatan Farrel. Dia tertegun sejenak. Berhenti mengunyah lalu berpikir, seketika matanya terbuka lebar begitu suapan berikutnya turut menegaskan rasanya.
Farrel malah panik, "Kenapa kenapa??? Aduuuhh, gak enak ya??? Udah deh, Mas, jangan di makan, jangan di makan" sergah Hema sambil mengambilkan segelas air minum untuk Hema.
Hema pun turut meneguk air mineral tersebut sedikit. Lalu menyantap nasi goreng buatan Farrel lagi.
"Eh, udah dong, Maaas, ngapain di terusin" tanya Farrel.
Hema menelan makanannya, lalu dia berujar pada Farrel. "Nasi goreng buatan kamu ini... ngingetin banget sama nasi goreng yang dulu sering di buatin sama orang terdekatku. Dulu waktu kita sama-sama di London, dia sering banget masakin gua nasi goreng yang rasanya... sama persis dengan buatan kamu ini. Bumbunya... pedesnya... rasanya pas, Rel. Udah usaha nyoba di restoran Indo di London, bikin sendiri, tapi gak pernah berhasil. Sampai akhirnya... pencarianku berakhir di kamu" jelas Hema.
Farrel tersenyum seketika, menatap Hema dengan penuh perhatian.
"Makasih ya..." tutur Hema seketika.
"Buat nasi gorengnya???"
"Yaaah, seenggaknya semuanya udah terobati" tutur Hema.
Farrel malah jadi kepikiran, "Kamu... masih mikirin dia???" tanyanya hati-hati.
Hema terdiam sejenak. Tidak tahu harus menjawab apa. Bingung. Perasaannya tak menentu. Benar-benar tak menentu. Lalu yang terjadi selanjutnya adalah, "Lanjut makannya dong"
Farrel pun mengangguk sedikit canggung dan mengikuti ajakan Hema untuk melanjutkan makanannya.
Dua di antara hati yang kini bertatap rasa, sedang saling gelisah, tak tahu akan kemana, tak tahu melangkah seperti apa. Bahkan jalannya pun tidak tahu dimana pilihannya. Mereka hanya saling mencoba mengikuti arus yang ada. Semoga bahagia.
~
"Harus sepagi ini ya, Mas, kita ke Surabaya?" tanya Robert yang duduk di samping Arkan di mobil. Pagi itu yang membawa mobil tersebut ialah Pak Andi.
"Iya, Bert. Supaya gak ribet, kita terbang naik Airbus, habis itu kita langsung pergi ke tempatnya Abdi. Saya penasaran. Apa yang akan disampaikannya. Sepertinya penting sekali" jelas Tuan Arkan.
"Memangnya... kalau saya boleh tau, Mas. Mengapa dengan kinerjanya Saidah dahulu, Mas, sampai ia dipecat dari pekerjaannya?" tanya Robert, penasaran.
"Dulu itu... waktu Maudi hamil Arsen, Saidah yang juga hamil muda sering banget buat masalah. Ya kerjanya makin melempem lah, ngebantah perintah Papi, sering ribut sama pembantu lainnya. Dan terakhir yang bikin saya memecat dia adalah... dia berusaha mencuri perhiasan Maudi di kamar, dan itu kepergok langsung oleh saya. Nangis-nangis dia minta di ampuni dan memohon untuk saya gak memenjarakan dia. Alasannya untuk biaya bersalinnya lah, keperluan calon bayinya lah. Apapun itu alasannya, yang namanya mencuri tetap tidak dapat di tolerir lagi. Saya tetap memecat dia tanpa pandang apapun. Dia pun pergi dari rumah Papi, Bert. Terus... belakangan, beredar kabar, kalau Saidah keguguran. Bayinya gak bisa di selamatkan" tutur Tuan Arkan.
"Astaga, Tuhaaan" Robert tersentak.
"Saya dengar itu dari pembantu lainnya" tambah Tuan Arkan. "Dan saya gak tau, mau apa si Abdi minta saya menemuinya di Surabaya. Aneh!"
Robert hanya bisa mengelus-elus bahu Tuan Arkan, menenangkannya dan membuatnya lebih bersabar.
Tuan Arkan tersenyum menatap Robert yang meneduhkan bak malaikat.
~
Setibanya di Surabaya, Tuan Arkan dan Robert langsung menghampiri alamat yang Abdi berikan. Modal tanya sana-sini, akhirnya mereka pun sampai juga di kediaman Abdi yang sederhana.
Sejurus Robert mengetuk pintu rumah tersebut. Dan Abdi pun membukanya.
"M-mari, Tuan Arkan, Mas Robert... silahkan masuk" ajak Abdi, "Maaf, rumahnya kecil"
"To the point aja..." Tuan Arkan masuk ke dalam rumah tersebut dan duduk di sofa. "Apa yang ingin kamu sampaikan ke saya? Saya bukan tipe orang yang sudi untuk menunggu!"
Robert mengambil alih, lebih tenang, "Pak Abdi... langsung aja ya, Pak. Apa yang ingin Bapak katakan pada Tuan Arkan?"
"Ap-apa... apa sebaiknya Tuan Arkan dan Mas Robert tidak minum dulu? Biar saya buat-"
"Jangan bertele-tele!!! Saya kan sudah bilang, saya malas menunggu!" tegas Tuan Arkan.
Abdi menghela napasnya, kemudian mulai menceritakan kronologis yang ingin dia sampaikan, "Jadi... pada saat Tuan Arkan memecat istri saya... dia sangat marah dan begitu dendam pada keluarga Tuan Arkan... sehingga dia pun bersumpah, bahwa akan membalaskan dendamnya pada Tuan Arkan. Saya tidak pernah tau, apa rencananya dan mengapa bertahun-tahun dia seakan begitu puas jika membahas tentang keluarga Tuan Arkan. Sampai akhirnya... seminggu yang lalu, sebelum ajalnya menjemput karena Corona, dia mengakui perbuatanya. Satu rahasia besar, satu tindakan kriminal yang begitu jahat, Tuan..."
Tuan Arkan melotot, "Apa itu??? Cepat katakan!!!"
"Ternyata... dihari kelahiran putra Pak Arkan, istri saya sengaja menukarkan bayi Nyoya Maudi... dengan bayi orang lain, Tuan!"
Dug. Tuan Arkan dan Robert menganga. Melotot. Mereka bagai terkena serangan jantung.
"Enggak!!! Gak mungkin!!! Kamu bohong, Abdi!!! Kamu berbohong!!!" teriak Tuan Arkan, matanya berkaca-kaca. Keringatnya mengucur deras.
Robert sama tercengangnya dengan Tuan Arkan.
Abdi menunduk dan meneteskan air matanya, "Tadinya saya juga gak percaya, Tuan, bahwa istri saya akan melakukan hal senekat itu. Tapi begitu dia menyertai dengan berkas-berkas dari anak kandung Tuan Arkan tersebut, saya semakin yakin padanya. Bahkan, Saidah juga selama ini tahu, dimana tempat anak kandung Tuan Arkan itu tinggal dan di rawat hingga besar kini"
Tuan Arkan masih dengan pelongoannya yang tak menentu. Benarkah. Sungguh amat tak dipercayainya. Selama delapan belas tahun ini, ternyata ia hidup bersama orang lain. Yang bukan anak kandungnya sendiri.
Robert masih dengan ambigunya. Tidak mungkin. Ini sangat tidak mungkin. Rasanya sangat aneh jika berita ini tercetus seketika dari mulut Pak Abdi.
"Dimana anak itu, Abdi???" tanya Tuan Arkan.
Abdi mengeluarkan berkas-berkas ke arah Tuan Arkan. Dokumen, akta kelahiran, sampai beberapa lembar foto dari anak itu kecil sampai tumbuh remaja dan tampan, bahkan hampir sekali mirip dengan wajah Arkan. "Namanya Afkar Panduwiryo. Dia sekarang tinggal di Bogor sebatang kara. Ibu Bapaknya meninggal karena kecelakaan mobil di Jatinangor" jelas Abdi.
"Ya Allah... itu berarti... Arsen... Arsen anak yatim piatu, Beeeert..." lirih Tuan Arkan.
"Maafkan perlakuan almarhumah istri saya pada Bapak. Saya sebagai suaminya, saya merasa malu, Tuan" lirih Abdi.
Tuan Arkan semakin tergugah begitu melihat foto-foto tersebut. Hingga batinnya meracap dan meyakin bahwa semua ucapan Abdi barusan adalah benar.
"Tunggu dulu" tukas Robert seketika, "Kami tidak bisa langsung percaya bahwa anak itu adalah putra kandung Tuan Arkan. Karena... semua informasi ini... terlalu tiba-tiba dan mendadak. Kita harus melakukan beberapa tes, biologis, DNA, apapun itu untuk membuktikan bahwa anak itu benar-benar anak kandung dari Tuan Arkan!"
"Oleh karenanya, Mas... temuilah Afkar di Bogor, agar segala keraguan ini dapat terjawab. Segeralah lakukan tes tersebut, untuk membuktikan apakah benar Afkar ini adalah anak dari Tuan Arkan atau bukan. Saya hanya menyampaikan amanat dari almarhumah istri saya, Tuan" tukas Abdi.
Tuan Arkan masih di ambang kegelisahannya. Apakah benar yang dikatakan oleh Abdi barusan. Jika benar, maka dia harus bersyukur. Karena telah dipertemukan kembali oleh anak kandungnya yang selama ini telah tertukar.
TO BE CONTINUED
KAMU SEDANG MEMBACA
STUCK ON YOU 3 (END 21+)
SonstigesWARNING!!! : LGBT CONTENT (21+) CERITA MENGANDUNG KALIMAT KASAR DAN TIDAK DIPERKENANKAN UNTUK DIBACA OLEH DIBAWAH UMUR DAN JUGA HOMOPHOBIA. Dilahirkan dengan penuh perjuangan, segala penantian dan pengorbanan akhirnya berhenti disaat Aidan Tawakkal...